Minggu, 31 Agustus 2025

Ketika Keadilan Harus Tanya Keluarga Koruptor Dulu

Pidato Presiden Prabowo belakangan ini bikin rakyat angkat alis lebih tinggi dari harga beras. Beliau dengan penuh wibawa mempertanyakan: “Kalau aset koruptor disita, kasihan dong istri dan anaknya menderita?”

Kalimat ini langsung bikin netizen bingung: ini rapat kabinet atau rapat arisan keluarga pejabat? Karena yang dibahas bukan rakyat yang sudah lama menderita akibat korupsi, tapi keluarga koruptor yang katanya bakal “kesian”.

Padahal, kalau dipikir logika sederhana ala warung kopi, anak-istri koruptor itu sudah ikut menikmati hasil korupsi kok. Dari tas branded, rumah mewah, sampai liburan ke Eropa yang caption-nya suka ditulis: “Holiday with family, grateful.” Nah, kalau gratefulnya dari uang rakyat, wajar dong rakyat jadi “ungrateful” sama pemerintah.

Netizen pun kompak menyerang dengan komentar sarkastis:

  • “Pak, kalau mikirin anak koruptor menderita, gimana dengan anak petani yang makanannya menderita terus?”
  • “Dibalik aja logikanya, apa nggak malu anak dibesarin dari uang haram?”
  • Ada juga yang lebih blak-blakan: “Bapak jangan terlalu baik sama keluarga koruptor, nanti dikira sponsor resmi kejahatan berjamaah.”

Lucunya, ini semua terjadi setelah janji kampanye 2024 yang begitu heroik: “Korupsi akan diberantas tanpa ampun!” Tapi ternyata setelah jadi presiden, yang tanpa ampun justru komentar netizen di kolom medsos.

Bayangkan kalau logika “jangan bikin keluarga koruptor menderita” ini diterapkan luas. Besok-besok maling ayam di kampung bisa protes: “Pak RT, jangan hukum saya. Kalau ayam disita, anak saya nggak bisa makan sop ayam.”

Akhirnya, rakyat cuma bisa tertawa miris sambil menyimpulkan: di negeri ini, hukum kadang memang tajam ke rakyat kecil, tapi kalau sudah menyentuh anak-istri pejabat, hukum malah jadi lembek… kayak bantal sofa di ruang tamu rumah koruptor.

abah-arul.blogspot.com., September 2025

DPR Diet Ketat: Dari Tunjangan Jumbo ke Nasi Bungkus

Tanggal 31 Agustus 2025 resmi jadi hari bersejarah. Presiden Prabowo mengumumkan tiga kebijakan yang bikin anggota DPR serentak ngecek saldo rekening masing-masing:

  1. Pencabutan tunjangan anggota DPR.
    Katanya buat hemat anggaran. Kalau dulu anggota dewan bisa dapat tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, sekarang mungkin cukup dikasih voucher Indomaret atau diskon ongkir belanja online. Rakyat senyum, DPR megap-megap.
  2. Moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.
    Nah ini yang paling nyesek. Biasanya ada “studi banding” ke Swiss buat belajar cara bikin jam, atau ke Brazil untuk riset cara memelihara samba. Sekarang harus puas studi banding di Puncak atau Ancol. Tiket masuknya bisa reimburse, nggak ya?
  3. Pencabutan keanggotaan oleh ketua umum partai.
    Kalau ada anggota DPR bikin salah omong, ketua partai bisa langsung bilang, “Out kamu!” Mirip reality show pencarian bakat. Bedanya, ini bukan “Indonesian Idol,” tapi “Indonesian Idle”—karena yang dicabut keanggotaannya langsung nganggur.

Kenapa Kebijakan Ini Ada?

Kata Presiden, ini demi hemat anggaran negara dan menjaga kepercayaan publik. Wajar sih, rakyat protes keras waktu tahu ada tunjangan DPR setara beli motor tiap bulan. Apalagi di saat rakyat sendiri masih kredit kompor gas tiga tahun.

Sebenarnya, langkah ini bisa bikin citra DPR makin dekat dengan rakyat. Cuma masalahnya, kalau terlalu dekat, nanti DPR juga rebutan diskon nasi Padang lima ribuan.

Bayangan Pengamat Asing

Pengamat asing yang biasanya sibuk ngomongin geopolitik, sekarang mungkin geleng-geleng.
“Wow, Indonesia akhirnya serius memangkas pemborosan!”
Tapi di sisi lain mereka mungkin mikir, “Waduh, kalau DPR sudah nggak bisa jalan-jalan keluar negeri, siapa yang nanti beli koper Samsonite edisi terbatas di duty free?”

Efek Samping yang Tak Terduga

  1. Bisnis agen travel turun. Soalnya kehilangan pelanggan VIP yang hobinya kunjungan kerja.
  2. Pedagang oleh-oleh lokal naik daun. Karena anggota DPR bakal ganti bawa buah tangan dari Monas, bukan lagi cokelat Belgia.
  3. Rakyat tambah hepi. Minimal bisa bilang, “Akhirnya DPR juga ikut diet ketat, bukan cuma rakyat yang disuruh hemat.”

Penutup

Jadi, dengan kebijakan baru ini, DPR resmi masuk program diet nasional: tanpa tunjangan jumbo, tanpa plesiran manja, dan dengan ancaman pemecatan kalau kebanyakan bikin sensasi.

Mungkin ke depan rapat DPR akan lebih sederhana. Tidak lagi ada jamuan mewah, cukup air mineral galonan dan kue bolu potong. Dan kalau ada yang masih ngeluh, rakyat tinggal bilang:
“Tenang pak, rakyat sudah duluan hidup sederhana. Sekarang giliran DPR belajar.”
abah-arul.blogspot.com., September 2025

Sabtu, 30 Agustus 2025

Sambutan Pemberangkatan Umroh

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Hadirin yang dirahmati Allah,
Hari ini saya berdiri di depan bapak-ibu semua dengan hati campur aduk. Ada haru, ada bangga, dan tentu saja ada sedikit panik… soalnya mulai hari ini, saya resmi ditinggal istri berangkat umroh. Artinya: beberapa minggu ke depan, saya harus berdamai dengan dapur, cucian, dan kemungkinan besar… nasi gosong.

Kalau biasanya saya cukup meridhoi istri pergi ke pasar atau arisan RT, kali ini levelnya naik: saya meridhoi beliau ke Tanah Suci. Berat, memang berat. Karena kalau ke pasar, masih bisa saya titipi cabai, bawang, dan daftar belanja. Tapi kalau ke Makkah, jangankan nitip bawang, nitip doa saja belum tentu masuk prioritas.

Saya sempat bilang ke istri, “Tolong ya Bu, doakan saya panjang umur, rezeki lancar, dan… kalau bisa biar berat badan saya turun juga.” Eh, dijawabnya enteng: “InsyaAllah saya doakan. Tapi kalau mau cepat kurus ya gampang, tanpa aku di rumah, kamu pasti diet alami.”

Hadirin sekalian,
Biasanya setiap pagi saya bangun ada kopi panas. Nah, mulai besok, kemungkinan besar yang menyapa saya adalah mi instan. Jadi kalau nanti saya tampak lebih kurus sepulang beliau, mohon jangan dikira saya kena cobaan besar. Itu cuma efek samping “program darurat” selama ditinggal istri.

Tentu saja, saya ikhlas melepas beliau berangkat dengan doa terbaik. Semoga perjalanan umroh ini lancar, ibadahnya diterima Allah, dan pulangnya nanti bukan hanya bawa oleh-oleh kurma, tapi juga bawa kesabaran ekstra menghadapi suaminya—yang kadang pura-pura tidur biar lolos dari tugas nyapu.

Akhir kata, mari kita doakan bersama: semoga perjalanan ini penuh berkah, doa-doa beliau dikabulkan, dan semoga kita semua diberi kesempatan menyusul menunaikan ibadah ke Baitullah.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Politik Etis vs Pesantren: Ketika “Balas Budi” Malah Jadi “Budi Beli”

Sejarah Indonesia sering kali terdengar seperti sinetron yang diproduseri Belanda. Bayangkan saja: kolonial yang selama ini terkenal suka menindas, tiba-tiba datang membawa konsep manis bernama Politik Etis, alias “politik balas budi”. Kedengarannya romantis, seperti mantan yang bilang, “Aku sadar aku salah, sekarang aku mau berubah.”

Eh, tapi kita semua tahu: biasanya mantan begitu hanya kalau lagi butuh tumpangan motor.

Pertanyaan mendasar: sejak kapan penjajah punya etika? Kalau Belanda benar-benar mau balas budi, mestinya mereka bayar utang pajak VOC dulu. Ini tidak. Yang mereka balas justru dengan cara membuka sekolah, bikin jalan, dan memperkenalkan birokrasi gaya barat. Bahasa halusnya: memberi hadiah. Bahasa kasarnya: ngajari pribumi jadi pegawai rendahan agar kolonial lebih hemat biaya operasional.

Priyayi: Dari Jubah ke Jas

Politik Etis disambut gegap gempita oleh kaum priyayi. Mereka masuk sekolah, belajar bahasa Belanda, lalu mendadak merasa lebih keren daripada tetangga. Kalau dulu tanda kebangsawanan itu keris dan batik, sekarang berubah jadi dasi dan sepatu kulit. Konon ada priyayi yang rela berfoto dengan gaya tegap ala tentara Eropa, padahal jabatan resminya cuma juru arsip.

Jadilah muncul kasta baru: priyayi birokrat rasa Eropa. Mereka jadi versi awal “pegawai negeri sipil” yang lebih sibuk mengatur stempel daripada memikirkan rakyat.

Pesantren: Ninja Senyap di Lereng Gunung

Di sisi lain, pesantren memilih jalur berbeda. Mereka tidak ikut kursus bahasa Belanda, tidak pakai jas, apalagi ikut seminar kolonial bertema “Membangun Nusantara yang Produktif”. Pesantren justru bergerilya dari lereng gunung, pinggir sungai, sampai desa terpencil. Kalau diibaratkan film, mereka ini semacam “ninja” pendidikan. Diam-diam mengaji, tapi hasilnya bisa bikin penjajah ketar-ketir.

Bedanya dengan ninja Jepang, santri tidak pakai pedang, tapi kitab kuning. Dan percayalah, kitab kuning kalau dilempar juga lumayan sakit.

Balas Budi atau Budi Beli?

Politik Etis digadang-gadang sebagai “balas budi” Belanda kepada pribumi. Tapi lama-lama terasa lebih mirip “budi beli”: kita yang beli, mereka yang untung. Orang pribumi dapat sekolah, iya, tapi tujuannya supaya bisa kerja di pabrik gula, perkebunan, atau jadi juru tulis kolonial. Semacam training gratis sebelum tanda tangan kontrak magang.

Pesantren tidak tertipu. Kiai-kiai sadar, “Lha wong ini jelas-jelas jebakan Batman!” Maka mereka tetap istiqamah mendidik santri dengan spirit anti-penjajah. Hasilnya, banyak tokoh perlawanan lahir dari dunia pesantren—mulai dari yang orasi di mimbar, sampai yang angkat senjata di medan perang.

Sumbu Konflik: Siapa yang Menang?

Akhirnya, lahirlah dua kutub:

  • Kaum priyayi lulusan Politik Etis: gaya barat, birokrat, suka rapat.
  • Kaum santri pesantren: gaya sarungan, anti penjajah, suka ngaji.

Kalau dilihat dari luar, seakan-akan bangsa ini punya dua jalan menuju masa depan: satu lewat jalan beraspal Belanda, satu lagi lewat jalan setapak di kampung. Bedanya, yang jalan aspal sering macet, sementara jalan kampung meski becek tetap tembus.

Dan benar saja, meski kaum priyayi lebih dulu membentuk organisasi modern seperti Budi Oetomo, tapi semangat perlawanan yang gigih justru bertahan di pesantren. Mereka yang menyimpan bara perjuangan, bahkan ketika kolonial menawarkan “balas budi” yang lebih mirip “utang budi tak pernah lunas.”

Penutup: Sejarah atau Komedi Situasi?

Maka, kalau hari ini kita membaca kembali kisah Politik Etis, rasanya seperti menonton komedi situasi kolonial. Belanda berperan sebagai mantan toxic yang pura-pura baik, priyayi jadi fans berat gaya Eropa, sementara pesantren memilih jadi pemeran underground yang diam-diam mengatur plot twist.

Dan pada akhirnya, kita tahu siapa yang lebih tahan lama: jas ala Eropa bisa ketinggalan zaman, tapi sarung santri tidak pernah basi.

abah-arul.blogspot.ccom., Agustus 2025

Kamis, 28 Agustus 2025

Gonta-Ganti Kurikulum: Dari Catwalk ke Kelas

Di Indonesia, kurikulum sekolah punya nasib yang mirip dengan tren busana: tiap kali ada menteri baru, modelnya ikut berubah. Kalau di Paris ada fashion week, di Jakarta ada curriculum week. Guru-guru pun seperti peragawan dan peragawati dadakan yang harus siap ganti kostum tiap lima tahun sekali. Bedanya, kalau di catwalk salah kostum masih bisa dibilang “eksperimen seni”, di kelas salah kurikulum bisa bikin murid bingung mau jadi insinyur atau malah jadi konten kreator.

Prof Unifah Rosyidi dari PGRI sampai geleng-geleng kepala. Beliau menegaskan bahwa kurikulum seharusnya lahir dari kajian akademik, bukan dari ego pejabat yang ingin meninggalkan “legacy”. Masalahnya, di negeri ini, setiap menteri ingin punya monumen. Ada yang bikin jembatan, ada yang bikin bandara, nah menteri pendidikan bikin kurikulum baru. Padahal, monumen yang satu ini lebih cepat usang ketimbang gedung DPR—karena tiap lima tahun sudah ganti wajah.

Guru di daerah pun jadi korban utama. Bayangkan, mereka baru saja selesai pelatihan kurikulum lama, tiba-tiba kurikulum baru turun seperti hujan deras di musim kemarau. Fasilitas tidak merata, internet tidak sampai, tapi guru diminta siap adaptasi. Seolah-olah guru itu bukan manusia, melainkan robot serba bisa. Kalau ditanya pemerintah, jawabannya sederhana: “Kan guru itu pintar.” Ya pintar, tapi bukan dukun.

Tak ketinggalan, Koordinator Nasional P2G, Satriawan Salim, mengingatkan agar kebijakan mengacu pada Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Masalahnya, peta itu sering hanya jadi hiasan dinding, bukan GPS. Akibatnya, perjalanan pendidikan kita lebih mirip petualangan Dora: “Di mana kurikulumnya? Di mana grand design-nya?” Sayangnya, tidak ada Boots si monyet yang bisa bantu cari jalan.

Sementara itu, Rektor UGM Prof Ova Emilia menilai grand design pendidikan kita gagal total, terbukti dengan meningkatnya pengangguran. Rupanya, bukan hanya kurikulum yang sering gonta-ganti, tapi juga status lulusan: dari “mahasiswa harapan bangsa” menjadi “pengangguran berprestasi.” Negara lain sudah hitung berapa dokter, insinyur, atau tukang listrik yang dibutuhkan. Kita? Lebih suka hitung berapa kali ganti kurikulum dalam sepuluh tahun terakhir.

Pada akhirnya, pendidikan kita masih terjebak dalam pola pikir kolonial: mendidik untuk melayani atasan, bukan kebutuhan rakyat. Jadi wajar kalau lulusan pertanian lebih ahli bikin proposal daripada menanam padi.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti memperlakukan kurikulum seperti fashion line. Karena di dunia pendidikan, murid bukanlah model catwalk, dan guru bukan desainer dadakan. Kalau masih terus begini, jangan kaget kalau suatu saat nanti ada “Kurikulum Musim Panas 2030” lengkap dengan katalog dan diskon akhir tahun.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Dari UN ke TKA, Hanya Ganti Baju atau Benar-Benar Berubah?

Pemerintah kita memang suka dengan gaya “rebranding”. Kalau perusahaan kosmetik mengganti bungkus bedak, pemerintah mengganti nama ujian. Setelah sekian tahun kita akrab dengan Ujian Nasional (UN) yang bikin siswa-siswi keringat dingin tiap malam, kini datang penggantinya: Tes Kemampuan Akademik (TKA).

Bedanya apa? Kata seorang akademisi, ya bedanya cuma huruf di singkatan. Kalau UN bikin pusing, TKA bikin pening. Sama-sama menekankan otak, sama-sama bikin anak-anak SD sampai SMA belajar lebih keras daripada calon anggota DPR saat kampanye.

Zainal Arifin Ahmad, dosen filsafat di UIN Sunan Kalijaga, sampai curiga bahwa ini hanya “ganti nama, rasa tetap sama”. Filosofi pendidikannya katanya masih itu-itu juga: menekankan angka, nilai, dan ranking. Sementara aspek lain—seperti kemampuan bersosialisasi, mengelola emosi, bahkan mungkin kemampuan menahan lapar saat jam pelajaran—semuanya dianggap tak penting.

Lucunya, TKA katanya tidak wajib untuk syarat kelulusan. Jadi anak-anak bisa merasa lega: nilai jelek pun tetap lulus, asal jangan sampai guru wali kelas ikut-ikutan bikin soal tambahan. Tapi masalahnya, sekolah dan guru pasti tetap fokus pada akademik. Jadi, jangan heran kalau pelajaran “cara ngeles kalau ditanya guru” tidak masuk rapor.

Di sisi lain, Achmad Zuhri dari Pergunu mencoba menenangkan. Katanya, TKA beda dengan UN, walau sama-sama ujian. Seperti bakso kuah dan bakso bakar: sama-sama bakso, hanya cara penyajiannya beda. Zuhri juga menekankan pentingnya inklusivitas. Bayangkan kalau ada anak di pelosok yang listriknya byar-pet, tapi dipaksa ikut tes online. Bisa-bisa jawabannya cuma doa panjang dan harapan semoga jaringan pulih sebelum waktu habis.

Zuhri juga mengingatkan, sistem bagus percuma kalau pengawasan lemah. Nah, ini khas Indonesia. Kita pintar bikin aturan, tapi kadang lupa siapa yang ngawasin. Hasilnya, siswa sudah belajar HOTS—Higher Order Thinking Skills—sementara panitia ujian masih sibuk belajar cara fotokopi soal tanpa bolak-balik terbalik.

Singkatnya, TKA ini ibarat mengganti judul sinetron tapi pemainnya tetap sama. UN sudah tamat, lalu muncul TKA, tapi jalan ceritanya mirip-mirip. Bedanya, kalau di sinetron masih ada soundtrack romantis, di dunia nyata yang ada hanya suara siswa teriak: “Kapan sih kita bisa belajar tanpa ujian akhir kayak gini?”

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Google Veo 3 & Vids: Dari Photoshop, TikTok, sampai Dukun Digital

Google baru saja merilis fitur AI video terbaru, dan promosinya terasa seperti undangan arisan RT—penuh emoji 🚨✨, banyak janji manis, dan tentu saja: “try it free!” alias cobain dulu, ketagihan belakangan.

Bayangkan, katanya, ini gabungan Photoshop + TikTok. Jadi, kalau biasanya Photoshop bikin wajahmu kinclong dan TikTok bikin hidupmu tampak bahagia, Google kini menyatukannya. Tinggal tunggu waktu sampai muncul iklan: “Edit foto mantan jadi video pernikahan impian—dengan Google Workspace!”

Fitur Ajaib ala “Tongkat Doraemon”

  1. Foto jadi video
    Cukup upload foto KTP, kasih prompt, dan jreng! berubah jadi video animasi lengkap dengan suara. Siap-siap ada tren baru: video undangan kawinan berbasis foto bayi calon pengantin.
  2. Avatar AI
    Malu tampil di kamera? Tenang. Google siap menghadirkan presenter digital. Jadi besok, rapat kerja bisa diwakili avatar—biar Anda bisa tidur siang, sementara versi digital Anda dengan semangat menjelaskan laporan keuangan.
  3. Auto-editing
    AI ini katanya bisa menghapus “um… eh… anu…” secara otomatis. Artinya, tidak ada lagi rekaman pidato politisi dengan jeda canggung—langsung terdengar lancar, meskipun isinya tetap kosong.
  4. Latar belakang & noise cancellation
    Masih “coming soon”. Alias: sabar, belum jadi. Persis kayak janji pembangunan jalan tol dekat rumah Anda.

Bukti Lapangan (Versi Brosur)

Promosi menyebut perusahaan besar sudah pakai ini. Tapi kita tahu, dalam dunia marketing, kalimat “dipakai Mercer Intl dan Fullstory” itu setara dengan iklan sabun: “Dipercaya jutaan orang!”—padahal yang percaya biasanya cuma model iklan dan satu orang ibu rumah tangga yang dibayar testimoni.

Catatan Kritis: Jangan Ketipu Bling-Bling

  • Harga premium katanya $249,99/bulan. Kalau dikonversi ke rupiah, sama dengan biaya cicilan motor matic. Jadi pilihannya: mau motor beneran atau avatar AI yang bisa presentasi?
  • Risiko deepfake juga ngeri-ngeri sedap. Jangan-jangan nanti muncul video ustaz yang tiba-tiba joget TikTok atau dosen mengajar sambil rap freestyle. Semua bisa salah kaprah gara-gara “Photoshop + TikTok in Workspace.”

Kesimpulan

Google menjual ini seolah video sudah jadi kebutuhan pokok setara dengan beras, minyak goreng, dan kuota internet. Tapi pada akhirnya, ini hanyalah satu lagi cara Google bilang: “Kerjaan kamu bisa lebih cepat… asal bayar dulu.”

Jadi, kalau suatu hari ada teman bilang, “Aku baru bikin video training tanpa rekam kamera sama sekali,” jangan kaget. Bisa jadi, dia sebenarnya lagi main catur online, sementara avatarnya sedang mengajar dengan penuh wibawa.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Rabu, 27 Agustus 2025

: "The Room Where It Happened – Ruangan Rahasia yang Ternyata Bocor"

John Bolton mungkin satu-satunya orang di dunia yang berhasil menulis buku setebal hampir 600 halaman hanya untuk memberitahu publik: “Donald Trump itu spontan, bingung, tapi pede luar biasa.” Persis seperti anak SMA yang masuk ujian matematika tanpa belajar, lalu tetap yakin nilainya A+—asal gurunya bisa dibujuk makan siang bareng.

Bolton menamakan bukunya The Room Where It Happened, padahal setelah dibaca, kesannya lebih cocok diberi judul: The Room Where Everyone Facepalmed.

Politik ala Reality Show

Menurut Bolton, diplomasi ala Trump mirip sinetron Ramadan: penuh kejutan, plot twist, dan kadang tidak masuk akal. Contohnya, saat Trump meminta Xi Jinping membeli kedelai Amerika demi suara petani. Strategi ini sederhana: “Beli tempe, dapat White House.”

Lalu soal Korea Utara, KTT Singapura 2018 ternyata bukan negosiasi serius, melainkan lebih ke “konser persahabatan” antara Trump dan Kim Jong-un. Mike Pompeo bahkan mencatat bahwa peluang suksesnya = nol besar. Tapi, seperti biasa, Trump tetap optimis. Kalau bisa sukses jual dasi di televisi, masa gagal jual perdamaian?

Trump dan Peta Dunia

Salah satu bagian paling komedi adalah ketika Bolton menulis bahwa Trump tidak tahu Finlandia bukan bagian dari Rusia. Bayangkan presiden negara adidaya yang tiap pagi dikasih nuclear code, tapi peta dunia saja bikin bingung. Mungkin dalam pikirannya, dunia ini cuma terdiri dari: Amerika, China, Rusia, dan lapangan golf pribadinya.

Belum cukup, Trump juga kaget mendengar Inggris punya senjata nuklir. “Really? Inggris? Tapi aksen mereka kan sopan sekali!”

Venezuela itu Bagian dari AS?

Di bagian lain, Trump menyebut Venezuela sebagai bagian dari Amerika Serikat. Kalau betul begitu, berarti kita tinggal tunggu Starbucks di Caracas ganti papan nama jadi “Starbucks Texas Selatan.”

Bolton vs. Washington

Tentu, pemerintah AS panik. Bagi mereka, buku Bolton seperti anak kos yang tiba-tiba buka rahasia dapur: siapa suka nyolong lauk, siapa suka ngutang pulsa, siapa diam-diam pacaran dengan RT sebelah. DOJ menggugat Bolton karena membocorkan “rahasia negara.”

Tapi rakyat Amerika malah semangat membeli bukunya. Minggu pertama saja, terjual 780.000 eksemplar. Bayangkan, lebih laku daripada buku resep masakan. Rupanya, gosip di Gedung Putih lebih gurih daripada resep ayam goreng.

Babak Lanjutan: FBI Turun Tangan

Lucunya, meski kasus sempat ditutup tahun 2021, pada 2025 FBI kembali menggerebek rumah Bolton. Seolah-olah Washington berkata: “Pak Bolton, buku Anda bukan cuma bestseller, tapi juga best-suspicious.”

Kalau ini drama, mungkin season barunya diberi judul: The Room Where It Got Raided.

Kesimpulan

Akhirnya kita bisa simpulkan: buku Bolton ini bukan sekadar memoar, tapi campuran unik antara thriller politik, komedi situasi, dan gosip kantor versi internasional. Yang jelas, satu pelajaran penting: jika ingin menjaga rahasia, pastikan jangan pernah undang John Bolton ke ruangan tempat itu “terjadi.” Karena cepat atau lambat, ruangan itu akan masuk toko buku.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Gus Dur, Ekonomi yang Bangkit, dan Politik yang Ambyar

Kalau Indonesia tahun 1999 itu manusia, mungkin sudah opname di ICU: ekonomi megap-megap, utang segunung, dan rakyat terengah-engah beli beras. Lalu masuklah seorang kiai nyentrik bernama Abdurrahman Wahid—alias Gus Dur—yang dengan santainya bilang, “Tenang, jangan panik, nanti juga sembuh.” Dan anehnya, benar sembuh.

Di tangan Gus Dur, ekonomi yang minus langsung dicetak jadi plus. Ekspor melonjak, utang bisa ditekan, gini ratio turun sampai level "adil banget", dan harga beras stabil tanpa harus impor. Pokoknya, kalau ekonomi itu sinetron, episode Gus Dur adalah bagian “pemeran utama bangkit dari keterpurukan dengan cara anti-mainstream”.

Menolak IMF: Bayangkan, saat negara lain manut saja pada resep IMF yang pahit seperti jamu basi, Gus Dur malah bilang, “Kita bikin jamu sendiri, rasanya pahit sih, tapi lebih sehat dan asli.” Ia melindungi UMKM, petani, dan menolak supermarket asing yang bisa bikin warung Bu RT gulung tikar.

Petani Tersenyum: Bulog dipakai bukan untuk kongkalikong elite, tapi untuk beli gabah petani dengan harga wajar. Alhasil, petani desa bahagia, orang kota tidak ribut soal beras, dan semua bisa makan dengan damai.

Rating Internasional Naik: Lucunya, ketika rakyat santai, justru Moody’s dan S&P (yang biasanya cerewet) malah kasih jempol. Kalau ini film, Gus Dur berhasil bikin “ekonomi santuy” dengan ending sementara yang bahagia.

Dari Jawa ke Luar Jawa: Mencegah Negara Jadi Retak-Retak

Era Orde Baru itu Jawa-sentris banget, sampai-sampai pulau lain mungkin merasa jadi “anak kos yang numpang makan tapi tak pernah diajak ngobrol”. Gus Dur sadar, kalau terus begini, Indonesia bisa pecah kayak piring jatuh.

Maka lahirlah ide desentralisasi: daerah diberi otonomi, sumber daya bisa dikelola sendiri. Papua dikasih nama sesuai jati dirinya, bukan lagi “Irian Jaya” versi Orde Baru. Aceh diajak dialog, bukan dikepret pakai senjata.

Singkatnya, Gus Dur mencoba bikin Indonesia seperti keluarga besar di mana anak-anaknya punya kamar sendiri, bukan semua harus rebutan kasur di ruang tamu Jawa.

Lalu, Kenapa Gus Dur Dilengserkan?

Nah, di sinilah komedinya berubah jadi satire.

Meski ekonomi melesat, Gus Dur tetap dilengserkan. Alasannya? “Skandal Bulogate”, “Dekrit Presiden”, sampai tuduhan gaya kepemimpinan erratic. Padahal kalau jujur, banyak politisi saat itu lebih takut kehilangan kursi empuk daripada kehilangan ekonomi sehat.

Gus Dur dianggap terlalu liberal: membela minoritas, anti-mafia ekonomi, dan berani melawan elite Orde Baru. Kalau ini pertandingan sepak bola, Gus Dur adalah pelatih yang bikin tim menang, tapi dipecat karena dianggap “terlalu cerewet di pinggir lapangan”.

Penutup: Ironi yang Terjadi

Lengsernya Gus Dur adalah bukti bahwa di Indonesia, ekonomi sehat tidak selalu sejalan dengan politik sehat. Rakyat mulai tersenyum, tapi elite justru manyun.

Namun, warisan Gus Dur tetap hidup: keberanian melawan arus, pluralisme, dan semangat keadilan sosial. Bahkan setelah dilengserkan, kisahnya jadi seperti humor khas beliau sendiri: pahit, tapi bikin ketawa, lalu bikin mikir.

Abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Selasa, 26 Agustus 2025

DPR, Tunjangan Rp50 Juta, dan “Revolusi Lapangan Parkir”

Jakarta, 25 Agustus 2025. Suasana ibukota mendadak berubah seperti film kolosal berjudul “Ketika Dompet Rakyat Kering, DPR Malah Banjir Tunjangan”. Ribuan demonstran, mulai dari mahasiswa, buruh, emak-emak pengajian, sampai abang ojol, tumpah ruah di jalan menolak tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR.

“Rp50 juta per bulan buat rumah? Kami aja ngekos masih harus patungan sama cicak!” teriak seorang mahasiswa sambil mengibarkan spanduk bergambar karikatur DPR sebagai developer properti.

Bentrokan pun pecah dengan polisi. Situasinya seperti throwback ke sejarah Romawi kuno: Secessio Plebis. Bedanya, kalau dulu kaum plebeian mogok lima kali buat dapet hak veto, sekarang rakyat Indonesia mogok lima kali lipat karena hak veto udah digadaikan ke konglomerat.

Seorang demonstran sejarahwan amatir mencoba menyemangati kawan-kawannya:
“Teman-teman! Ingat Revolusi Prancis! Estate Ketiga membentuk Majelis Nasional di Lapangan Tenis. Kalau kita di sini, mari kita bentuk Majelis Lapangan Parkir di Senayan! Jangan bubar sampai dapat konstitusi baru… atau minimal subsidi baru!”

Komposisi DPR pun jadi bahan lelucon. Dari 580 anggota, sebagian besar ternyata alumni Universitas Dinasti Politik dan Akademi Modal Besar. Rakyat pun berseloroh:
“DPR itu singkatannya apa? ‘Dewan Pemilik Rumah’. Makanya mereka butuh tunjangan Rp50 juta, biar rumahnya banyak dan nggak bingung mau tidur di mana!”

Tak hanya di Jakarta, di Pati, Jawa Tengah, rakyat sudah lebih dulu “pemanasan” dengan protes kenaikan pajak tanah 250%. “Kalau tanah sudah mahal, jangan-jangan nanti udara juga kena pajak per napas,” celetuk seorang petani sambil menghela napas hemat.

Wakil Ketua DPR mencoba membela diri dengan alasan klasik: “Ini demi kenyamanan kerja.” Tapi publik menukas: “Kalau mau nyaman, kerja remote aja dari rumah kontrakan, toh rapatnya sering kosong kursi juga.”

Akhirnya, setelah gelombang protes makin besar, DPR mencabut kebijakan tunjangan itu. Bukan karena sadar, tapi karena takut kalau rakyat beneran bikin Bastille 2.0 di Senayan.

Seorang mahasiswa menutup orasi dengan bijak sekaligus kocak:
“Kawan-kawan, sejarah mengajarkan… kalau rakyat lapar, mereka bisa marah. Kalau rakyat lapar tapi DPR kenyang, mereka bisa ngamuk. Tapi kalau rakyat lapar, DPR kenyang, dan masih dikasih alasan basi… ya siap-siap aja lah, revolusi bakal lahir dari perut keroncongan!
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Senin, 25 Agustus 2025

Fiqih Disabilitas – Antara Jalur Surga dan Tangga Masjid

Mari kita jujur. Kalau bicara soal difabel di negeri ini, seringkali yang lebih “cacat” itu bukan tubuhnya, tapi logika sosial kita. Masjid megah bisa dibangun dengan kubah emas, tapi jalur kursi roda? Ah, itu dianggap sunah muakkadah.

Kita suka teriak “Islam rahmatan lil ‘alamin”, tapi coba lihat fasilitas umum: jalur landai lebih sering dipakai buat parkir motor ketimbang dipakai difabel. Kalau ada difabel mau lewat, eh malah disuruh sabar. Seolah-olah sabar itu bisa menggantikan fungsi rem kursi roda.

Dari “Kasihan” ke “Setara”

Fiqih klasik sering memandang difabel dalam kategori udzur alias dapat keringanan. Akibatnya, masyarakat jadi santai: “Sudah lah, toh mereka boleh shalat di rumah.” Nah lho, berarti bukan difabel yang dimudahkan, tapi masyarakat yang malas bikin akses!

Kiai Imam Azis dengan gagasan Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas menampar logika ini. Beliau bilang: “Inklusif itu bagian dari tauhid.” Terjemah bebasnya: kalau kamu masih diskriminatif, berarti kamu tidak paham Tuhan. Jadi, jangan sok saleh kalau masih memandang difabel hanya sebatas objek santunan 10 Muharram.

Lintas Iman, Lintas Beton

Bedah buku soal fiqih disabilitas bahkan melibatkan pendeta dan pastor. Mereka sepakat bahwa semua manusia adalah citra Tuhan. Luar biasa. Jadi kalau masih ada masjid atau gereja tanpa akses ramah difabel, artinya arsiteknya lebih paham beton daripada teologi.

Tiga Tembok (dan Satu Bonus)

Ada tiga tembok yang disebut para aktivis:

  1. Tembok diri sendiri – minder, malu, merasa tidak mampu.
  2. Tembok keluarga – terlalu protektif, seperti ayam mengurung anaknya di kandang.
  3. Tembok sosial – stigma, diskriminasi, fasilitas ala kadarnya.

Tapi menurut saya ada tembok keempat: tembok birokrasi. Karena jangankan difabel, orang normal pun sering kesandung aturan absurd. Coba saja urus KTP, kita semua mendadak “tuna-sabar”.

Penutup: Tangga Surga

Fiqih disabilitas mengajarkan bahwa setiap manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna. Kalau begitu, surga tentu ramah difabel. Yang jadi soal, bagaimana kalau pintu surganya ternyata masih pakai tangga?

Mungkin malaikat akan tersenyum dan berkata:

“Silakan masuk... tapi yang mendapat jalur landai hanya mereka yang di dunia pernah memperjuangkannya.”

Artinya, bukan difabel yang diuji, melainkan kita semua: apakah sudah benar-benar memahami makna rahmatan lil ‘alamin, atau masih sibuk membangun kubah emas tanpa memikirkan pijakan kaki—dan roda—sesama.

abah-arul/blogspot.com., Agustus 2025

Sabtu, 23 Agustus 2025

Transformasi Sosio-Ekologis: Peran Turats dan Pesantren dalam Menjawab Krisis Lingkungan Global

Pendahuluan

Krisis lingkungan global makin hari makin mirip film drama Korea: bikin nangis, penuh konflik, tapi nggak ada yang tahu ending-nya. Hutan gundul, sampah menumpuk, laut penuh plastik — bumi kita bisa dibilang sudah masuk ICU.

Nah, di tengah situasi genting ini, pesantren ternyata tidak mau kalah eksis. RMI PBNU bareng Kemenag bikin Halaqah Internasional di Pesantren As’adiyah Macanang, Wajo, Sulawesi Selatan. Judulnya serius banget: “Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats.” Kalau dibaca cepat, bisa bikin kening berkerut. Tapi intinya sederhana: santri turun gunung jadi pahlawan lingkungan.

Turats: Dari Kitab Kuning ke Kitab Hijau

Buat sebagian orang, turats mungkin terdengar kayak koleksi buku tua yang isinya cuma arab gundul dan catatan kyai zaman dulu. Padahal kata NU, turats itu bukan barang antik, tapi semacam “Google Maps” kehidupan: bisa dipakai kapan saja, termasuk buat nyari jalan keluar dari macetnya krisis iklim.

Bayangin, konsep khalifah fil ardh itu sama aja kayak status “admin bumi” di grup WhatsApp kehidupan. Kalau admin keluar grup (alias cuek sama alam), ya siap-siap aja chat-nya (baca: kehidupan) berantakan.

Pesantren: Dari Ngaji Kitab ke Ngaji Sampah

Dulu pesantren terkenal dengan hafalan Alfiyah dan ngaji Fathul Qarib. Sekarang tambah satu: ngaji cara bikin kompos.
Contoh nyata ada di Pesantren Ekologi At-Thaariq Garut. Mereka ngajarin santri bahwa daun jatuh itu bukan sekadar bahan sapuan, tapi ayat Allah plus bahan pupuk organik. Santri-santri di sana bisa lebih jago bikin eco-enzyme daripada bikin es teh manis.

Empat Subtema yang Bikin Alam Senyum

  1. Kurikulum Paradigma Cinta
    Santri diajari bukan cuma cinta kitab, tapi juga cinta pohon. Jadi kalau biasanya mereka nyiramin bunga buat gaya-gayaan di Instagram, sekarang jadi bagian dari ibadah.
  2. Eko-Spiritual
    Ayat-ayat kauniyah dibaca sambil praktik. Jadi kalau ada pelangi, santri bukan cuma bilang “Masya Allah indahnya,” tapi juga mikir: “Eh, jangan-jangan ini reminder buat kita hemat air.”
  3. Eko-Fiqh
    Dlaruriyatul khams direvisi biar lebih kekinian. Bukan cuma agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, tapi juga: jangan buang sampah sembarangan. Karena apa gunanya sehat kalau napas masih bau knalpot?
  4. Fiqhul Bi’ah
    Ini jurus pamungkas. Pesantren hijau ala NU ngajarin santri mulai dari memilah sampah, bikin taman, sampai pakai energi surya. Kalau ada lomba pesantren eco-friendly internasional, bisa jadi kita bakal juara.

Halaqah Internasional: Semacam KTT Iklim, Tapi Versi Sarungan

Jangan bayangin halaqah ini kayak seminar dosen-dosen ngantuk. Di sini ada call for papers—tapi bayangin aja kayak “open mic” buat para peneliti, akademisi, bahkan santri. Yang makalahnya bagus, dipresentasiin. Yang paling keren, dibukukan. Jadi pesantren bukan cuma tempat rebana dan shalawatan, tapi juga produsen teori lingkungan kelas dunia.

Dampak yang Diharapkan

  1. Pesantren Masuk Kurikulum Go Green
    Nanti santri nggak cuma bisa ngaji Nahwu Shorof, tapi juga ngerti cara bikin biopori.
  2. Gerakan Green Islam Makin Keren
    Santri bisa tampil pede di forum internasional: “Kami menjaga bumi bukan karena trending topic, tapi karena ini bagian dari ibadah.”

Kesimpulan

Kalau dunia bingung nyari pahlawan lingkungan, mungkin jawabannya ada di pesantren. Santri yang biasa begadang ngaji sampai subuh sekarang bisa jadi Avengers ekologis: pakai sorban, bawa kitab kuning, sambil nyiram pohon.

Jadi, siapa bilang turats cuma bisa jadi bahan hafalan? Nyatanya, turats bisa jadi senjata ampuh untuk menyelamatkan bumi.

abah-arul.blogspot.com, Agustus 2025

Jumat, 22 Agustus 2025

Pixel 10 vs iPhone – Perang Antar Planet AI


Konon, suatu pagi di Silicon Valley, Google berteriak lantang:

"Era iPhone sudah berakhir!"

Seketika, para penggemar Apple tersedak latte mereka. Sementara itu, para pengguna Android bersorak, walau sebagian masih pakai HP yang baterainya drop 20% tiap buka WhatsApp.

Pixel 10 muncul dengan kostum superhero AI. Katanya, ini bukan sekadar smartphone, tapi smart-sage—pintar sekaligus sok bijak. Ada fitur Gemini Live, yang katanya bisa jadi teman ngobrol interaktif. Bayangkan, Anda lagi debat sama tetangga soal siapa yang lebih ganteng antara Reza Rahadian dan Brad Pitt, tiba-tiba Pixel ikut nimbrung kasih presentasi PowerPoint.

Lalu ada Magic Cue—AI yang katanya bisa lebih proaktif dari pacar posesif. Dia tahu jadwal, pesan, bahkan email. Kalau Anda lupa ulang tahun pasangan, jangan khawatir: Pixel sudah siap bikin pengingat, lengkap dengan saran kado yang bikin dompet menjerit.

Belum lagi kamera AI. Katanya, bisa bikin foto Anda lebih bagus meski wajah sedang lelah, jerawatan, atau habis makan seblak level 15. Bahkan ada gosip, Pixel bisa mengedit wajah Anda jadi lebih bahagia—padahal aslinya Anda lagi mikirin cicilan motor.

Tapi yang paling bikin geger: Make Music with Recorder. Jadi kalau Anda humming lagu "Balonku Ada Lima", Pixel bisa bikin versi orkestra simfoni. Tinggal tunggu, suatu hari mungkin Pixel bisa bikin album dangdut koplo dari suara mesin cuci.

Masalahnya, klaim "mengakhiri era iPhone" ini terdengar seperti tukang obat di pasar malam: keras, sensasional, tapi belum tentu manjur. Karena, mari jujur, banyak orang masih lebih peduli berapa lama baterai tahan dibandingkan berapa cepat AI bikin jurnal harian penuh motivasi.

Apalagi di Indonesia, Pixel ibarat artis Hollywood yang dilarang tampil: tidak resmi dijual, dan harus lewat jalur "penyelundupan cinta terlarang". Jadi meski Pixel 10 katanya lebih pintar dari Siri lima tahun ke depan, percuma juga kalau IMEI-nya disita di bandara.

Akhir kata, perang Pixel vs iPhone ini mirip sinetron panjang: penuh drama, penuh janji, tapi kita semua tahu ending-nya sama—yang beli tetap mempertimbangkan harga, baterai, dan kamera buat foto makanan.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Kamis, 21 Agustus 2025

Menjadi Duyufurrahman: Hakikat Menjadi Tamu Allah yang Dicintai

Ibadah haji dan umrah adalah panggilan suci yang menjadikan seorang muslim sebagai Duyufurrahman—tamu Allah di Baitullah. Predikat ini bukan sekadar gelar spiritual, tetapi sebuah amanah besar. Menjadi tamu Allah yang dicintai-Nya tidak berhenti pada penyelesaian rangkaian ritual fisik, melainkan mencakup transformasi batin, akhlak, dan perilaku yang berkelanjutan.

1. Persiapan Sebelum Berangkat: Niat dan Bekal Ilmu

Segala amal bermula dari niat. Rasulullah SAW menegaskan, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim). Karenanya, perjalanan haji dan umrah harus dimurnikan dari segala kepentingan duniawi seperti gelar sosial, status, atau kebanggaan semata. Tujuan yang benar hanyalah ridha Allah.

Selain niat, bekal ilmu menjadi syarat mutlak. Tanpa pemahaman yang benar tentang manasik, doa, dan larangan ihram, ibadah bisa kehilangan makna atau bahkan tidak sah. Ilmu yang diperoleh dari guru, kitab, maupun aplikasi resmi akan menuntun jamaah menjalani setiap rukun dan wajib haji dengan benar.

Tidak kalah penting adalah memastikan biaya perjalanan berasal dari harta yang halal. Rezeki yang bersih menjadi syarat diterimanya ibadah. Terakhir, jamaah juga dituntut menyiapkan mental: kesabaran menghadapi keramaian, antrian, cuaca, hingga perbedaan budaya yang muncul selama perjalanan. Semua ujian ini harus dipandang sebagai bagian dari ibadah.

2. Selama Ibadah: Adab dan Akhlak di Tanah Suci

Hakikat bertamu adalah menghormati tuan rumah dan sesama tamu. Di Tanah Suci, adab ini bermakna menjaga hubungan dengan Allah sekaligus dengan manusia.

Seorang Duyufurrahman harus senantiasa bertakwa, memperbanyak zikir, dan menghidupkan lisan dengan doa. Dalam QS. Al-Hajj ayat 28, Allah menegaskan bahwa ibadah haji adalah momentum zikir kepada-Nya.

Sikap santun dan lemah lembut (rifq) juga menjadi cermin keindahan iman. Rasulullah SAW bersabda, “Kelemahlembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah.” (HR. Muslim). Dalam praktiknya, kelembutan terwujud dalam saling membantu, memberi arahan kepada yang kesulitan, serta tidak menyakiti sesama jamaah.

Jamaah haji dan umrah juga dituntut menjauhi perbuatan tercela seperti gossip, pertengkaran, atau perkataan kotor (rafats), sebagaimana dilarang dalam QS. Al-Baqarah ayat 197. Ujian kesabaran sangat nyata: panasnya cuaca, panjangnya antrian, serta kepadatan jamaah. Namun, kesabaran inilah yang justru mengangkat derajat seorang hamba.

Ketawadhu’an (kerendahan hati) juga sangat ditekankan. Di Tanah Suci, semua manusia sama di hadapan Allah—tidak ada bedanya antara pejabat dan rakyat, kaya maupun miskin. Identitas duniawi seharusnya luruh, diganti dengan ikatan iman dan persaudaraan.

3. Setelah Pulang: Transformasi Pasca-Haji dan Umrah

Indikator keberhasilan ibadah haji dan umrah justru terlihat setelah jamaah kembali ke tanah air. Ibadah yang diterima, atau mabrur, tercermin dari perubahan perilaku. Rasulullah SAW bersabda, “Haji yang mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain Surga.” (HR. Bukhari & Muslim).

Perubahan tersebut tampak dalam konsistensi ibadah, kepedulian sosial, dan peran aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar. Seorang yang baru pulang haji seharusnya lebih peduli pada keluarga, tetangga, dan masyarakat. Silaturahmi diperkuat, konflik dihindari, dan kasih sayang disebarkan.

Selain itu, jamaah dituntut menjaga kesyukuran melalui zikir yang berkelanjutan. Setiap langkah hidup pasca-haji seharusnya dipenuhi dengan rasa terima kasih atas kesempatan besar yang Allah berikan untuk menjadi tamu-Nya.

Kesimpulan

Menjadi Duyufurrahman yang dicintai Allah bukanlah tujuan yang berhenti pada selesai atau tidaknya ritual fisik haji dan umrah. Lebih dari itu, ia adalah proses panjang menuju transformasi spiritual. Dari niat yang ikhlas, ilmu yang benar, akhlak mulia di Tanah Suci, hingga perubahan perilaku setelah kembali ke tanah air, semuanya menjadi satu kesatuan.

Haji dan umrah adalah sekolah spiritual yang melatih seorang muslim untuk hidup dalam ketaatan, kelembutan, dan kepedulian. Dengan demikian, seorang tamu Allah yang sejati adalah mereka yang pulang dengan membawa oleh-oleh akhlak mulia, bukan sekadar air zamzam dan kurma.

Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita untuk menjadi tamu-Nya, menerima amal ibadah kita, serta menjadikan kita pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Aamiin.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Rasputin: Dari Sawah ke Singgasana, dengan Modal Ilmu “Ngibul”

Kalau Anda pikir untuk mengendalikan sebuah kekaisaran perlu kuliah politik, magang di PBB, atau setidaknya langganan Harvard Business Review, berarti Anda belum kenal Grigori Rasputin. Petani Rusia ini tidak punya ijazah, tidak punya deposito, bahkan tidak punya LinkedIn. Tapi entah bagaimana, dia berhasil jadi “influencer” paling berpengaruh di Kekaisaran Rusia. Bedanya dengan selebgram zaman sekarang: Rasputin tidak jualan skincare, melainkan jualan kepastian di tengah kekacauan.

Kunci sukses Rasputin sederhana: semua orang—bahkan kaisar—takut sama ketidakpastian. Semakin tinggi jabatan, semakin kencang pula angin was-wasnya. Rasputin muncul, bilang, “Tenang, saya tahu jawabannya.” Dan semua langsung percaya, persis kayak kita percaya dukun togel yang katanya bisa menebak angka minggu depan.

Tapi Rasputin tidak berhenti di situ. Dia punya strategi ala “paket lengkap manipulasi”:

  1. Ciptakan ketidakpastian. Kalau perlu ramal bencana.

  2. Tawarkan kepastian. Tentunya hanya dia yang punya.

  3. Jadilah tak tergantikan. Biar orang-orang berkuasa tidak bisa hidup tanpa dirinya, persis kayak kita tanpa sinyal WiFi.

Dengan trik itu, Rasputin bisa mengatur urusan kerajaan tanpa pernah tercatat di struktur birokrasi. Bayangkan, dia tidak punya jabatan resmi, tapi bisa bikin menteri minder dan jenderal tunduk. Hebatnya, tidak perlu SK Presiden—cukup SK: Sok Kepastian.

Nah, apa hubungannya dengan zaman sekarang? Sayangnya, banyak. Pola Rasputin masih dipakai sampai hari ini. Coba perhatikan iklan obat herbal: “Kalau Anda tidak minum pil daun ini, masa depan Anda suram!” Atau influencer keuangan yang bilang, “Cuma saya yang tahu cara cepat kaya tanpa kerja keras.” Sama aja—cetak biru Rasputin dengan packaging modern.

Untungnya, utas ini kasih “antidote”: kalau ada orang bikin kita bingung lalu dia muncul jadi satu-satunya solusi, jangan buru-buru percaya. Bisa jadi itu Rasputin generasi terbaru.

Sejarah menutup kisah ini dengan cukup ironis. Setelah sekian lama mengendalikan kerajaan, Rasputin akhirnya mati dibunuh bangsawan. Dua tahun kemudian, dinasti Romanov juga tumbang. Moral of the story? Kekuasaan besar tidak bikin kebal dari manipulasi—malah bikin gampang jadi korban. Ibarat punya password panjang 24 karakter tapi tetap lupa pakai two-factor authentication.

Jadi, kalau besok ada orang bilang, “Saya tahu apa yang harus kita lakukan, percayalah hanya pada saya,” sebaiknya kita tanya dulu: “Yang untung siapa?” Kalau jawabannya dia sendiri, selamat, Anda baru saja ketemu Rasputin edisi 2025.

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Rabu, 20 Agustus 2025

Satu Pertanyaan Seharga 117 Miliar Dolar

Konon, di balik kesuksesan Facebook yang sekarang punya lebih banyak pengguna daripada jumlah semut di bumi, ada satu rahasia besar: pertanyaan wawancara legendaris.

Bukan pertanyaan rumit ala ujian TPA, bukan juga teka-teki filsafat macam “Apakah kucing Schrödinger masih nge-meong kalau belum dibuka kardusnya?”. Bukan.
Pertanyaannya sederhana:
👉 “Kalau kamu jadi saya, apa yang akan kamu fokuskan?”

Nah, di sini drama dimulai.

Bayangkan seorang kandidat datang dengan dasi agak miring dan otak penuh rumus Excel. Tiba-tiba ditanya begitu.
Otaknya langsung blue screen:

  • Kalau jawab “fokus ke profit”, takut dibilang kapitalis kejam.

  • Kalau jawab “fokus ke user”, bisa ditanya balik: “yang 3 miliar itu? atau yang masih belum bikin akun?”

  • Kalau jawab “fokus ke kehidupan pribadi bos”, bisa-bisa langsung dipanggil satpam.

Di sinilah kelihaian Sheryl Sandberg. Dia bisa membedakan siapa yang jawabannya sekadar basa-basi, siapa yang benar-benar mikirin masa depan perusahaan. Dengan satu pertanyaan ini, dia bisa memilih pemimpin yang kelak bikin Facebook dari sekadar tempat nge-tag foto mantan jadi mesin iklan raksasa bernilai triliunan dolar.

Kandidat yang berhasil biasanya memberi jawaban tiga level:

  1. Pura-pura paham masalah Facebook. Misalnya, “Kita perlu menyeimbangkan pertumbuhan dengan pengalaman pengguna.” (padahal dalam hati masih bingung bedanya growth sama gross).

  2. Ngasih solusi bisa diskalakan. Contoh: “Mari buat sistem iklan canggih.” (baca: pasang iklan sandal jepit sampai ke kakek-kakek di pelosok).

  3. Ngikutin misi perusahaan. Yaitu: “Menghubungkan orang-orang di dunia.” (meski akibatnya, orang jadi ribut di kolom komentar gara-gara debat politik).

Dan hasilnya? Dari 220 juta user, sekarang lebih dari 3 miliar orang ada di dalam genggaman biru Facebook. Kalau umat manusia punya rapat akbar, cukup bikin grup FB aja: “Planet Earth Official Group (No Spam Please)”.

Tentu, ada faktor lain juga: akuisisi Instagram, WhatsApp, sampai Messenger. Tapi utas ini menegaskan: semua berawal dari satu pertanyaan wawancara.
Pertanyaan yang nilainya bukan lagi setara tes CPNS, tapi setara dengan $117 miliar.

Jadi, kalau kamu lagi diwawancara kerja dan tiba-tiba ditanya hal filosofis semacam:
👉 “Kalau kamu jadi saya, apa yang akan kamu lakukan?”
Jangan panik. Ingat, jawabanmu bisa saja menentukan nasib perusahaan. Atau minimal, menentukan apakah kamu pulang dengan status “diterima” atau “masih menganggur tapi penuh pengalaman spiritual”.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Ketika Guru Jadi “Beban Negara” Versi Deepfake: Drama Digital ala Telenovela

Bayangkan Anda lagi santai nonton TikTok, tiba-tiba muncul video Menteri Keuangan sedang pidato, lalu dengan wajah agak “tembem” dan suara yang kayak kaset kusut, ia bilang: “Guru itu beban negara.”

Sekejap, darah naik ke ubun-ubun! Para guru murid Tiktok pun marah: “Hah, jadi kita selama ini bukan pendidik bangsa, tapi beban bagasi?”

Padahal, ternyata itu bukan pidato asli. Itu hasil kreasi AI + jari-jari iseng netizen yang lebih doyan edit video ketimbang edit skripsi. Sungguh, teknologi deepfake ini kadang lebih lihai dari tukang sulap: bisa bikin seseorang berkata hal-hal yang tidak pernah diucapkan. Kalau Shakespeare hidup sekarang, mungkin ia akan bilang: “To deepfake or not to deepfake, that is the question.”

Pidato Asli: APBN, Bukan Ngibarin Spanduk Anti-Guru

Dalam kenyataannya, Sri Mulyani di Forum KSTI di ITB sama sekali tidak sedang menghina guru. Ia justru membahas soal tantangan gaji guru dan dosen yang kecil, sambil bertanya apakah semua biaya pendidikan harus selalu ditanggung APBN atau perlu partisipasi masyarakat.
Tapi, seperti biasa, dunia medsos punya jurus ninja: potong, edit, tambah efek suara kayak dubing sinetron, lalu boom—jadi kontroversi nasional.

Wajah “Tembem” dan Suara Patah-Patah

Deepfake itu bikin Sri Mulyani terlihat seperti habis makan mie instan lima bungkus sekaligus, dengan pipi bulat puffy dan suara yang mendadak putus-putus persis radio lawas. Anehnya, banyak orang langsung percaya. Rupanya bagi sebagian netizen, lebih mudah curiga pada pejabat daripada curiga pada filter TikTok.

Netizen: Dari Murka ke Trending Topic

Begitu video itu viral, guru-guru langsung ngamuk. PGRI pun ikut bersuara, istilah “guru” mendadak trending di X (Twitter). Dalam sejarah, mungkin baru kali ini satu kata se-sederhana “guru” bisa menggetarkan jagat maya, lebih heboh dari kata “gratis ongkir”.

Pemerintah: “Santai, Itu Hoaks”

Kemenkeu buru-buru kasih klarifikasi. Kepala Biro Komunikasi bilang: “Itu video palsu, hasil deepfake, jangan ditelan mentah-mentah.”
Sri Mulyani pun angkat suara lewat Instagram. Sayangnya, di era medsos, klarifikasi pejabat sering kalah cepat dari caption clickbait. Deepfake menyebar kayak nasi goreng—cepat, panas, dan bikin orang kenyang emosi.

Implikasi: Kalau Semua Bisa Deepfake, Siapa Bisa Dipercaya?

Kasus ini jadi contoh nyata: deepfake bukan cuma bisa bikin artis nyanyi lagu yang nggak pernah mereka rekam, tapi juga bikin pejabat ngomong hal yang nggak pernah mereka pikirkan.
“Hari ini Sri Mulyani, besok bisa saja Jokowi bilang ‘saya mau jadi content creator traveling’, atau Khofifah dibuat bilang ‘saya buka usaha laundry.’

Penutup: Antara Literasi dan Lelucon

Hoaks deepfake ini mengingatkan kita bahwa literasi digital itu wajib. Kalau ada video pejabat ngomong aneh-aneh, jangan buru-buru ngamuk. Siapa tahu itu hasil editan anak kos yang lagi gabut.
Jadi, lain kali kalau ada yang bilang “guru beban negara,” cek dulu sumbernya. Bisa jadi bukan Menteri Keuangan yang ngomong, tapi AI yang baru saja lulus magang di fakultas tukang fitnah digital.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025

Selasa, 19 Agustus 2025

NU dan Indonesia 80 Tahun: Dari Resolusi Jihad ke Resolusi “Santuy”

Bayangkan Indonesia berumur 80 tahun: kalau manusia, mungkin sudah pakai tongkat, suka cerita masa muda, dan kalau lupa sesuatu tinggal bilang, “Wajar, namanya juga sepuh.” Tapi anehnya, Indonesia justru makin sibuk tampil kece di panggung global. Seperti kakek-kakek ikut lomba TikTok—bukan kalah, malah trending.

Nah, di balik semua ini, ada NU. Dari dulu sampai sekarang, NU ini ibarat sahabat setia Indonesia. Waktu baru merdeka, NU langsung kasih “Resolusi Jihad”—semacam surat cinta yang isinya, “Ayo lawan penjajah, jangan cuma rebahan!” Hasilnya? Surabaya panas kayak konser metal: rakyat bakar semangat, penjajah kebakaran jenggot.

Setelah itu, NU sempat bilang, “Oke deh, kita fokus dulu urus dapur rumah tangga Indonesia. Soalnya, negara baru ini ibarat bayi: gampang nangis, gampang sakit, dan butuh banyak susu (baca: dana pembangunan).” Jadi, NU jaga harmoni sosial, bikin suasana adem.

Eh, tapi lama-lama dunia makin ribut. Ada radikalisme lintas negara, krisis iklim, sampai konflik sana-sini. NU mikir, “Kalau diem aja, kita kayak penonton sinetron yang nggak pernah ikut adegan. Mending sekalian jadi pemain tambahan, siapa tahu dapat peran utama.”

Lahirlah ide ciamik: civilizational diplomacy alias “diplomasi peradaban.” Intinya, NU bawa Islam ala Nusantara ke panggung global. Jadi bukan cuma ngomong “kita cinta damai,” tapi juga bikin forum keren kayak Religion of Twenty (R20). Di situ, NU kayak MC acara hajatan dunia: ngajak semua agama duduk bareng, bukan debat kusir, tapi makan bareng.

Teori hubungan internasional yang dipakai NU namanya “konstruktivisme.” Intinya, dunia itu bukan sekadar rebutan harta dan kuasa, tapi juga soal identitas dan norma. Kalau kata NU, “Kita ini Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, bro. Jadi harus moderat, adil, seimbang, dan toleran.” Singkatnya: jangan baperan, jangan kebanyakan drama, dan jangan suka nuduh tetangga.

Tapi ya, jadi pemain global itu susah. Kadang NU harus diplomasi sama pihak yang nilai-nilainya nggak nyambung. Itu kayak ngajak kucing dan anjing duduk bareng: bisa sih, asal ada ikan tongkol di meja. Tantangan lain, jangan sampai NU cuma dipakai jadi gimmick politik. Soalnya, “Islam moderat” itu harus beneran jalan, bukan sekadar tagline biar dapat like internasional.

Makanya NU bikin konsep baru: Resolusi Peradaban. Kalau dulu Resolusi Jihad itu soal merdeka fisik, sekarang Resolusi Peradaban itu soal merdeka nilai. Indonesia nggak boleh jadi negara yang pamer gedung tinggi tapi moralnya pendek. Nggak boleh juga jago bikin aplikasi canggih, tapi gampang nyebar hoaks.

Intinya, NU ingin ngajarin dunia bahwa membangun peradaban itu bukan cuma soal “punya nuklir atau nggak,” tapi juga soal bisa nggak kita nahan ego demi hidup bareng dengan damai. Kalau kata kiai kampung, “Hidup itu bukan siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling ikhlas.”

Jadi, menjelang usia 80 tahun, Indonesia dan NU punya PR besar: apakah mau jadi “penonton setia dunia” atau “sutradara peradaban global”? Karena kalau cuma ikut-ikutan, ya sama aja kayak kakek-nenek main TikTok tapi cuma nonton—nggak bakal trending.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025