Minggu, 27 Juli 2025

NU, Humanitarian Islam, dan Peradaban Kopi Jumat Pagi


Pada suatu pagi yang cerah di Gedung PBNU, saat aroma kopi robusta membaur dengan bau pendingin ruangan yang sudah berumur, berkumpullah para tokoh dan cendekiawan dalam Forum Diskusi Kramat. Tema hari itu bukan tentang siapa yang ngutang di kantin atau siapa yang nyolong sandal saat shalat Jumat, melainkan: “Diplomasi Global NU di Tengah Ketidakpastian Dunia.”

Ketua pengurus PBNU, Kiai Ahmad Suaedy, dengan wajah tenang tapi isi kepala sepadat soto Madura, menyampaikan hal serius: dunia sedang mengalami disrupsi teknologi, dehumanisasi, dan kemajuan yang bikin manusia makin tidak manusiawi. Singkatnya, dunia makin canggih, tapi banyak orang makin cengeng dan bengis. Kecuali yang ngaji manaqiban, itu tetap sabar—walau kadang juga ngeluh sinyal lemot.

Kiai Suaedy menjelaskan, NU punya peradaban sendiri: Aswaja. Sebuah peradaban yang tidak ikut-ikutan tren, tapi juga tidak memusuhi tren. NU itu seperti pecel lele tenda biru: dia tidak mewah, tidak kekinian, tapi tetap dicari orang bahkan di zaman GoFood dan AI yang bisa bikin puisi patah hati.

Nah, di tengah dunia yang makin ribet ini, NU datang dengan tawaran serius dan sangat filosofis: Humanitarian Islam. Atau dalam bahasa anak warung kopi: Islam yang nggak lupa jadi manusia.

Humanitarian Islam adalah semacam startup spiritual, gabungan antara nilai kemanusiaan, agama, dan kearifan lokal. Sebuah bentuk post-humanism versi sarungan, yang tidak hanya ngomongin robot dan chip, tapi juga akhlak dan empati. Bukan cuma pakai AI, tapi juga pakai KH, alias Kiai Hati.

Sebab menurut Kiai Suaedy, demokrasi hari ini sedang digerogoti dari dalam—bukan oleh tikus, tapi oleh para pemilik perusahaan teknologi. Demokrasi yang dulu katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sekarang malah dari Google, oleh algoritma, dan untuk saham.

“Demokrasi sekarang lebih patuh pada pemilik perusahaan teknologi ketimbang rakyat kecil,” tegas beliau. Padahal rakyat kecil itu penting, terutama tukang tambal ban. Tanpa mereka, demokrasi bisa bocor.

Untuk menjawab semua ini, NU sudah tidak main-main. Mereka sudah mengadakan forum-forum penting seperti R20 (Bali, tahun 2022), R20 ISORA (Jakarta, 2023), dan International Conference of Humanitarian Islam (2024), dan Konferensi Internasional Humanitarian Islam.

Semua ini dilakukan demi menyeimbangkan dunia yang sudah miring, dan agar manusia tidak kalah oleh ciptaannya sendiri. Sebab jangan sampai AI jadi pintar, tapi manusia malah minta tolong ke AI untuk bikin doa buka puasa.

Sementara itu, Pak Khoerul Umam dari Universitas Paramadina menambahkan bahwa hubungan internasional itu tidak pernah benar-benar sekuler. Katanya, “Hubungan Internasional itu lahir dari debat soal agama.” Artinya, sejak zaman dulu, manusia sudah ribut, tapi tetap pakai kitab suci buat debat. Entah pakai ayat, tafsir, atau status WhatsApp.

Ia menekankan bahwa Humanitarian Islam akan terasa biasa-biasa saja saat dunia tenang, tapi jadi sangat penting saat dunia panik. Ini mirip seperti genset: tidak ada yang peduli selama listrik nyala, tapi jadi rebutan saat PLN mulai PHP.

Maka jelaslah, NU bukan hanya sibuk urus kuburan dan peringatan haul, tapi juga urus masa depan dunia. Di tengah gemuruh teknologi dan dunia yang makin absurd, NU muncul membawa sehelai sarung dan secangkir kopi, berkata:

“Tenang, kita punya Humanitarian Islam.”

Dan semoga di tengah dunia yang makin tidak pasti ini, kita tetap punya dua hal pasti: kasih sayang dan pengurus NU yang bisa bicara humanisme sambil tetap pakai sarung dan sendal jepit.

abah-arul.blogspot.com., Planzan 2025

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.