Di sebuah desa antah-berantah di Jawa Timur, sebuah peristiwa mengguncang ketenangan warga: karnaval datang, sound horeg dibunyikan, dan gendang telinga warga pensiun dini. Satu-satunya makhluk hidup yang tetap tenang malam itu hanyalah kambing Pak RT, yang sejak lahir memang sudah budeg.
Sound horeg bukan sekadar speaker
biasa. Ini bukan sound untuk karaoke keluarga. Ini adalah jurus pamungkas
dalam pertunjukan budaya lokal — speaker segede lemari es dua pintu, dengan
volume setara letusan kawah Gunung Semeru, dikendalikan oleh seorang juru
teknik bernama Mas Brewok, yang percaya bahwa decibel adalah bentuk
cinta.
“Kalau nggak sampai retak genteng rumah tetangga, itu belum horeg!” kata Mas Brewok sambil membetulkan kacamata hitamnya — yang tetap dipakai meski acaranya malam hari.
Panggung Sengketa: THT vs PSSI
(Pecinta Sound System Indonesia)
Namun kegembiraan tak berlangsung
lama. Sejumlah dokter THT pun turun gunung. Bukan untuk joget, tapi untuk
mengingatkan bahwa gendang telinga bukan mainan. Menurut dr. Meyrna, sound
horeg bisa menimbulkan tuli permanen, gangguan komunikasi, bahkan krisis
rumah tangga karena istri harus teriak dulu sebelum suami sadar sedang
dipanggil.
Tapi para pecinta sound horeg tidak tinggal diam. Mereka membawa argumen sakti: "Kami ini bukan cuma penyumbang suara, tapi juga penyumbang ekonomi lokal! Ada teknisi, penyewa, bahkan tukang soto keliling ikut panen!” Bahkan mereka punya “Kode Etik Horegers”, semacam Alkitab berbunyi: “Tidak boleh memekakkan telinga lebih dari 6 jam berturut-turut kecuali dalam acara nikahan mantan.”
Fatwa dan Fatamorgana
Melihat rakyat mulai bertengkar
antara volume dan vibrasi, MUI Jatim pun memanggil seluruh pihak: dokter THT,
pemilik sound, dan jemaah TikTok. Dalam forum itu, semua bicara. Mas Brewok
membuka argumen dengan:
“Kami kadang memang berisik, tapi
kami juga bangun masjid, Bu!”
Sontak dokter THT menjawab:
“Tapi kami yang merawat jemaahnya
kalau telinganya pecah, Mas!”
Akhirnya lahirlah fatwa unik: Sound horeg halal bila volumenya manusiawi dan isi acaranya syar’i. Haram jika menyebabkan kerusakan rumah, jantung, atau iman.
Media Sosial: Antara Meme dan
Mimisan
Di media sosial, debat ini makin
liar. Ada netizen bikin meme: “Sound horeg: dari rakyat, oleh rakyat,
memekakkan rakyat.” Ada pula yang menyarankan supaya dokter THT buka
klinik keliling tiap ada hajatan sound horeg, biar cepat tanggap darurat.
Sementara itu, akun
@HoregersSantuy menulis:
“Kami siap taat aturan, asalkan dokter juga siap nari bareng di depan subwoofer.”
Jalan Tengah (yang belum
dibangun karena dananya dialihkan ke acara sound horeg)
Akhirnya, disepakati beberapa
solusi:
- Acara dibatasi sampai jam 10 malam, karena setelah
itu bukan hanya suara yang terganggu, tapi juga rumah tangga.
- Lokasi sound horeg dialihkan ke lapangan, bukan di
gang sempit yang kalau motor lewat saja sudah bikin orang panik.
- Masyarakat diedukasi, bukan hanya soal suara keras, tapi juga soal kapan harus mendengar dan kapan harus diam — terutama kalau sedang dikritik.
Penutup (pakai earplug)
Begitulah kisah epik rakyat dan
volume. Antara yang ingin goyang dan yang ingin tenang. Antara gegap gempita
dan gendang telinga. Semoga di masa depan, kita bisa punya sound horeg yang
tetap horeg, tapi tidak bikin orang mengira sedang ada perang dunia ketiga.
Kalau tak bisa saling mendengar,
minimal jangan saling memekakkan.
abah-arul.blogspot.com.
Planzan, Juli 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.