Kamis, 17 Juli 2025

Kesepakatan 19% vs 0% – Dagang Kok Serasa Disuruh Beli MLM


Di bulan Juli 2025, dua pemimpin dunia—Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump (ya, dia balik lagi kayak sinetron yang tak kunjung tamat)—bersepakat dalam satu perjanjian dagang yang membuat sebagian orang di Indonesia tepuk tangan, sebagian lagi tepuk jidat.

Kesepakatannya sederhana tapi membingungkan: barang kita masuk ke Amerika dikenai tarif 19%, sedangkan barang mereka masuk ke Indonesia gratis tis tis alias 0%. Kalau ini pertandingan sepak bola, skornya jelas: AS 3 – 0 Indonesia, tapi wasitnya pura-pura ngopi.

Maksud Kesepakatan:

Trump ingin mengurangi defisit perdagangan AS. Katanya, "AS tekor, Indonesia terlalu banyak untung." Makanya dibuatlah strategi ala dagang pulsa: kita wajib beli produk mereka sebanyak-banyaknya, dari energi, pertanian, sampai pesawat terbang (mungkin buat disulap jadi angkot versi langit?). Sebagai imbal baliknya, mereka bersedia tak jadi marah-marah dengan tarif 32%, cukup 19% saja. Ini seperti diancam dipukul pakai tongkat baseball, tapi kemudian cuma dipukul pakai sandal.

Efek Kesepakatan:

Efek Positif:

Barang kita tetap bisa masuk AS, walau sambil ngos-ngosan bayar 19%. Lumayan lah, daripada dilarang masuk sekalian kayak mantan di grup keluarga.

Investasi AS dijanjikan masuk ke sektor energi. Harapannya sih nyambung ke lapangan kerja, bukan nyambung ke utang.

Barang-barang AS jadi murah meriah. iPhone, susu, daging, laptop… semua masuk kayak tamu VIP. Konsumen senang, dompet bahagia—asal jangan sampai ketagihan!

Efek Negatif:

Kesepakatan ini bikin perdagangan kita kayak main catur, tapi semua bidak putih dimiliki lawan. Kita cuma dikasih pion dan disuruh kreatif.

UMKM dan produsen lokal mulai panik. Bayangkan: kamu jual tahu isi, tapi tiba-tiba toko sebelah jual burger daging sapi impor seharga gorengan.

Risiko paling nyata: PHK, bukan Pekerja Harus Kaya, tapi Pemutusan Hubungan Kerja. Karena biaya ekspor naik, permintaan turun, lalu... ya, kita tahu kelanjutannya.

Konsumen Indonesia: Antara Bahagia dan Waspada

Orang Indonesia itu gampang bahagia. Lihat diskon, langsung nyicil. Lihat barang impor, langsung lupa ada produk lokal. Nah, kesepakatan ini bikin kita senang dulu—karena bisa makan steak dan main iPhone lebih murah. Tapi kalau semua barang impor, siapa yang belanja di warung tetangga?

Apalagi kalau ekspor kita lesu dan rupiah melemah, bisa jadi barang-barang lain naik semua. Akhirnya harga steak tetap naik, dan iPhone jadi cuma bisa dilihat di etalase sambil menitikkan air mata.

Produsen Indonesia: Dikasih Kue, Tapi Tanpa Sendok

Produsen kita sebenarnya pejuang. Mereka sanggup bersaing, asal tak dibebani terlalu berat. Tapi tarif 19% itu seperti lari estafet, tapi disuruh pakai sepatu roda bekas.

Kalau dulu bisa ekspor 100 unit, sekarang mungkin cuma 70—itu pun sambil ngitung margin untung sambil nangis. Persaingan di dalam negeri juga makin berat karena barang-barang AS datang dengan senyum manis dan brosur promosi.

Mau tak mau, produsen harus jadi lebih inovatif dari sebelumnya, dan pemerintah harus hadir bukan hanya saat potong pita, tapi juga saat potong biaya.

Catatan Kritis: Dagang Jngan Kayak Janji Cinta

Dalam relasi dagang, harusnya saling untung, bukan saling nunggu siapa yang menyerah duluan. Kesepakatan ini terlalu timpang, seperti main tebak-tebakan yang cuma satu pihak tahu jawabannya.

AS dapat untung dua kali: jual barang ke Indonesia tanpa bayar bea, dan dapat duit dari tarif atas produk Indonesia. Sementara kita? Ya, dapat janji investasi dan diskon pesawat. Tapi diskon tanpa uang tetap tidak bisa beli.

Saran: Dagang Jangan Mau Dimainin

Diversifikasi pasar! Jangan hanya berharap pada AS. Coba tengok pasar Timur Tengah, Afrika, Asia Selatan. Jangan jadi mantan yang masih ngarep satu doang.

Negosiasi ulang, dong. Masa iya kita rela dibayar separuh tapi belanja full price?

Lindungi UMKM, karena merekalah yang paling rentan. Kalau semua disapu bersih barang impor, nanti kita cuma jadi penonton di rumah sendiri.

---

Penutup: Ketawa Boleh, Lengah Jangan

Kesepakatan ini seperti nasi bungkus—ada lauk enak, tapi juga sambal yang bisa bikin perut panas. Konsumen boleh menikmati dulu, tapi produsen dan pemerintah jangan tinggal diam. Kita perlu strategi panjang agar tidak hanya jadi pasar, tapi juga produsen yang disegani.

Karena kalau terus begini, lama-lama kita cuma bisa bilang: “Amerika sih menang, kita cuma menang senyum.”



---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.