Kamis, 24 Juli 2025

“Sleep Divorce & Pisah Ranjang: Antara Ibadah, Dengkuran, dan Drama Korea”


Dulu orang tua kita bilang, “Seranjang berdua itu romantis.” Tapi sekarang, generasi milenial dan gen Z punya gaya baru: sleep divorce. Jangan panik dulu, ini bukan surat cerai yang diselipkan di bawah bantal, tapi cuma ‘pisah tidur’ dengan dalih ilmiah—demi kualitas tidur dan kesehatan mental. Katanya.

Sleep divorce, alias pisah tidur, bukan karena pertengkaran hebat gara-gara istri kehabisan cabai rawit, atau suami lupa ulang tahun pernikahan yang ke-7 (eh, atau ke-8 ya?). Tapi lebih karena alasan-alasan ilmiah seperti: suami mendengkur seperti truk mogok, istri hobi scrolling TikTok sampai subuh, atau keduanya bersaing berebut selimut dengan agresi level ninja.

Di desa, fenomena ini biasa saja. Bapak tidur di depan TV, ditemani suara garing acara dakwah tengah malam, dan kipas angin yang bunyinya kayak pesawat mendarat. Ibu tidur di kamar, sambil peluk anak bungsu yang masih suka pipis sembarangan. Semua damai sentosa.

Tapi di kota besar, begitu pasangan ketahuan tidur di kamar terpisah, tetangga langsung heboh. Grup WhatsApp RT mendadak rame:

“Eh, si Mbak Rini tidur sendirian sekarang.”
“Wah, jangan-jangan udah pisah ranjang...”
“Fix, ini kayak sinetron jam 7 malam!”

Padahal si Mbak Rini cuma pengen tidur tanpa terganggu suara snoring ala heavy metal dari Pak Suami yang tidur sambil ngigau soal harga cabe naik.

Secara fiqih? Tenang. Ulama kita juga realistis. Dalam Bahrul Madzhab, dijelaskan suami tidak wajib menciumnya, bercengkerama, apalagi tidur seranjang. Karena, ya... cinta itu tak bisa dipaksa. Apalagi kalau yang dipaksa ikut tidur bareng itu ternyata sedang kegerahan, padahal AC rusak.

Meski begitu, jangan salah. Para ulama juga bilang tidur seranjang itu afdhal. Karena ada momen pillow talk yang penting—ngobrol santai sambil berusaha mengabaikan kenyataan bahwa salah satu dari kalian belum gosok gigi.

Nah, beda cerita dengan fenomena pisah ranjang.

Kalau sleep divorce itu pisah tidur tapi tetap cinta, maka pisah ranjang itu biasanya karena... cinta sudah mulai ‘masuk angin’. Ada konflik, ada drama. Mungkin karena istri kesel suami terlalu sering main game Mobile Legends, atau suami marah istri terlalu sering nonton drama Korea sambil teriak, “Kenapa Mas Oppa gak kayak kamu sih?!”

Dalam Islam, pisah ranjang dikenal sebagai bagian dari strategi ‘pendisiplinan’, yang disebut hajr—bagian dari proses penanganan nusyuz. Tapi jangan disalahartikan sebagai ajakan buka kontrakan sendiri-sendiri. Ini lebih ke fase: “Aku butuh ruang, sayang.” Meski kadang ruangnya berupa rumah tetangga.

Surat An-Nisa ayat 34 sudah kasih panduan: nasihati dulu, kalau gak mempan, pisah ranjang. Kalau masih ngeyel, baru “pukul” (tapi bukan WWE ya—ini versi yang lembut, sekadar simbolik, bukan pakai sandal swallow).

Jadi jelas, meski sleep divorce dan pisah ranjang sama-sama membuat ranjang sepi, tapi motivasinya beda. Sleep divorce itu karena suami dan istri ingin mimpi indah, sementara pisah ranjang karena mimpi buruk sudah kejadian di dunia nyata.

Kesimpulan? Kalau suami ngorok dan istri tidurnya sambil berdzikir keras-keras, boleh pisah kamar asal tetap cinta. Tapi kalau sudah saling lempar bantal dan “seenaknya aja kamu!” keluar dari mulut, maka perlu muhasabah, bukan sekadar ganti tempat tidur.

Oh ya, kalau pun pisah tempat tidur, pastikan tetap jaga komunikasi. Setidaknya saling kirim pesan WhatsApp sebelum tidur:

“Selamat tidur, Mas. Jangan lupa pakai selimut, dingin.”
“Iya, Dek. Selimutku di kamu, btw... bisa dikirim pakai GoSend?”

Catatan:
Bagi yang masih jomblo, tak perlu khawatir soal sleep divorce. Kalian masih bisa pisah tidur dengan... bantal guling.

Wallahu a’lam 

abah-arul.blogspot.com.,Planzan, Juli 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.