Di kampung kami, tanah itu lebih dari sekadar lahan: ia adalah harga diri, sumber warisan, dan kadang bahan drama epik yang tak kalah seru dari sinetron Azab. Saking seriusnya urusan tanah, tetangga bisa tak saling sapa hanya gara-gara batas sawah yang, entah kenapa, tiap tahun makin 'bergeser'… ke arah yang satu saja: arah kita.
Fenomena ini dikenal dalam
istilah canggih sebagai land encroachment, tapi kami lebih akrab
menyebutnya sebagai “penggarapan dengan iman dan nekat.” Maksudnya?
Garap dulu, urusan batas belakangan—asal tidak dipatok pakai kawat berduri dan
tanda palang merah, dianggap halal dulu.
1. Ketika Patok Hanya Jadi
Dekorasi
Di beberapa desa, patok tanah itu
hanya bertahan dua musim tanam. Bukan karena rusak—tapi karena “pindah tempat
secara spiritual.” Malam-malam, patok bisa geser sendiri dua jengkal. Esok
paginya, pemilik sebelah pura-pura terkejut dan bilang, “Lho, kok jadi di situ
ya? Mungkin kena sapi.”
Padahal sapinya udah dikurbanin
tiga bulan lalu.
Maka dari itu, desa perlu
bertindak. Misalnya, dengan program "Audit Tanah dengan Rasa"—artinya,
audit, tapi jangan bikin ribut. Timnya bisa terdiri dari perangkat desa, tokoh
adat, dan satu orang yang pandai menenangkan massa, misalnya ibu-ibu PKK
spesialis mediasi antar menantu.
2. Surveyor: Profesi yang
Mampu Menyatukan dan Memisahkan
Ada juga solusi teknis: manggil
surveyor profesional. Ini pilihan untuk yang sudah capek adu mulut dengan
tetangga, dan merasa keberadaan patok berbasis firasat sudah tak memadai.
Namun, hati-hati! Jangan panggil
tukang ukur sembarangan. Pernah kejadian di kampung seberang, pemilik tanah
nyewa surveyor murah. Hasilnya? Tanahnya tiba-tiba jadi berbentuk bintang lima.
Estetik, tapi bikin bingung aparat desa dan Google Maps.
Kalau mau murah tapi meriah, bisa
ajukan lewat PTSL (Program Tanah Sama Luasnya)—eh, maksud kami, Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap. Tapi sabar ya, daftar sekarang, dapat sertifikat
nanti… kalau tak digeser lagi.
3. Musyawarah Desa: Forum
Komedi Rakyat
Kalau patok sudah dihancurkan,
pagar dilompati, dan sawah sudah jadi ‘perairan sengketa’, saatnya musyawarah
desa. Ini momen semua warga kumpul, bukan untuk arisan, tapi debat batas tanah.
Biasanya ada satu bapak-bapak
yang bawa map penuh fotokopian tanah dari tahun 1983 dan bilang, “Ini loh bukti
otentik, disaksiin Pak Lurah yang dulu.” (Pak Lurahnya sudah almarhum, tapi
tetap disebut saksi utama.)
Kadang, solusinya justru datang
dari anak SD yang nyeletuk, “Ya udah, gantian aja garapnya seminggu-seminggu.”
Semua tertawa, lalu kembali ke masalah awal: siapa duluan yang nyabut patok?
4. Tanah dan Etika Bertetangga
Yang sering dilupakan dari semua
ini adalah: tanah bisa dibagi, tapi hubungan baik susah dibeli kembali.
Makanya, selain pasang patok, penting juga pasang etiket. Kalau ngerasa
tanah kita berkurang 30 cm, jangan langsung bawa cangkul, bawa teh manis dulu.
Kalau tetap tak bisa, ya...
itulah gunanya hukum. Tapi jangan keburu ke pengadilan sebelum minta bantuan LSM
atau mantan guru ngaji—biasanya lebih manjur dan tidak bikin masuk berita.
Kesimpulan yang Tak
Terbantahkan
Tanah itu bukan cuma persoalan
hektar dan patok, tapi juga persoalan hati, niat, dan sedikit kemampuan
membaca GPS. Jadi kalau di kampung Anda ada penggeseran tanah, jangan
langsung geser ke arah pertengkaran.
Mungkin cukup geser ke arah musyawarah, kopi hangat, dan, kalau perlu, survey GPS yang tidak diukur pakai mata batin.
Kalau desa belum ada program
audit tanah, bisa usul lewat musrenbang, atau, kalau terlalu ribet,
cukup ajak tetangga ke warung kopi sambil gambar batas tanah di atas meja pakai
sendok.
Karena kadang, batas yang paling
kuat… adalah batas rasa rikuh yang dijaga bersama.
Disclaimer: Tokoh dan
kejadian dalam tulisan ini fiktif. Jika terasa nyata, mungkin karena kejadian
ini memang terjadi di hampir semua desa.
abah-arul.blogspot.com., Juli 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.