Tanggal 21 Juli 2025 akan dikenang sebagai hari ketika ekonomi rakyat tidak lagi sekadar urusan pasar, tapi juga urusan lidi. Betul! Karena menurut pidato yang saya dengar sambil nyambi ngupas bawang di dapur, koperasi itu ibarat seikat lidi: kalau sendiri ya lemah, tapi kalau digabung bisa jadi sapu yang mampu menyapu... utang, harapannya.
Hari itu, secara resmi
diluncurkan 80.081 Koperasi Merah Putih serentak di seluruh Indonesia.
Jumlahnya luar biasa. Bahkan lebih banyak dari jumlah mantan gebetan saya yang
cuma empat, itu pun dua sudah jadi anggota koperasi duluan karena ada diskon
minyak goreng.
Kata Pak Pimpinan,
koperasi-koperasi ini akan memperpendek rantai distribusi. Artinya, semoga
nanti kalau saya beli cabai, nggak perlu lewat tengkulak, cucu tengkulak, cicit
tengkulak, dan dropshipper online yang markup-nya lebih galak dari debt
collector. Bayangkan kalau semua bahan pokok bisa didapat langsung dari
koperasi. Harga beras jadi manusiawi, telur tidak semahal drama Korea, dan
minyak goreng tidak perlu lagi disembunyikan di balik etalase kayak harta
karun.
Lebih menarik lagi, koperasi ini
bukan cuma untuk urusan ekonomi. Tapi katanya juga bisa jadi alat kedaulatan
rakyat. Saya jadi bayangin, nanti di tiap desa ada rapat akbar dengan
agenda sakral: “Harga galon naik, apakah kita setujui?” Diikuti oleh
suara warga yang angkat tangan sambil ngemil gorengan dari warung koperasi.
Namun, seperti halnya lidi,
koperasi juga bisa patah kalau salah diikat. Kalau pengurusnya cuma ngurusin
selfie dan pencitraan di TikTok, atau kalau rapatnya isinya cuma ngebahas menu
konsumsi dan siapa yang bawa sound system, ya susah. Bukannya memperpendek
rantai distribusi, malah memperpanjang utang kasbon.
Tapi mari kita optimis. Ini zaman
gotong royong digital. Mungkin sebentar lagi kita bisa belanja sayur via
aplikasi “KopSay” (Koperasi Sayur), top up token listrik lewat “KopListrik”,
bahkan cari jodoh petani setia lewat “KopCinta” (Koperasi Cinta dan Ketahanan
Rumah Tangga).
Jadi, selamat datang Koperasi
Merah Putih. Semoga engkau bukan sekadar lembaga, tapi jadi tempat di mana
rakyat bisa nyicil sembako, nyetor harapan, dan menarik masa depan yang lebih
waras. Karena di zaman algoritma ini, cuma koperasi yang masih bisa mengajarkan
satu hal: kemajuan itu harus dirancang bersama, bukan diserahkan ke harga
pasar.
Dan ingat, kalau ada yang bilang
“koperasi itu kuno,” jawab saja: "Justru yang kuno itulah yang awet.
Lihat saja nasi uduk, dari dulu nggak pernah salah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.