Evgeny Mikhailov, pakar Rusia urusan Eurasia, tiba-tiba jatuh hati pada Indonesia. Bukan karena rendang atau Indomie (meski keduanya bisa bikin Kremlin luluh), melainkan karena Indonesia dianggap sebagai “suara berpengaruh di dunia Muslim” dan “pemain kunci di Global South”.
Kalau diibaratkan, Rusia sedang mencari teman main bola di lapangan geopolitik, dan Indonesia ini seperti striker yang nggak mau pilih klub Eropa, tapi tetap bikin gol pakai sandal jepit.
1. Indonesia: Influencer Muslim Global
Menurut Mikhailov, Indonesia ini semacam influencer Islam moderat. Followers-nya 230 juta, mayoritas Muslim. Kontennya? “Islam damai, adem, nggak suka drama.” Cocok buat branding Rusia yang masih trauma konflik di Kaukasus.
Jadi kalau Rusia ikut nongkrong di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), Indonesia bisa jadi semacam MC acara, yang bilang:
“Tenang, tenang, jangan ribut dulu, kita bahas Palestina sambil ngopi.”
Dan Rusia pun merasa punya geng keren buat nunjukin ke dunia: “Lihat, bro, gue nggak cuma temenan sama Iran sama Suriah, tapi juga sama Indonesia yang vibes-nya chill.”
2. Global South: Warung Kopi Dunia
Indonesia ini ibarat pemilik warung kopi di persimpangan jalan: semua orang mampir, dari G20, ASEAN, sampai BRICS. Rusia pun mikir, “Kalau gue nongkrong di warung ini, gue bisa kenalan sama semua pelanggan, tanpa harus bayar WiFi mahal di Eropa.”
Buat Rusia, Indonesia adalah “jembatan” — bukan jembatan penyeberangan Semanggi, tapi jembatan diplomasi: nyambungin Asia, Afrika, sampai Amerika Latin. Jadi kalau ada yang tanya, “Kenapa Rusia doyan banget sama Indonesia?” Jawabannya simpel:
Karena di BRICS, Indonesia ini kaya host acara TV, semua tamu disambut, tapi tetap nggak mau ribut.
3. Analisis Mikhailov: Gaya Rusia Cari Teman
Kalau diringkas, pandangan Mikhailov itu begini:
-
Geopolitik: Indonesia kayak tetangga yang nggak ikut ribut waktu RT sebelah perang. Netral tapi tetap keren.
-
Keamanan: Indonesia bisa bantu bikin Indo-Pasifik adem, biar kapal dagang Rusia nggak nyasar atau kena macet laut versi internasional.
-
Ekonomi: Gandum Rusia laris di pasar Indonesia. Kalau bisa, mungkin Mikhailov sudah usul bikin mie instan “Ramen Rusia” buat pasar lokal.
4. Risiko: Drama Ala Sinetron
Tentu saja, nggak semua mulus. Indonesia masih harus mikir: kalau terlalu dekat dengan Rusia, bisa kena omel Barat. Kalau terlalu jauh, sayang juga peluang BRICS.
Mikhailov tahu ini. Tapi seperti cowok Rusia yang jatuh cinta sama gadis Jawa, dia optimis:
“Kalau kita berjodoh, pasti bisa lewat jalan belakang meski ditutup polisi tidur.”
Kesimpulan: Indonesia, Si Bintang Dangdut Multipolar
Bagi Mikhailov, Indonesia bukan sekadar mitra dagang, tapi semacam bintang dangdut geopolitik: suaranya merdu, goyangannya moderat, dan semua penonton dunia Muslim maupun Global South bisa ikut nyanyi bareng.
Rusia pun tepuk tangan: “Inilah teman yang gue cari. Bukan sekadar sahabat, tapi backing vocal di konser multipolar!”
abah-arul.blogspot.com., Oktober 2025