Ibadah haji dan umrah adalah panggilan suci yang menjadikan
seorang muslim sebagai Duyufurrahman—tamu Allah di Baitullah.
Predikat ini bukan sekadar gelar spiritual, tetapi sebuah amanah besar. Menjadi
tamu Allah yang dicintai-Nya tidak berhenti pada penyelesaian rangkaian ritual
fisik, melainkan mencakup transformasi batin, akhlak, dan perilaku yang
berkelanjutan.
1. Persiapan Sebelum Berangkat: Niat dan Bekal Ilmu
Segala amal bermula dari niat. Rasulullah SAW
menegaskan, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR.
Bukhari & Muslim). Karenanya, perjalanan haji dan umrah harus dimurnikan
dari segala kepentingan duniawi seperti gelar sosial, status, atau kebanggaan
semata. Tujuan yang benar hanyalah ridha Allah.
Selain niat, bekal ilmu menjadi syarat mutlak. Tanpa
pemahaman yang benar tentang manasik, doa, dan larangan ihram, ibadah bisa
kehilangan makna atau bahkan tidak sah. Ilmu yang diperoleh dari guru, kitab,
maupun aplikasi resmi akan menuntun jamaah menjalani setiap rukun dan wajib
haji dengan benar.
Tidak kalah penting adalah memastikan biaya perjalanan
berasal dari harta yang halal. Rezeki yang bersih menjadi syarat diterimanya
ibadah. Terakhir, jamaah juga dituntut menyiapkan mental: kesabaran menghadapi
keramaian, antrian, cuaca, hingga perbedaan budaya yang muncul selama
perjalanan. Semua ujian ini harus dipandang sebagai bagian dari ibadah.
2. Selama Ibadah: Adab dan Akhlak di Tanah Suci
Hakikat bertamu adalah menghormati tuan rumah dan sesama
tamu. Di Tanah Suci, adab ini bermakna menjaga hubungan dengan Allah sekaligus
dengan manusia.
Seorang Duyufurrahman harus senantiasa bertakwa,
memperbanyak zikir, dan menghidupkan lisan dengan doa. Dalam QS. Al-Hajj ayat
28, Allah menegaskan bahwa ibadah haji adalah momentum zikir kepada-Nya.
Sikap santun dan lemah lembut (rifq) juga menjadi cermin
keindahan iman. Rasulullah SAW bersabda, “Kelemahlembutan tidaklah
berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya indah.” (HR. Muslim).
Dalam praktiknya, kelembutan terwujud dalam saling membantu, memberi arahan
kepada yang kesulitan, serta tidak menyakiti sesama jamaah.
Jamaah haji dan umrah juga dituntut menjauhi perbuatan
tercela seperti gossip, pertengkaran, atau perkataan kotor (rafats),
sebagaimana dilarang dalam QS. Al-Baqarah ayat 197. Ujian kesabaran sangat
nyata: panasnya cuaca, panjangnya antrian, serta kepadatan jamaah. Namun,
kesabaran inilah yang justru mengangkat derajat seorang hamba.
Ketawadhu’an (kerendahan hati) juga sangat ditekankan. Di
Tanah Suci, semua manusia sama di hadapan Allah—tidak ada bedanya antara
pejabat dan rakyat, kaya maupun miskin. Identitas duniawi seharusnya luruh,
diganti dengan ikatan iman dan persaudaraan.
3. Setelah Pulang: Transformasi Pasca-Haji dan Umrah
Indikator keberhasilan ibadah haji dan umrah justru terlihat
setelah jamaah kembali ke tanah air. Ibadah yang diterima, atau mabrur,
tercermin dari perubahan perilaku. Rasulullah SAW bersabda, “Haji yang
mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain Surga.” (HR.
Bukhari & Muslim).
Perubahan tersebut tampak dalam konsistensi ibadah,
kepedulian sosial, dan peran aktif dalam amar ma’ruf nahi munkar. Seorang yang
baru pulang haji seharusnya lebih peduli pada keluarga, tetangga, dan
masyarakat. Silaturahmi diperkuat, konflik dihindari, dan kasih sayang
disebarkan.
Selain itu, jamaah dituntut menjaga kesyukuran melalui zikir
yang berkelanjutan. Setiap langkah hidup pasca-haji seharusnya dipenuhi dengan
rasa terima kasih atas kesempatan besar yang Allah berikan untuk menjadi
tamu-Nya.
Kesimpulan
Menjadi Duyufurrahman yang dicintai Allah bukanlah tujuan
yang berhenti pada selesai atau tidaknya ritual fisik haji dan umrah. Lebih
dari itu, ia adalah proses panjang menuju transformasi spiritual. Dari niat
yang ikhlas, ilmu yang benar, akhlak mulia di Tanah Suci, hingga perubahan
perilaku setelah kembali ke tanah air, semuanya menjadi satu kesatuan.
Haji dan umrah adalah sekolah spiritual yang
melatih seorang muslim untuk hidup dalam ketaatan, kelembutan, dan kepedulian.
Dengan demikian, seorang tamu Allah yang sejati adalah mereka yang pulang
dengan membawa oleh-oleh akhlak mulia, bukan sekadar air zamzam dan kurma.
Semoga Allah SWT memudahkan langkah kita untuk
menjadi tamu-Nya, menerima amal ibadah kita, serta menjadikan kita pribadi yang
bermanfaat bagi sesama. Aamiin.
abah-arul.blogspot.com., Agustus 2025