Rabu, 30 Juli 2025

"Sawahku Bukan Sawahmu: Drama Patok yang Tak Kunjung Kokoh"


Di kampung kami, tanah itu lebih dari sekadar lahan: ia adalah harga diri, sumber warisan, dan kadang bahan drama epik yang tak kalah seru dari sinetron Azab. Saking seriusnya urusan tanah, tetangga bisa tak saling sapa hanya gara-gara batas sawah yang, entah kenapa, tiap tahun makin 'bergeser'… ke arah yang satu saja: arah kita.

Fenomena ini dikenal dalam istilah canggih sebagai land encroachment, tapi kami lebih akrab menyebutnya sebagai “penggarapan dengan iman dan nekat.” Maksudnya? Garap dulu, urusan batas belakangan—asal tidak dipatok pakai kawat berduri dan tanda palang merah, dianggap halal dulu.

1. Ketika Patok Hanya Jadi Dekorasi

Di beberapa desa, patok tanah itu hanya bertahan dua musim tanam. Bukan karena rusak—tapi karena “pindah tempat secara spiritual.” Malam-malam, patok bisa geser sendiri dua jengkal. Esok paginya, pemilik sebelah pura-pura terkejut dan bilang, “Lho, kok jadi di situ ya? Mungkin kena sapi.”

Padahal sapinya udah dikurbanin tiga bulan lalu.

Maka dari itu, desa perlu bertindak. Misalnya, dengan program "Audit Tanah dengan Rasa"—artinya, audit, tapi jangan bikin ribut. Timnya bisa terdiri dari perangkat desa, tokoh adat, dan satu orang yang pandai menenangkan massa, misalnya ibu-ibu PKK spesialis mediasi antar menantu.

2. Surveyor: Profesi yang Mampu Menyatukan dan Memisahkan

Ada juga solusi teknis: manggil surveyor profesional. Ini pilihan untuk yang sudah capek adu mulut dengan tetangga, dan merasa keberadaan patok berbasis firasat sudah tak memadai.

Namun, hati-hati! Jangan panggil tukang ukur sembarangan. Pernah kejadian di kampung seberang, pemilik tanah nyewa surveyor murah. Hasilnya? Tanahnya tiba-tiba jadi berbentuk bintang lima. Estetik, tapi bikin bingung aparat desa dan Google Maps.

Kalau mau murah tapi meriah, bisa ajukan lewat PTSL (Program Tanah Sama Luasnya)—eh, maksud kami, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Tapi sabar ya, daftar sekarang, dapat sertifikat nanti… kalau tak digeser lagi.

3. Musyawarah Desa: Forum Komedi Rakyat

Kalau patok sudah dihancurkan, pagar dilompati, dan sawah sudah jadi ‘perairan sengketa’, saatnya musyawarah desa. Ini momen semua warga kumpul, bukan untuk arisan, tapi debat batas tanah.

Biasanya ada satu bapak-bapak yang bawa map penuh fotokopian tanah dari tahun 1983 dan bilang, “Ini loh bukti otentik, disaksiin Pak Lurah yang dulu.” (Pak Lurahnya sudah almarhum, tapi tetap disebut saksi utama.)

Kadang, solusinya justru datang dari anak SD yang nyeletuk, “Ya udah, gantian aja garapnya seminggu-seminggu.” Semua tertawa, lalu kembali ke masalah awal: siapa duluan yang nyabut patok?

4. Tanah dan Etika Bertetangga

Yang sering dilupakan dari semua ini adalah: tanah bisa dibagi, tapi hubungan baik susah dibeli kembali. Makanya, selain pasang patok, penting juga pasang etiket. Kalau ngerasa tanah kita berkurang 30 cm, jangan langsung bawa cangkul, bawa teh manis dulu.

Kalau tetap tak bisa, ya... itulah gunanya hukum. Tapi jangan keburu ke pengadilan sebelum minta bantuan LSM atau mantan guru ngaji—biasanya lebih manjur dan tidak bikin masuk berita.

Kesimpulan yang Tak Terbantahkan

Tanah itu bukan cuma persoalan hektar dan patok, tapi juga persoalan hati, niat, dan sedikit kemampuan membaca GPS. Jadi kalau di kampung Anda ada penggeseran tanah, jangan langsung geser ke arah pertengkaran.

Mungkin cukup geser ke arah musyawarah, kopi hangat, dan, kalau perlu, survey GPS yang tidak diukur pakai mata batin.

Kalau desa belum ada program audit tanah, bisa usul lewat musrenbang, atau, kalau terlalu ribet, cukup ajak tetangga ke warung kopi sambil gambar batas tanah di atas meja pakai sendok.

Karena kadang, batas yang paling kuat… adalah batas rasa rikuh yang dijaga bersama.

Disclaimer: Tokoh dan kejadian dalam tulisan ini fiktif. Jika terasa nyata, mungkin karena kejadian ini memang terjadi di hampir semua desa.

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.