Dulu orang tua kita bilang, “Seranjang berdua itu romantis.” Tapi sekarang, generasi milenial dan gen Z punya gaya baru: sleep divorce. Jangan panik dulu, ini bukan surat cerai yang diselipkan di bawah bantal, tapi cuma ‘pisah tidur’ dengan dalih ilmiah—demi kualitas tidur dan kesehatan mental. Katanya.
Sleep divorce, alias pisah tidur, bukan karena pertengkaran
hebat gara-gara istri kehabisan cabai rawit, atau suami lupa ulang tahun
pernikahan yang ke-7 (eh, atau ke-8 ya?). Tapi lebih karena alasan-alasan
ilmiah seperti: suami mendengkur seperti truk mogok, istri hobi scrolling
TikTok sampai subuh, atau keduanya bersaing berebut selimut dengan agresi level
ninja.
Di desa, fenomena ini biasa saja. Bapak tidur di depan TV,
ditemani suara garing acara dakwah tengah malam, dan kipas angin yang bunyinya
kayak pesawat mendarat. Ibu tidur di kamar, sambil peluk anak bungsu yang masih
suka pipis sembarangan. Semua damai sentosa.
Tapi di kota besar, begitu pasangan ketahuan tidur di kamar
terpisah, tetangga langsung heboh. Grup WhatsApp RT mendadak rame:
Padahal si Mbak Rini cuma pengen tidur tanpa terganggu suara
snoring ala heavy metal dari Pak Suami yang tidur sambil ngigau soal
harga cabe naik.
Secara fiqih? Tenang. Ulama kita juga realistis. Dalam Bahrul
Madzhab, dijelaskan suami tidak wajib menciumnya, bercengkerama, apalagi
tidur seranjang. Karena, ya... cinta itu tak bisa dipaksa. Apalagi kalau yang
dipaksa ikut tidur bareng itu ternyata sedang kegerahan, padahal AC rusak.
Meski begitu, jangan salah. Para ulama juga bilang tidur
seranjang itu afdhal. Karena ada momen pillow talk yang
penting—ngobrol santai sambil berusaha mengabaikan kenyataan bahwa salah satu
dari kalian belum gosok gigi.
Nah, beda cerita dengan fenomena pisah ranjang.
Kalau sleep divorce itu pisah tidur tapi tetap cinta, maka
pisah ranjang itu biasanya karena... cinta sudah mulai ‘masuk angin’. Ada
konflik, ada drama. Mungkin karena istri kesel suami terlalu sering main game Mobile
Legends, atau suami marah istri terlalu sering nonton drama Korea sambil
teriak, “Kenapa Mas Oppa gak kayak kamu sih?!”
Dalam Islam, pisah ranjang dikenal sebagai bagian dari
strategi ‘pendisiplinan’, yang disebut hajr—bagian dari proses
penanganan nusyuz. Tapi jangan disalahartikan sebagai ajakan buka
kontrakan sendiri-sendiri. Ini lebih ke fase: “Aku butuh ruang, sayang.”
Meski kadang ruangnya berupa rumah tetangga.
Surat An-Nisa ayat 34 sudah kasih panduan: nasihati dulu,
kalau gak mempan, pisah ranjang. Kalau masih ngeyel, baru “pukul” (tapi bukan
WWE ya—ini versi yang lembut, sekadar simbolik, bukan pakai sandal
swallow).
Jadi jelas, meski sleep divorce dan pisah ranjang sama-sama
membuat ranjang sepi, tapi motivasinya beda. Sleep divorce itu karena suami dan
istri ingin mimpi indah, sementara pisah ranjang karena mimpi buruk
sudah kejadian di dunia nyata.
Kesimpulan? Kalau suami ngorok dan istri tidurnya sambil
berdzikir keras-keras, boleh pisah kamar asal tetap cinta. Tapi kalau sudah
saling lempar bantal dan “seenaknya aja kamu!” keluar dari mulut, maka perlu
muhasabah, bukan sekadar ganti tempat tidur.
Oh ya, kalau pun pisah tempat tidur, pastikan tetap jaga
komunikasi. Setidaknya saling kirim pesan WhatsApp sebelum tidur:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.