Kamis, 24 Juli 2025

"Sound Horeg: Ketika Gendang Telinga Tak Lagi Hore"


Di sebuah desa antah-berantah di Jawa Timur, sebuah peristiwa mengguncang ketenangan warga: karnaval datang, sound horeg dibunyikan, dan gendang telinga warga pensiun dini. Satu-satunya makhluk hidup yang tetap tenang malam itu hanyalah kambing Pak RT, yang sejak lahir memang sudah budeg.

Sound horeg bukan sekadar speaker biasa. Ini bukan sound untuk karaoke keluarga. Ini adalah jurus pamungkas dalam pertunjukan budaya lokal — speaker segede lemari es dua pintu, dengan volume setara letusan kawah Gunung Semeru, dikendalikan oleh seorang juru teknik bernama Mas Brewok, yang percaya bahwa decibel adalah bentuk cinta.

“Kalau nggak sampai retak genteng rumah tetangga, itu belum horeg!” kata Mas Brewok sambil membetulkan kacamata hitamnya — yang tetap dipakai meski acaranya malam hari.

Panggung Sengketa: THT vs PSSI (Pecinta Sound System Indonesia)

Namun kegembiraan tak berlangsung lama. Sejumlah dokter THT pun turun gunung. Bukan untuk joget, tapi untuk mengingatkan bahwa gendang telinga bukan mainan. Menurut dr. Meyrna, sound horeg bisa menimbulkan tuli permanen, gangguan komunikasi, bahkan krisis rumah tangga karena istri harus teriak dulu sebelum suami sadar sedang dipanggil.

Tapi para pecinta sound horeg tidak tinggal diam. Mereka membawa argumen sakti: "Kami ini bukan cuma penyumbang suara, tapi juga penyumbang ekonomi lokal! Ada teknisi, penyewa, bahkan tukang soto keliling ikut panen!” Bahkan mereka punya “Kode Etik Horegers”, semacam Alkitab berbunyi: “Tidak boleh memekakkan telinga lebih dari 6 jam berturut-turut kecuali dalam acara nikahan mantan.”

Fatwa dan Fatamorgana

Melihat rakyat mulai bertengkar antara volume dan vibrasi, MUI Jatim pun memanggil seluruh pihak: dokter THT, pemilik sound, dan jemaah TikTok. Dalam forum itu, semua bicara. Mas Brewok membuka argumen dengan:

“Kami kadang memang berisik, tapi kami juga bangun masjid, Bu!”

Sontak dokter THT menjawab:

“Tapi kami yang merawat jemaahnya kalau telinganya pecah, Mas!”

Akhirnya lahirlah fatwa unik: Sound horeg halal bila volumenya manusiawi dan isi acaranya syar’i. Haram jika menyebabkan kerusakan rumah, jantung, atau iman.

Media Sosial: Antara Meme dan Mimisan

Di media sosial, debat ini makin liar. Ada netizen bikin meme: “Sound horeg: dari rakyat, oleh rakyat, memekakkan rakyat.” Ada pula yang menyarankan supaya dokter THT buka klinik keliling tiap ada hajatan sound horeg, biar cepat tanggap darurat.

Sementara itu, akun @HoregersSantuy menulis:

“Kami siap taat aturan, asalkan dokter juga siap nari bareng di depan subwoofer.”

Jalan Tengah (yang belum dibangun karena dananya dialihkan ke acara sound horeg)

Akhirnya, disepakati beberapa solusi:

  • Acara dibatasi sampai jam 10 malam, karena setelah itu bukan hanya suara yang terganggu, tapi juga rumah tangga.
  • Lokasi sound horeg dialihkan ke lapangan, bukan di gang sempit yang kalau motor lewat saja sudah bikin orang panik.
  • Masyarakat diedukasi, bukan hanya soal suara keras, tapi juga soal kapan harus mendengar dan kapan harus diam — terutama kalau sedang dikritik.

Penutup (pakai earplug)

Begitulah kisah epik rakyat dan volume. Antara yang ingin goyang dan yang ingin tenang. Antara gegap gempita dan gendang telinga. Semoga di masa depan, kita bisa punya sound horeg yang tetap horeg, tapi tidak bikin orang mengira sedang ada perang dunia ketiga.

Kalau tak bisa saling mendengar, minimal jangan saling memekakkan.

 

abah-arul.blogspot.com.

Planzan, Juli 2025

              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.