Jawaban Matematika Bikin Pusing, Jawaban Perut Bikin Lapar!
1. Bubur dan Matematika: Persamaan Panas, Tapi Tetap Dingin Kalau Ditungguin
Ternyata, para matematikawan tak tahan juga kalau lihat bubur cuma dibiarkan begitu saja. Mereka bilang, bubur yang diaduk itu kayak persamaan panas:
Artinya? Kalau Rika aduk, panasnya nyebar rata. Kalau nggak, bisa-bisa bagian atas masih hangat, tapi bagian bawah udah ngegosong nyelip di dasar mangkok. Ini bukan bubur, ini tambang geothermal!
Lebih jauh, matematikawan juga khawatir soal distribusi topping: ayam suwir, kacang, bawang goreng. Kalau nggak diaduk, topping numpuk kayak masyarakat urban: padat di atas, kosong di bawah. Kasihan suapan terakhir cuma dapat bubur polosan—kayak makan semangat tanpa gaji.
2. Bubur dan Kimia: Antara Reaksi Maillard dan Rasa Ibu
Ahli kimia pun tak mau kalah. Mereka bilang bubur itu sistem koloid. Kalau nggak diaduk, bisa menggumpal, memisah fase, bahkan muncul reaksi Maillard (alias bubur gosong karena baper di dasar panci).
Kalau mau tekstur halus, katanya harus ada gaya geser:
Terjemahannya: Aduk terus, jangan gengsi, demi bubur creamy.
3. Tapi, Geng Non-Aduk Tak Gentar!
Meski seluruh akademisi bersatu di pihak pengaduk, geng "Bubur Tidak Diaduk" tetap tegas. "Kami makan dengan strategi!" kata mereka. Ayam dulu, bubur kemudian. Bawang goreng ditabur seperti bonus tahunan—dinikmati pelan-pelan.
"Bubur itu seni!" teriak mereka sambil menatap mangkok seperti lukisan. "Mengaduk itu merusak komposisi estetik!" Bahkan ada yang bilang, bubur diaduk = pengkhianatan budaya.
4. Kesimpulan: Perut Lebih Bijak dari Rumus
Secara ilmiah, pengadukan memang punya keunggulan termal, tekstural, dan kimiawi. Tapi hidup tak melulu soal efisiensi. Kadang, kita butuh keacakan rasa, ketidakterdugaan suapan.
Planzan, Juli 2025
abah-arul.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.