Pada suatu pagi yang cerah di Gedung PBNU, saat aroma kopi robusta membaur dengan bau pendingin ruangan yang sudah berumur, berkumpullah para tokoh dan cendekiawan dalam Forum Diskusi Kramat. Tema hari itu bukan tentang siapa yang ngutang di kantin atau siapa yang nyolong sandal saat shalat Jumat, melainkan: “Diplomasi Global NU di Tengah Ketidakpastian Dunia.”
Ketua pengurus PBNU, Kiai Ahmad
Suaedy, dengan wajah tenang tapi isi kepala sepadat soto Madura, menyampaikan
hal serius: dunia sedang mengalami disrupsi teknologi, dehumanisasi, dan
kemajuan yang bikin manusia makin tidak manusiawi. Singkatnya, dunia makin
canggih, tapi banyak orang makin cengeng dan bengis. Kecuali yang ngaji
manaqiban, itu tetap sabar—walau kadang juga ngeluh sinyal lemot.
Kiai Suaedy menjelaskan, NU punya
peradaban sendiri: Aswaja. Sebuah peradaban yang tidak ikut-ikutan tren, tapi
juga tidak memusuhi tren. NU itu seperti pecel lele tenda biru: dia tidak
mewah, tidak kekinian, tapi tetap dicari orang bahkan di zaman GoFood dan AI
yang bisa bikin puisi patah hati.
Nah, di tengah dunia yang makin
ribet ini, NU datang dengan tawaran serius dan sangat filosofis: Humanitarian
Islam. Atau dalam bahasa anak warung kopi: Islam yang nggak lupa jadi
manusia.
Humanitarian Islam adalah semacam
startup spiritual, gabungan antara nilai kemanusiaan, agama, dan
kearifan lokal. Sebuah bentuk post-humanism versi sarungan, yang tidak
hanya ngomongin robot dan chip, tapi juga akhlak dan empati. Bukan cuma pakai
AI, tapi juga pakai KH, alias Kiai Hati.
Sebab menurut Kiai Suaedy,
demokrasi hari ini sedang digerogoti dari dalam—bukan oleh tikus, tapi oleh
para pemilik perusahaan teknologi. Demokrasi yang dulu katanya dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, sekarang malah dari Google, oleh algoritma, dan
untuk saham.
“Demokrasi sekarang lebih patuh
pada pemilik perusahaan teknologi ketimbang rakyat kecil,” tegas beliau.
Padahal rakyat kecil itu penting, terutama tukang tambal ban. Tanpa mereka,
demokrasi bisa bocor.
Untuk menjawab semua ini, NU
sudah tidak main-main. Mereka sudah mengadakan forum-forum penting seperti R20
(Bali, tahun 2022), R20 ISORA (Jakarta, 2023), dan International Conference of
Humanitarian Islam (2024), dan Konferensi Internasional Humanitarian Islam.
Semua ini dilakukan demi
menyeimbangkan dunia yang sudah miring, dan agar manusia tidak kalah oleh
ciptaannya sendiri. Sebab jangan sampai AI jadi pintar, tapi manusia malah
minta tolong ke AI untuk bikin doa buka puasa.
Sementara itu, Pak Khoerul Umam
dari Universitas Paramadina menambahkan bahwa hubungan internasional itu tidak
pernah benar-benar sekuler. Katanya, “Hubungan Internasional itu lahir dari
debat soal agama.” Artinya, sejak zaman dulu, manusia sudah ribut, tapi tetap
pakai kitab suci buat debat. Entah pakai ayat, tafsir, atau status WhatsApp.
Ia menekankan bahwa Humanitarian
Islam akan terasa biasa-biasa saja saat dunia tenang, tapi jadi sangat penting
saat dunia panik. Ini mirip seperti genset: tidak ada yang peduli selama
listrik nyala, tapi jadi rebutan saat PLN mulai PHP.
Maka jelaslah, NU bukan hanya
sibuk urus kuburan dan peringatan haul, tapi juga urus masa depan dunia. Di
tengah gemuruh teknologi dan dunia yang makin absurd, NU muncul membawa sehelai
sarung dan secangkir kopi, berkata:
“Tenang, kita punya Humanitarian
Islam.”
Dan semoga di tengah dunia yang
makin tidak pasti ini, kita tetap punya dua hal pasti: kasih sayang dan
pengurus NU yang bisa bicara humanisme sambil tetap pakai sarung dan sendal
jepit.
abah-arul.blogspot.com., Planzan 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.