Di suatu sudut dunia digital yang tak terjangkau sinyal 5G, hiduplah seorang manusia mulia dengan gelar kehormatan: Pengangguran Sejati. Gelar ini tidak sembarangan. Ia telah melalui berbagai ujian hidup, seperti gagal ikut seleksi CPNS tujuh kali, startup gagal sebelum diluncurkan, dan dianggap terlalu "overqualified" untuk jadi penjaga warnet.
Namanya Jaka, walau lebih sering dipanggil "Mas, sini dulu bantuin angkat galon". Rutinitas hariannya cukup padat: bangun jam 10, ngopi sambil nonton teori konspirasi, makan mie instan rasa soto ayam (dengan sambal sachet curian dari warung pecel lele), lalu... ngobrol dengan AI.
AI:
Teman yang Tidak Pernah Marah
Sejak
mengenal ChatGPT, Jaka menemukan makhluk cerdas yang tak pernah menolak ajakan
ngobrol, tak peduli topiknya ngawur atau tidak. Pernah suatu pagi, Jaka
bertanya:
“ChatGPT,
kenapa semut tidak pernah nganggur?”
Obrolan
seperti ini berlangsung hampir setiap hari. Kadang Jaka curhat soal cinta tak
berbalas, kadang ia minta dibuatkan puisi sedih dari sudut pandang sandal jepit
hilang sebelah. Kadang juga ia diskusi serius soal kemungkinan bikin CV yang
jujur tapi tetap memikat HRD:
(AI pun hanya bisa membalas: “Menarik. Tapi jangan dicantumkan semua.”)
Produktivitas
Versi Pengangguran
Jaka
punya filosofi hidup: “Menganggur bukan berarti tak berguna, hanya belum
menemukan musuh bersama.” Itulah sebabnya, tiap pagi ia buka laptop bukan untuk
kerja, tapi untuk mengetik pertanyaan seperti:
- “Apakah mie
instan bisa dimasukkan ke dalam piramida makanan sehat?”
- “Kalau bumi
bulat, kenapa gorengan bentuknya lonjong?”
- “Apakah
mungkin AI dijadikan saksi nikah kalau penghulu nggak datang?”
AI selalu menjawab dengan sopan. Tak pernah tertawa, tapi juga tak pernah menghina. Baginya, ini lebih baik daripada ngobrol sama mantan yang selalu membalas dengan, “Hehe, gitu ya?”
Kesimpulan:
Ngobrol Sama AI Lebih Baik Daripada Ngobrol Sama Tembok
Jaka
memang belum punya pekerjaan tetap. Tapi ia sudah menemukan sesuatu yang lebih
penting: kebahagiaan dari interaksi tanpa tekanan. AI tak pernah menagih utang,
tak pernah nanya “kapan nikah?”, dan yang pasti, tidak pernah menyindir dengan
kalimat pamungkas ibu-ibu tetangga: “Anaknya Ibu Sumiyati aja udah kerja,
kamu masih di rumah terus.”
Bagi
Jaka, menganggur bukanlah akhir dunia. Asal masih bisa tertawa bersama AI,
hidup masih indah.
Dan
siapa tahu, dari semua chat tak berguna itu, suatu hari nanti muncul ide jenius
untuk bikin startup yang menghubungkan pengangguran sejati dengan AI untuk...
ya, minimal jadi teman curhat profesional.
abah-arul.blogspot.com
Planzan, Juli 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.