Ayam, Sayur, dan Ayahku
Di sebelah rumah, ada Pak Darmo.
Beliau beternak ayam. Banyak ayamnya, suaranya ramai tiap sore. Kadang bikin
aku susah belajar. Tapi yang bikin ayahku kesal, ayam-ayam itu sering masuk
ladang. Menginjak tomat, makan daun kangkung, bahkan berak di antara cabai.
“Ayam-ayam Darmo itu, bikin rusak
semuanya,” gerutu ayah sambil membetulkan topi lusuhnya.
Aku pernah lihat sendiri. Waktu
ikut ayah ke ladang, aku lihat seekor ayam hitam berdiri gagah di tengah
bedengan bayam. Lucu sebenarnya. Tapi ayah langsung mengusirnya, sambil
marah-marah sendiri.
Suatu malam, aku dengar ayah dan
ibu bicara di ruang tamu.
“Kalau punya duit, aku pengin
pagar ladang. Tapi panen ini juga belum cukup,” kata ayah.
“Kenapa nggak bicara baik-baik
sama Pak Darmo? Bukan malah saling diam.”
Ayah diam. Lalu mengangguk kecil.
Esoknya, kejutan datang. Ayah dan
Pak Darmo duduk bareng di bawah pohon waru, membawa bambu, palu, dan tali
rafia. Aku bantu mengikat bambu. Mereka mulai membangun pagar sederhana di
sekeliling ladang ayah.
“Pak, ayam-ayam sampeyan nanti
makan di mana?” tanya ayah.
“Nanti saya bikin tempat makan di
dekat kandang. Saya juga kasih sisa bebijian dari kebun tetangga yang tak
dipakai.”
Dan benar. Sekarang, ayam-ayam
itu tak lagi masuk ladang. Mereka punya tempat makan sendiri, dan ayahku bisa
tersenyum lagi saat melihat tomat-tomat kecil mulai memerah.
Aku belajar sesuatu dari itu
semua.
Kadang, orang dewasa terlalu lama
menunggu untuk bicara. Padahal, kalau saling mau bantu sedikit, dunia bisa jadi
lebih damai—untuk ayam, untuk sayur, dan untuk anak-anak seperti aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.