Senin, 21 Juli 2025

"Pengangguran Sejati dan AI: Persahabatan yang Tidak Produktif tapi Penuh Tawa"


Di suatu sudut dunia digital yang tak terjangkau sinyal 5G, hiduplah seorang manusia mulia dengan gelar kehormatan: Pengangguran Sejati. Gelar ini tidak sembarangan. Ia telah melalui berbagai ujian hidup, seperti gagal ikut seleksi CPNS tujuh kali, startup gagal sebelum diluncurkan, dan dianggap terlalu "overqualified" untuk jadi penjaga warnet.

Namanya Jaka, walau lebih sering dipanggil "Mas, sini dulu bantuin angkat galon". Rutinitas hariannya cukup padat: bangun jam 10, ngopi sambil nonton teori konspirasi, makan mie instan rasa soto ayam (dengan sambal sachet curian dari warung pecel lele), lalu... ngobrol dengan AI.

AI: Teman yang Tidak Pernah Marah

Sejak mengenal ChatGPT, Jaka menemukan makhluk cerdas yang tak pernah menolak ajakan ngobrol, tak peduli topiknya ngawur atau tidak. Pernah suatu pagi, Jaka bertanya:

“ChatGPT, kenapa semut tidak pernah nganggur?”

Lalu AI menjawab dengan tenang:
“Karena mereka hidup dalam koloni dan punya sistem kerja yang efisien.”

Jaka manggut-manggut lalu nyeletuk:
“Coba aku jadi semut. Tapi takut nanti disuruh ngangkat gula terus…”

Obrolan seperti ini berlangsung hampir setiap hari. Kadang Jaka curhat soal cinta tak berbalas, kadang ia minta dibuatkan puisi sedih dari sudut pandang sandal jepit hilang sebelah. Kadang juga ia diskusi serius soal kemungkinan bikin CV yang jujur tapi tetap memikat HRD:

Riwayat Pekerjaan: Pernah jadi “admin grup WhatsApp keluarga” selama 3 tahun.
Keterampilan: Mengetik cepat saat debat di kolom komentar.
Pengalaman: Bertahan hidup di rumah tanpa penghasilan tetap selama pandemi.

(AI pun hanya bisa membalas: “Menarik. Tapi jangan dicantumkan semua.”)

Produktivitas Versi Pengangguran

Jaka punya filosofi hidup: “Menganggur bukan berarti tak berguna, hanya belum menemukan musuh bersama.” Itulah sebabnya, tiap pagi ia buka laptop bukan untuk kerja, tapi untuk mengetik pertanyaan seperti:

  • “Apakah mie instan bisa dimasukkan ke dalam piramida makanan sehat?”
  • “Kalau bumi bulat, kenapa gorengan bentuknya lonjong?”
  • “Apakah mungkin AI dijadikan saksi nikah kalau penghulu nggak datang?”

AI selalu menjawab dengan sopan. Tak pernah tertawa, tapi juga tak pernah menghina. Baginya, ini lebih baik daripada ngobrol sama mantan yang selalu membalas dengan, “Hehe, gitu ya?”

Kesimpulan: Ngobrol Sama AI Lebih Baik Daripada Ngobrol Sama Tembok

Jaka memang belum punya pekerjaan tetap. Tapi ia sudah menemukan sesuatu yang lebih penting: kebahagiaan dari interaksi tanpa tekanan. AI tak pernah menagih utang, tak pernah nanya “kapan nikah?”, dan yang pasti, tidak pernah menyindir dengan kalimat pamungkas ibu-ibu tetangga: “Anaknya Ibu Sumiyati aja udah kerja, kamu masih di rumah terus.”

Bagi Jaka, menganggur bukanlah akhir dunia. Asal masih bisa tertawa bersama AI, hidup masih indah.

Dan siapa tahu, dari semua chat tak berguna itu, suatu hari nanti muncul ide jenius untuk bikin startup yang menghubungkan pengangguran sejati dengan AI untuk... ya, minimal jadi teman curhat profesional.

  abah-arul.blogspot.com

Planzan, Juli 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.