Kamis, 31 Juli 2025

“Kapur Barus & Kemenyan: Startup Aromaterapi Nenek Moyang”


Jauh sebelum kita kenal istilah startup unicorn, ternyata nenek moyang kita sudah punya bisnis internasional yang wangi: ekspor kapur barus dan kemenyan. Bayangkan, sekitar 2.500 SM—zaman ketika listrik belum ada dan sandal jepit belum ditemukan—orang-orang Barus di Sumatera Utara sudah jadi founder dagangannya sendiri. Modalnya sederhana: pohon, aroma semerbak, dan jaringan pelabuhan alami.

Barus bahkan muncul di catatan Ptolemaeus, geografer Romawi abad ke-2 M. Artinya, di zaman itu, orang Barus sudah “terkenal internasional”, sementara kita sekarang masih harus bayar iklan di media sosial biar terkenal. Kalau ada LinkedIn zaman dulu, profil penduduk Barus pasti keren:
Skill: Menjual wangi-wangian ke Arab, India, Cina, dan Eropa.
Endorsement: Firaun Mesir untuk urusan pengawetan jenazah.

Kapur barus sendiri bukan sekadar pewangi lemari kayak sekarang. Di masa lalu, dia multi-talented: bisa jadi pengawet mayat, obat-obatan, sampai essential oil premium untuk ritual keagamaan. Sementara kemenyan, selain membuat suasana sakral, mungkin juga jadi alasan banyak tamu di rumah orang Barus betah—karena wanginya bikin tenang (atau minimal bikin nyamuk minggat).

Yang menarik, perdagangan kapur barus dan kemenyan bukan cuma soal ekonomi, tapi juga networking internasional. Pedagang Arab datang sebelum Nabi Muhammad lahir, lalu pulang membawa kapur barus untuk pemandian jenazah. Pedagang Cina datang, mungkin sambil iseng mencari inspirasi nama untuk kue bakpao. Pedagang India mampir juga, entah sekalian tukar resep kari atau cuma ingin tahu kenapa aroma Barus bisa bikin damai.

Secara ekonomi, dua komoditas ini bisa dibilang “emas hijau” Nusantara. Kita dulu belum kenal tambang nikel atau batu bara, tapi sudah punya bisnis yang membuat nenek moyang kita makmur tanpa harus ikut MLM. Bahkan, efek samping perdagangan ini adalah cultural exchange. Ada istilah-istilah lokal yang terinspirasi budaya Cina dan India, bukti bahwa dulu orang Barus bukan hanya menjual wangi, tapi juga membeli ide.

Kesimpulannya, sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang kita sudah lebih global daripada kita yang sering update status “travelling ke luar negeri” padahal baru nyebrang ke Singapura. Kapur barus dan kemenyan adalah bukti bahwa dari dulu bangsa kita punya talenta di bidang perdagangan internasional—bahkan tanpa internet dan TikTok Shop.

Jadi, kalau sekarang ada yang bilang orang Indonesia baru go international karena K-Pop atau export Indomie, coba bilang:

“Bro, nenek moyang gue udah jualan kemenyan ke Firaun ribuan tahun lalu.”

abah-arul.blogspot.com., Agustus 2015

 

Rabu, 30 Juli 2025

"Sawahku Bukan Sawahmu: Drama Patok yang Tak Kunjung Kokoh"


Di kampung kami, tanah itu lebih dari sekadar lahan: ia adalah harga diri, sumber warisan, dan kadang bahan drama epik yang tak kalah seru dari sinetron Azab. Saking seriusnya urusan tanah, tetangga bisa tak saling sapa hanya gara-gara batas sawah yang, entah kenapa, tiap tahun makin 'bergeser'… ke arah yang satu saja: arah kita.

Fenomena ini dikenal dalam istilah canggih sebagai land encroachment, tapi kami lebih akrab menyebutnya sebagai “penggarapan dengan iman dan nekat.” Maksudnya? Garap dulu, urusan batas belakangan—asal tidak dipatok pakai kawat berduri dan tanda palang merah, dianggap halal dulu.

1. Ketika Patok Hanya Jadi Dekorasi

Di beberapa desa, patok tanah itu hanya bertahan dua musim tanam. Bukan karena rusak—tapi karena “pindah tempat secara spiritual.” Malam-malam, patok bisa geser sendiri dua jengkal. Esok paginya, pemilik sebelah pura-pura terkejut dan bilang, “Lho, kok jadi di situ ya? Mungkin kena sapi.”

Padahal sapinya udah dikurbanin tiga bulan lalu.

Maka dari itu, desa perlu bertindak. Misalnya, dengan program "Audit Tanah dengan Rasa"—artinya, audit, tapi jangan bikin ribut. Timnya bisa terdiri dari perangkat desa, tokoh adat, dan satu orang yang pandai menenangkan massa, misalnya ibu-ibu PKK spesialis mediasi antar menantu.

2. Surveyor: Profesi yang Mampu Menyatukan dan Memisahkan

Ada juga solusi teknis: manggil surveyor profesional. Ini pilihan untuk yang sudah capek adu mulut dengan tetangga, dan merasa keberadaan patok berbasis firasat sudah tak memadai.

Namun, hati-hati! Jangan panggil tukang ukur sembarangan. Pernah kejadian di kampung seberang, pemilik tanah nyewa surveyor murah. Hasilnya? Tanahnya tiba-tiba jadi berbentuk bintang lima. Estetik, tapi bikin bingung aparat desa dan Google Maps.

Kalau mau murah tapi meriah, bisa ajukan lewat PTSL (Program Tanah Sama Luasnya)—eh, maksud kami, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Tapi sabar ya, daftar sekarang, dapat sertifikat nanti… kalau tak digeser lagi.

3. Musyawarah Desa: Forum Komedi Rakyat

Kalau patok sudah dihancurkan, pagar dilompati, dan sawah sudah jadi ‘perairan sengketa’, saatnya musyawarah desa. Ini momen semua warga kumpul, bukan untuk arisan, tapi debat batas tanah.

Biasanya ada satu bapak-bapak yang bawa map penuh fotokopian tanah dari tahun 1983 dan bilang, “Ini loh bukti otentik, disaksiin Pak Lurah yang dulu.” (Pak Lurahnya sudah almarhum, tapi tetap disebut saksi utama.)

Kadang, solusinya justru datang dari anak SD yang nyeletuk, “Ya udah, gantian aja garapnya seminggu-seminggu.” Semua tertawa, lalu kembali ke masalah awal: siapa duluan yang nyabut patok?

4. Tanah dan Etika Bertetangga

Yang sering dilupakan dari semua ini adalah: tanah bisa dibagi, tapi hubungan baik susah dibeli kembali. Makanya, selain pasang patok, penting juga pasang etiket. Kalau ngerasa tanah kita berkurang 30 cm, jangan langsung bawa cangkul, bawa teh manis dulu.

Kalau tetap tak bisa, ya... itulah gunanya hukum. Tapi jangan keburu ke pengadilan sebelum minta bantuan LSM atau mantan guru ngaji—biasanya lebih manjur dan tidak bikin masuk berita.

Kesimpulan yang Tak Terbantahkan

Tanah itu bukan cuma persoalan hektar dan patok, tapi juga persoalan hati, niat, dan sedikit kemampuan membaca GPS. Jadi kalau di kampung Anda ada penggeseran tanah, jangan langsung geser ke arah pertengkaran.

Mungkin cukup geser ke arah musyawarah, kopi hangat, dan, kalau perlu, survey GPS yang tidak diukur pakai mata batin.

Kalau desa belum ada program audit tanah, bisa usul lewat musrenbang, atau, kalau terlalu ribet, cukup ajak tetangga ke warung kopi sambil gambar batas tanah di atas meja pakai sendok.

Karena kadang, batas yang paling kuat… adalah batas rasa rikuh yang dijaga bersama.

Disclaimer: Tokoh dan kejadian dalam tulisan ini fiktif. Jika terasa nyata, mungkin karena kejadian ini memang terjadi di hampir semua desa.

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

 

Rekening yang Tak Pernah Move On: Kisah Tragis Nan Lucu dari Dunia Dormant


Oleh: Si Pemilik Rekening yang Nyaris Dilupakan


Pernahkah Anda merasa dicuekin? Nggak diajak ngobrol, nggak dikabarin, lalu tiba-tiba diblokir begitu saja tanpa permisi? Nah, itulah yang dirasakan oleh rekening-rekening yang dormant alias tidak aktif selama enam bulan. Diam-diam, negara memperlakukan rekening seperti mantan yang susah dilupakan: disimpan, tapi dibekukan.

Tapi sabar dulu, ini bukan karena negara baper. Katanya sih, pemblokiran rekening yang tidur panjang ini bertujuan mulia: mencegah pencucian uang, pendanaan terorisme, dan aktivitas gelap lainnya. Jadi bukan karena rekening Anda terlalu introvert dan anti sosial.

Rekening yang Terlalu Santai Jadi Tersangka

Bayangkan: Anda punya rekening, isinya cuma seratus ribu, dan itu pun hasil refund tiket bioskop waktu jomblo dua tahun lalu. Lalu Anda biarkan saja—karena ya, siapa juga yang mau repot narik duit segitu? Enam bulan berlalu… bam! Rekening Anda diblokir. Dan Anda tiba-tiba dianggap berpotensi mencuci uang, padahal sabun mandi aja Anda masih ngutang di warung.

Di balik langkah tegas ini, ada lembaga sakti bernama PPATK, yang tugasnya seperti detektif keuangan: memburu rekening-rekening yang terlalu pendiam. Rupanya, di zaman sekarang, diam itu bukan lagi emas—diam itu mencurigakan!

Perbandingan Internasional: Indonesia Juara Blokir Cepat

Negara lain gimana? Oh, mereka lebih santai. Di Amerika Serikat, rekening dianggap tidak aktif setelah 3-5 tahun. Di India? Dua tahun! Di Prancis? Sepuluh tahun baru dilirik. Di Singapura? Tujuh tahun tidur, baru dipindahkan ke ‘negara’. Tapi Indonesia? Enam bulan aja udah dianggap zombie keuangan.

Ini seperti orang tua yang terlalu cepat curiga: baru enam bulan nggak bawa pacar ke rumah, langsung ditanya, “Kamu kenapa, nak? Ada yang salah dengan hidupmu?”

Rekening Tak Aktif, Nasibmu Tragis

Lucunya, pemilik rekening kadang nggak sadar kalau dia masih punya rekening. Uang THR sisa tahun lalu? Terselip di tabungan yang kini udah jadi “harta karun.” Saking lamanya nggak disentuh, rekening itu udah kayak gudang: penuh debu, penuh kenangan, dan berpotensi dibobol maling kalau nggak dikunci.

Jadi sebenarnya, pemblokiran ini bukan sepenuhnya jahat. Ini seperti memberi pengingat: “Hai, kamu masih punya rekening loh. Sayangi dia sebelum dia move on ke PPATK.”

Tips Bertahan Hidup bagi Rekening yang Suka Tidur

  1. Sesekali ditengok. Transfer seribu dua ribu juga cukup, yang penting dia tahu kamu masih peduli.
  2. Reaktivasi itu mudah, cukup bawa KTP dan wajah bersalah ke bank terdekat.
  3. Kalau nggak niat dipakai, tutup saja. Jangan PHP rekening.

Penutup: Jangan Biarkan Rekening Anda Jadi Mantan Tanpa Kepastian

Rekening itu seperti hubungan: kalau terlalu lama didiamkan, dia akan dibekukan. Bukan karena dia jahat, tapi karena negara terlalu sayang kalau kamu kecolongan. Maka, kalau masih ada cinta, transferlah walau seribu. Kalau sudah tidak ada rasa, relakanlah ia tutup buku dengan tenang.

Karena di dunia keuangan, yang tidur terlalu lama akan dibangunkan… oleh sistem!

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

 

“Yang Tidak Pakai AI, Silakan ke Sini… untuk Digeser!”


Oleh: Seorang Mantan Pekerja Manual yang Kini Jadi Mitra ChatGPT

Bayangkan suatu hari, Anda datang ke kantor dengan penuh semangat, bawa kopi panas, pakai baju batik terbaik, dan yakin hari ini akan dipromosikan. Tapi tiba-tiba, kursi Anda sudah ditempati… oleh seorang manusia setengah robot yang kerja pakai AI. Namanya Pak Gunawan, dulunya tukang ketik laporan bulanan, sekarang sudah jadi “AI-augmented Human.”
Dan Anda? Digeser pelan-pelan, tanpa kata perpisahan, hanya diantar oleh notifikasi: “Your position has been optimized.”

AI: Asisten atau Ancaman?

Kita dulu takut robot bakal menggantikan kita. Ternyata bukan robot humanoid ala Terminator yang datang. Yang datang malah Google Sheet yang bisa ngomong, Canva yang bisa mendesain sendiri, dan si ChatGPT yang suka sok akrab.

Mereka tidak minta gaji, tidak izin cuti, dan tidak pernah ngeluh sinyal lemot.
Cuma minta: "Prompt yang jelas."

Dan sekarang, dunia kerja bukan lagi antara “kerja keras” vs “kerja cerdas,”
tapi antara:
“Kerja pakai AI” vs “kerja sambil terancam PHK.”

Bukan Diganti, Tapi Di-Upgrade

Kutipannya jelas:

“It’s not about AI replacing humans. It’s about AI-augmented humans replacing those who refuse to adapt.”

Artinya, bukan kita yang digantikan... tapi versi kita yang masih manual itu yang di-depak.
Kalau Anda masih nulis laporan pakai Word, sementara rekan sebelah sudah pakai ChatGPT buat bikin draft lengkap plus jokes bonus, ya… siapa yang bakal dikasih bonus akhir tahun?

Window of Opportunity: Jendela Itu Mulai Ditutup

Ingat kalimat ini?

“The window to position yourself is closing fast.”

Itu bukan iklan promo Flash Sale. Itu realita.
Kalau dulu belajar Microsoft Excel dianggap cukup, sekarang Anda harus tahu cara membuat prompt AI yang tidak bikin si AI minta klarifikasi lima kali.

Cepat atau lambat, orang yang tidak mau belajar AI, akan belajar sesuatu yang lain:
"Cara membuat surat pengunduran diri."

Tips Bertahan di Era AI:

  1. Jangan gengsi tanya ke AI – Toh, AI tidak bakal menertawakan Anda (walau kadang jawabannya menyesatkan dengan penuh percaya diri).
  2. Belajar prompt engineering – Ini bukan sulap. Ini jurus ninja zaman digital.
  3. Berhenti berdoa minta promosi tanpa belajar teknologi baru – Tuhan pun sudah kasih tanda lewat algoritma.

Penutup: Bangkitlah, Hai Makhluk Analog!

AI itu bukan musuh. Dia hanya... terlalu rajin dan tidak butuh tidur.
Daripada iri, mending dijadikan tim kerja.
Karena kalau tidak?
Si AI akan tetap kerja…
…dan Anda akan tetap di grup alumni, nanya lowongan baru.

“Bukan AI yang akan mencuri pekerjaanmu.
Tapi orang yang pakai AI — sambil ngopi santai — itulah yang akan menggantikanmu.”

Selamat beradaptasi. Atau minimal, siapkan template lamaran kerja baru.

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025


Selasa, 29 Juli 2025

Pesantren NU: Pendidikan Kelas Dunia yang Kerap Diremehkan


Pendidikan berbasis pesantren, khususnya yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU), sering dipandang sebelah mata. Dianggap hanya mengajarkan kitab kuning dan kehidupan sederhana, tak sedikit masyarakat yang mengira bahwa pesantren adalah tempat "pelarian" terakhir bagi anak-anak yang tidak cocok dengan sekolah formal. Padahal, anggapan ini keliru besar.

Hari ini, banyak pesantren NU bukan hanya setara dengan sekolah formal di Indonesia, tetapi bahkan menjadi rujukan pendidikan nasional dan internasional. Dengan kurikulum yang integratif dan legalitas yang diakui negara, pesantren NU menjelma menjadi pusat pendidikan holistik: mencetak santri yang cerdas secara spiritual, kuat dalam logika, dan tangguh dalam kehidupan nyata.

Legalitas dan Penyetaraan yang Resmi Diakui Negara

Kesetaraan pendidikan pesantren dengan sekolah formal bukan isapan jempol. Pemerintah telah mengakui pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional melalui PP No. 55 Tahun 2007 dan Permenag No. 31 Tahun 2020. Bahkan, melalui program Muadalah, ijazah yang dikeluarkan oleh pesantren terakreditasi dapat disetarakan dengan ijazah SMA.

Untuk pesantren yang belum memiliki jalur formal, tersedia jalur ujian kesetaraan (Paket C), sehingga santri tetap bisa mengakses pendidikan tinggi. Singkatnya, santri bukan lagi warga kelas dua dalam dunia pendidikan.

Bukti di Lapangan: Pesantren NU yang Mendunia

Mari kita tengok contoh-contohnya.

  • Lirboyo (Kediri): Pesantren legendaris ini memiliki MA dan MTs berakreditasi A, lulusannya banyak diterima di UIN dan perguruan tinggi negeri. Yang unik, santri di sini mahir dalam debat bahasa Arab yang melatih logika tingkat tinggi.
  • Tebuireng (Jombang): Tak hanya kuat di fiqh, pesantren ini memiliki SMA, SMK, dan bahkan universitas (Unhasy). Gus Dur pun lahir dari sini. Kurikulumnya mengintegrasikan keislaman dan sains modern.
  • Al-Munawwir (Krapyak, Yogyakarta): Dikenal sebagai pusat tahfizh Al-Qur'an dengan sanad bersambung. MA Muadalah-nya diakui BAN-S/M, dan kualitas alumninya menjulang di level nasional.

Bahkan pesantren salaf seperti Darul Ulum (Jombang) dan Sidogiri (Pasuruan) kini menjalin kerja sama internasional dengan kampus-kampus Timur Tengah. Lulusan mereka bisa langsung diterima kuliah di Mesir atau Arab Saudi tanpa tes masuk.

Lebih dari Sekadar Akademik

Jika dibandingkan dengan sekolah formal, pesantren NU memiliki keunggulan khas:

Aspek

Pesantren NU

Sekolah Formal

Kurikulum

Agama, sains, dan keterampilan hidup

Fokus akademik

Bahasa

Arab & Inggris aktif

Bahasa asing terbatas

Pembentukan karakter

Disiplin, tangguh, berjiwa pemimpin

Tergantung program sekolah

Jaringan alumni

Kuat di NU, politik, dan bisnis

Tergantung universitas

Jangan heran jika banyak alumni pesantren NU kini berada di jajaran diplomatik, parlemen, LSM internasional, hingga CEO perusahaan berbasis syariah.

Tantangan dan Solusi NU

Tentu saja, tidak semua pesantren berjalan mulus. Pesantren salaf murni yang belum punya lembaga formal sering kali masih menghadapi tantangan pengakuan negara. Ditambah lagi, masih ada stigma bahwa lulusan pesantren "hanya cocok jadi ustaz."

Namun NU tidak tinggal diam. Banyak pesantren kini menyelenggarakan pelatihan keterampilan seperti IT, agroindustri, dan manajemen bisnis. Program beasiswa LPDP khusus santri juga mulai menjembatani santri ke pendidikan tinggi nasional dan global.

Arah Masa Depan: Jangan Remehkan Santri!

Jika Anda atau anak Anda bercita-cita menjadi ahli agama, pengacara syariah, pendakwah internasional, atau pebisnis dengan fondasi spiritual yang kuat, maka pesantren NU adalah pilihan primer. Bahkan untuk karir di bidang teknik atau kedokteran, Anda tetap bisa mengombinasikan pendidikan pesantren dengan sekolah formal atau kampus umum.

Penutup: Dunia-Akhirat Bisa Seimbang

Di tengah dunia yang kian kompetitif dan materialistik, pesantren NU hadir bukan sekadar mencetak penghafal kitab, tapi juga agen perubahan sosial yang berakhlak dan berkualitas global.

Jadi, jika Anda ingin pendidikan yang bukan hanya membuat anak Anda pintar, tapi juga bijak dan bermanfaat — mengapa tidak pesantren NU?

Jika Anda ingin rekomendasi pesantren NU terbaik sesuai minat anak Anda — apakah tahfizh, sains, pertanian, atau entrepreneur — jangan ragu bertanya. Pendidikan terbaik tak selalu harus berbentuk seragam putih abu-abu.

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

"Semua Orang Jadi Programmer: Dunia Tanpa 'Bro, Bisa Tolong Codingin Gak?"

 

Bayangkan sebuah dunia di mana ide brilian seperti “bikin aplikasi buat deteksi mood kucing dari raut mukanya” tidak lagi berakhir di tong sampah karena pembuat idenya cuma bisa PowerPoint. Selamat datang di era The Great Leveling Effect, tempat di mana semua orang, termasuk paman Anda yang biasanya cuma pakai WhatsApp untuk kirim stiker motivasi, bisa jadi developer.

Dulu, kalau seseorang punya ide aplikasi, dialognya kira-kira begini:

Orang kreatif: “Gue ada ide nih, aplikasi buat bantu orang insomnia.”
Programmer: “Menarik. Udah bikin mockup?”
Orang kreatif: “Mockup apaan?”
Programmer: left the chat

Sekarang? Cukup bilang ke AI, “Buatkan saya aplikasi yang ngingetin orang buat minum air tiap dua jam, tapi dengan suara penyemangat ala Mario Bros.” Dan boom—jadilah aplikasi Ngompolin versi beta.

Ketika Desainer Jadi Teknisi, dan Teknisi Mulai Berpantun

Perubahan ini seperti menonton acara sulap: tiba-tiba, desainer grafis bisa bikin program, dan programmer malah buka akun puisi di Instagram. Dunia terbalik? Tidak. Dunia merdeka!

AI menghapus batas antara “yang bisa ide” dan “yang bisa coding.” Sekarang, dua-duanya bisa kerja bareng... bahkan dalam satu kepala. Anda bisa jadi desainer, penulis, teknisi, dan penjual bakso—asal pakai AI.

Dan programmer, yang dulu kerjaannya ngetik ribuan baris kode sambil nahan migrain, sekarang bisa bilang,

“ChatGPT, tolong refactor kode ini sambil bikinin saya puisi haiku tentang bug semalam.”

Inklusif Sekali, Sampai Mbah RT Juga Bisa Bikin Aplikasi

Batas teknis sudah hilang. Ibu-ibu arisan sekarang bisa bikin sistem voting digital buat milih siapa yang masak minggu depan. Bahkan anak-anak SD bisa bikin game edukasi bertema “Cacing Belajar Menari.”

Namun, di balik tawa, ada tragedi sunyi: para developer senior mulai kehilangan satu kalimat sakral yang biasa jadi bahan ancaman:

“Kalau gampang, coba kamu coding sendiri!”

Sekarang, semua orang bisa coding sendiri. Bahkan kucing pun, kalau diajak bicara via AI, bisa bikin skrip otomatisasi jadwal ngemil.

Kesimpulan: Hati-hati, Dunia Sudah Tanpa Pintu Masuk

Dunia ini dulu seperti rumah elite berpagar tinggi: hanya orang-orang teknis yang punya kunci. Tapi sekarang, semua dinding roboh seperti Jenga dimainkan bayi. Semua masuk, semua bisa bangun istana... atau jebakan Batman.

Apakah ini baik? Tentu. Tapi dengan kekuatan besar datang pula tanggung jawab besar—terutama tanggung jawab untuk tidak membuat aplikasi yang gunanya cuma manggil suara kentut tiap ditekan.

Jadi, selamat datang di zaman di mana semua orang jadi programmer. Tak ada lagi alasan malas. Tak ada lagi kalimat “aku cuma ide doang.” Kini, semua ide bisa diwujudkan... termasuk ide-ide konyol. Maka gunakanlah AI Anda dengan bijak. Dan jangan lupa: save project-nya, jangan cuma bilang ‘nanti gue backup kok’.

abah-arul.blogspot.com, Juli 2025

Senin, 28 Juli 2025

"Mencari Diponegoro di Dompet, Tapi yang Ada Cuma Struk Indomaret"

Tahukah Anda siapa Diponegoro? Kalau jawabannya “Itu yang mukanya nongol di uang kertas Rp5.000,” maka selamat—Anda adalah korban dari sistem pendidikan nasional yang lebih sibuk menghafal letak benua Australia daripada memahami siapa pahlawan nasional yang diasingkan karena terlalu spiritual buat penjajah.

Peter Carey, orang bule yang lebih tahu sejarah Diponegoro daripada kita yang lahir di Jawa, pernah bilang: “Kalau kamu lupa sejarahmu, kamu akan dijajah lagi—atau minimal jadi konten clickbait di TikTok.”

Kolonialisme: Sudah Pergi, Tapi Meninggalkan Oleh-oleh

Belanda sudah angkat kaki sejak 1945 (walau sempat drama balik lagi kayak mantan di 1947), tapi warisannya abadi: mulai dari arsitektur lawas sampai sistem birokrasi yang ruwet dan budaya korup yang lebih lengket dari lem Korea. Kita bilang kita merdeka, tapi kenapa pas ngurus KTP masih rasanya kayak ujian nasional?

Padahal Diponegoro dulu gak main-main. Beliau itu spiritual warrior: rajin ngaji, jago strategi, dan tidak pernah tergoda amplop. Coba bandingkan dengan elite masa kini yang kadang lebih sibuk selfie di forum internasional daripada nyambungin pipa air di desa.

Sejarah Itu Kaya Vitamin

Tahukah kamu vitamin B1 ditemukan di Batavia (sekarang Jakarta)? Tapi masyarakat kita lebih akrab dengan “B1” sebagai kode daging aneh di warung pinggir jalan. Ironisnya, meskipun Nobel pernah mampir lewat nama Eijkman, kita malah bangga dapat subscriber YouTube 1 juta.

Lalu, mengapa kita lebih tahu siapa pacar terbaru selebgram daripada kisah Diponegoro yang ditulis dengan air mata (dan tinta) di pengasingan? Jawabannya ada di kurikulum, bos. Sejarah kita disajikan kayak rendang instan: cuma permukaannya, padahal bumbu aslinya ada di balik narasi buatan kolonial.

Mimpi Pahlawan, Kenyataan TikTokers

Kita butuh pemimpin spiritual, katanya. Tapi apa yang kita punya? Pemimpin yang spiritual sekali—dalam artian, suka menghilang seperti arwah saat rakyat butuh kejelasan. Diponegoro bertapa di goa demi revolusi, sementara kita bertapa di kamar karena kejebak PPKM.

Kalau Diponegoro hidup hari ini, mungkin dia akan bikin podcast: “Ngaji Politik Bareng Pangeran”, dengan tagline: "Dari Goa ke Gedung DPR, Perjalanan Spiritual Tanpa Sponsor."

Tips Melawan Amnesia Sejarah

  1. Jangan cuma baca sejarah dari buku paket.
  2. Jangan percaya film sejarah yang lebih banyak efek slow motion daripada akurasi fakta.
  3. Googling "Babad Diponegoro" di sela-sela scroll Reels.

Karena apa gunanya hafal chord gitar Dewa 19 kalau tidak tahu apa yang Diponegoro perjuangkan? Apa gunanya tahu sejarah BTS kalau nggak tahu siapa yang ngusir VOC dari tanah Jawa?

Penutup:

Kita ini bangsa besar yang pernah punya spiritual warrior. Tapi hari ini, kita lebih bangga jadi digital warrior—asal trending, asal viral. Padahal, viralitas tak bisa menggantikan jati diri.

Jadi, mari cari Diponegoro—bukan di dompet, tapi di hati. Kalau masih belum ketemu, coba cek lemari buku… atau tanya Peter Carey.

abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

 

  

Minggu, 27 Juli 2025

“Menyusutkan Keinginan: Cara Hemat Menuju Surga Dunia”


Mari kita akui dulu satu hal: manusia adalah makhluk rakus. Kita bukan hanya ingin makan, kita ingin makan yang enak, estetik, bisa di-upload ke Instagram, dan — kalau bisa — dibayar untuk makan itu. Maka ketika KH Zakky Mubarak, Mustasyar PBNU, berkata bahwa terlalu banyak keinginan adalah sumber penderitaan, saya langsung merasa tertampar. Bukan oleh dalil, tapi oleh tumpukan wishlist e-commerce saya yang sudah mencapai panjang kitab Ihya’.

Kiai Zakky menyarankan hidup bahagia itu caranya sederhana: batasi keinginan. Katanya, sukses itu bukan dari jumlah mimpi, tapi dari banyaknya mimpi yang bisa diselesaikan. Jadi kalau Anda punya 20 rencana dan cuma jadi 4, itu bukan sukses, itu spreadsheet gagal.

Coba bayangkan:

  • Keinginan: Punya rumah, mobil, apartemen, istri 4, bisnis 5, traveling ke Swiss, feed IG estetik, dan anak hafidz semua.
  • Realita: KTP masih ngontrak, motor dicicil, anak hafal opening Naruto, dan bisnis hanya berupa ide yang tertulis di belakang struk Indomaret.

Sakit? Jelas.
Tapi, kata Kiai Zakky, itu karena kita punya harapan seluas galaksi tapi tenaga cuma cukup buat nyapu halaman.

Kiai kita ini sebenarnya sedang memperkenalkan satu ilmu hidup penting: Minimalisme Nahdliyin. Gaya hidup ini bukan sekadar menolak kapitalisme, tapi menolak keinginan itu sendiri. Jadi bukan "beli baju baru agar tampil keren", tapi "pakai sarung yang sama biar tidak bingung mix and match". Anti-bling, pro-sarung bolong.

Maka dari itu, saya putuskan untuk mencoba hidup sesuai anjuran beliau:

  • Wishlist Shopee saya pangkas dari 178 jadi 3 item: sabun, sajadah, dan... satu lagi entah kenapa masih ada tanaman hias glowing.
  • Target hidup dari “menjadi CEO Unicorn” saya sederhanakan menjadi “tidak tidur habis subuh”.
  • Dan kalau bisa, keinginan tahun ini cukup satu: tidak menambah keinginan.

Sungguh, hidup terasa lebih ringan sejak saya berhenti membandingkan diri dengan orang yang liburannya di Bali padahal saya baru liburan ke warung seberang.

Karena itu, mari kita wariskan pada generasi selanjutnya semboyan baru:

“Bermimpilah setinggi langit, tapi mimpinya cukup satu. Biar gampang dicapai.”

Dan jika masih belum bisa bahagia juga, mungkin Anda bukan kurang keinginan, tapi kurang tidur. Atau, bisa juga terlalu banyak ikut webinar "Menjadi Kaya Dalam 10 Hari".

Akhir kata:

Jangan takut gagal, takutlah kalau wishlist-mu bikin kamu stres dan bikin utang bertambah hanya demi barang yang nanti dipakai 3 hari, lalu dilupakan.

Semoga kita bisa bahagia bukan karena memiliki semuanya, tapi karena tidak menginginkan semuanya.

 abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

NU, Humanitarian Islam, dan Peradaban Kopi Jumat Pagi


Pada suatu pagi yang cerah di Gedung PBNU, saat aroma kopi robusta membaur dengan bau pendingin ruangan yang sudah berumur, berkumpullah para tokoh dan cendekiawan dalam Forum Diskusi Kramat. Tema hari itu bukan tentang siapa yang ngutang di kantin atau siapa yang nyolong sandal saat shalat Jumat, melainkan: “Diplomasi Global NU di Tengah Ketidakpastian Dunia.”

Ketua pengurus PBNU, Kiai Ahmad Suaedy, dengan wajah tenang tapi isi kepala sepadat soto Madura, menyampaikan hal serius: dunia sedang mengalami disrupsi teknologi, dehumanisasi, dan kemajuan yang bikin manusia makin tidak manusiawi. Singkatnya, dunia makin canggih, tapi banyak orang makin cengeng dan bengis. Kecuali yang ngaji manaqiban, itu tetap sabar—walau kadang juga ngeluh sinyal lemot.

Kiai Suaedy menjelaskan, NU punya peradaban sendiri: Aswaja. Sebuah peradaban yang tidak ikut-ikutan tren, tapi juga tidak memusuhi tren. NU itu seperti pecel lele tenda biru: dia tidak mewah, tidak kekinian, tapi tetap dicari orang bahkan di zaman GoFood dan AI yang bisa bikin puisi patah hati.

Nah, di tengah dunia yang makin ribet ini, NU datang dengan tawaran serius dan sangat filosofis: Humanitarian Islam. Atau dalam bahasa anak warung kopi: Islam yang nggak lupa jadi manusia.

Humanitarian Islam adalah semacam startup spiritual, gabungan antara nilai kemanusiaan, agama, dan kearifan lokal. Sebuah bentuk post-humanism versi sarungan, yang tidak hanya ngomongin robot dan chip, tapi juga akhlak dan empati. Bukan cuma pakai AI, tapi juga pakai KH, alias Kiai Hati.

Sebab menurut Kiai Suaedy, demokrasi hari ini sedang digerogoti dari dalam—bukan oleh tikus, tapi oleh para pemilik perusahaan teknologi. Demokrasi yang dulu katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sekarang malah dari Google, oleh algoritma, dan untuk saham.

“Demokrasi sekarang lebih patuh pada pemilik perusahaan teknologi ketimbang rakyat kecil,” tegas beliau. Padahal rakyat kecil itu penting, terutama tukang tambal ban. Tanpa mereka, demokrasi bisa bocor.

Untuk menjawab semua ini, NU sudah tidak main-main. Mereka sudah mengadakan forum-forum penting seperti R20 (Bali, tahun 2022), R20 ISORA (Jakarta, 2023), dan International Conference of Humanitarian Islam (2024), dan Konferensi Internasional Humanitarian Islam.

Semua ini dilakukan demi menyeimbangkan dunia yang sudah miring, dan agar manusia tidak kalah oleh ciptaannya sendiri. Sebab jangan sampai AI jadi pintar, tapi manusia malah minta tolong ke AI untuk bikin doa buka puasa.

Sementara itu, Pak Khoerul Umam dari Universitas Paramadina menambahkan bahwa hubungan internasional itu tidak pernah benar-benar sekuler. Katanya, “Hubungan Internasional itu lahir dari debat soal agama.” Artinya, sejak zaman dulu, manusia sudah ribut, tapi tetap pakai kitab suci buat debat. Entah pakai ayat, tafsir, atau status WhatsApp.

Ia menekankan bahwa Humanitarian Islam akan terasa biasa-biasa saja saat dunia tenang, tapi jadi sangat penting saat dunia panik. Ini mirip seperti genset: tidak ada yang peduli selama listrik nyala, tapi jadi rebutan saat PLN mulai PHP.

Maka jelaslah, NU bukan hanya sibuk urus kuburan dan peringatan haul, tapi juga urus masa depan dunia. Di tengah gemuruh teknologi dan dunia yang makin absurd, NU muncul membawa sehelai sarung dan secangkir kopi, berkata:

“Tenang, kita punya Humanitarian Islam.”

Dan semoga di tengah dunia yang makin tidak pasti ini, kita tetap punya dua hal pasti: kasih sayang dan pengurus NU yang bisa bicara humanisme sambil tetap pakai sarung dan sendal jepit.

abah-arul.blogspot.com., Planzan 2025

 

Sabtu, 26 Juli 2025

"Serakahnomics": Istilah Baru Prabowo dan Tafsir Linguistik atas Ekonomi yang Timpang


Jakarta — Dalam momentum Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan sesuatu yang tak hanya politis tetapi juga linguistik: sebuah istilah baru, "serakahnomics".

Dari Pangan ke Bahasa: Latar Lahirnya Istilah

Dalam pidatonya yang disampaikan Rabu, 23 Juli 2025, Prabowo mengkritik sistem pengelolaan pangan nasional—mulai dari beras, jagung, hingga minyak goreng—yang menurutnya telah terlalu tunduk pada mekanisme pasar. Ia menilai, pasar yang tak terkendali kerap membuka ruang bagi keserakahan oknum tertentu yang memonopoli atau mempermainkan harga.

Saya menyebutnya serakahnomics,” ujar Presiden dengan tegas, seperti dikutip dari situs resmi presidenri.go.id. Istilah ini muncul sebagai bentuk kritik terhadap praktik ekonomi yang ditunggangi keserakahan, di mana keuntungan segelintir orang mengorbankan kepentingan banyak pihak.

Kacamata Linguistik: Neologisme Sarat Kritik

Istilah "serakahnomics" bukan sekadar permainan kata. Fariz Alnizar, pakar linguistik dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), menjelaskan bahwa istilah ini merupakan bentuk neologisme, yakni pembentukan kata baru sebagai respons terhadap kebutuhan ekspresif dalam menggambarkan fenomena tertentu.

"Dalam kasus ini, ‘serakahnomics’ menggabungkan kata serakah (yang bermakna tamak atau rakus) dan economics (ilmu ekonomi),” jelas Fariz kepada NU Online, Sabtu (26/7/2025). “Kombinasi itu menyuguhkan kritik secara eksplisit terhadap praktik ekonomi yang tidak beretika.”

Antara Retorika, Framing, dan Disfemisme

Fariz menambahkan, dalam konteks komunikasi politik, istilah seperti “serakahnomics” memiliki kekuatan retoris yang besar. Ia bertindak sebagai alat framing, yang mengarahkan cara masyarakat melihat dan menilai realitas ekonomi melalui sudut pandang moral.

Bukan hanya itu, istilah ini juga bersifat disfemistik, yakni penggunaan kata yang dengan sengaja membawa konotasi negatif kuat. Berbeda dengan eufemisme yang melunakkan makna, disfemisme seperti "serakahnomics" malah mengeraskan makna demi memperkuat sikap kritis.

“Istilah ini bukan sekadar label, tetapi senjata wacana. Ia membingkai persoalan ekonomi sebagai sesuatu yang tidak hanya keliru secara sistemik, tapi juga tidak bermoral,” jelas Fariz, yang juga penulis buku Kekerasan Linguistik.

Dampak Sosial dan Kemungkinan Perkembangan

Menurut Fariz, efek dari istilah ini bersifat ganda. Pertama, ia membangun kewaspadaan publik terhadap praktik-praktik ekonomi yang eksploitatif. Kedua, istilah ini memperkuat daya tarik komunikasi politik, karena mudah diingat, emosional, dan langsung menyentuh keresahan masyarakat.

“Kalau istilah ini terus digunakan, bukan tidak mungkin ia akan menjadi kosakata baru dalam kamus politik-ekonomi Indonesia," ujar Fariz.

Penutup: Ketika Bahasa Menjadi Alat Perlawanan

Istilah “serakahnomics” menandai satu hal penting dalam lanskap politik-ekonomi kita: bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga alat perlawanan terhadap ketimpangan. Dalam satu kata, tersembunyi gugatan terhadap monopoli, ketidakadilan, dan kerakusan yang menggerogoti sektor pangan kita.

Presiden Prabowo dengan sengaja—dan mungkin juga cerdik—menggunakan daya sihir bahasa untuk menyampaikan pesan politiknya. Tinggal sekarang, apakah istilah ini akan berakhir sebagai jargon sesaat atau justru menjadi bahan bakar bagi gerakan moral-ekonomi yang lebih luas?

abah-arul.blogspot.com., Planzan 2025

"Great Sale, Great Gaul: Ketika Diskon Jadi Aglomerasi"

Suasana di Soloraya belakangan ini bukan cuma ramai karena jalanan macet atau tukang cilok yang makin agresif. Tidak. Ini lebih besar dari sekadar rebutan cilok dua ribu isi lima. Ini soal diskon, diskon, dan diskon—atau kalau kata panitia: Soloraya Great Sale. Tapi jangan salah, ini bukan sekadar acara buang-buang stok gudang, ini adalah embrio aglomerasi! Kedengarannya seperti makhluk mitologi ekonomi, tapi tenang… kita kupas pelan-pelan dengan gaya warung kopi.

Dari data panitia, SGS sukses besar. Nilai transaksi sudah tembus Rp10,1 triliun. Itu setara dengan jumlah hati yang patah tiap malam minggu di wilayah aglomerasi. Ini bahkan melebihi target! Rupanya, diskon memang satu-satunya hal yang bisa membuat masyarakat Indonesia bergerak cepat dan tepat. Tanpa perlu subsidi, tanpa demo, cukup tempel stiker “SALE 90%”, maka rakyat akan antre. 

Kategori transaksinya macam-macam, dari UMKM, mall, properti, sampai jasa keuangan. Bahkan jasa keuangan pun ikut diskon, mungkin cicilan utang juga diberi cashback, siapa tahu?

Aglomerasi: Dari Diskon Menuju Destinasi

Nah, kata Pak Sekda, SGS ini bukan cuma bazar, ini "embrio aglomerasi". Coba bayangkan, dari cuci gudang jadi cuci geopolitik ekonomi. Luar biasa. Saya curiga sebentar lagi diskon kaus oblong bisa dijadikan strategi nasional.

Aglomerasi ini katanya bisa mengendalikan inflasi. Jadi kalau harga cabai naik, tinggal gelar Great Sale di Banyumas Raya. Atau kalau harga beras melambung, buat saja Pati Raya Crazy Deal Festival. Sepertinya Indonesia tidak perlu lagi Bank Indonesia, cukup "Komando Diskon Nasional".

Masa Depan yang Cerah (dan Murah)

Menurut Pak Ferry dari Kadin, Soloraya ini akan jadi benchmark aglomerasi. Artinya, kalau sukses, kota-kota lain bisa meniru. Mungkin nanti ada “Semarang Super Sale Sampai Subuh”, atau “Purwokerto Promo Penuh Berkah”. Tentu saja kita akan mendukung, apalagi kalau ada diskon sepatu dan parkir gratis.

Namun demikian, kita tetap harus hati-hati. Jangan sampai aglomerasi ini berubah jadi “aglomigrasi”, di mana warga satu kota pindah ke kota sebelah karena promo kafe lebih murah. Atau lebih parah, suami bilang ke istri mau ke Solo cari batik, padahal nongkrong di kafe aglomerasi sambil diskon perasaan.


Penutup: Dari Diskon ke Destinasi

SGS sudah membuktikan bahwa kekuatan rakyat tidak hanya bisa digerakkan oleh isu politik, tapi juga oleh dua kata sakral: “potongan harga”. Maka marilah kita sambut aglomerasi dengan semangat: belanja lokal, diskon nasional, dan gosip regional.

Dan ingat, jika suatu hari harga cabe kembali naik, kita tak perlu panik. Cukup gelar saja Cabe Crazy Sale. Dijamin, inflasi akan minggat, dompet tetap hangat, dan ekonomi merakyat.


abah-arul.blogspot.com., Juli 2025

Kamis, 24 Juli 2025

“Sleep Divorce & Pisah Ranjang: Antara Ibadah, Dengkuran, dan Drama Korea”


Dulu orang tua kita bilang, “Seranjang berdua itu romantis.” Tapi sekarang, generasi milenial dan gen Z punya gaya baru: sleep divorce. Jangan panik dulu, ini bukan surat cerai yang diselipkan di bawah bantal, tapi cuma ‘pisah tidur’ dengan dalih ilmiah—demi kualitas tidur dan kesehatan mental. Katanya.

Sleep divorce, alias pisah tidur, bukan karena pertengkaran hebat gara-gara istri kehabisan cabai rawit, atau suami lupa ulang tahun pernikahan yang ke-7 (eh, atau ke-8 ya?). Tapi lebih karena alasan-alasan ilmiah seperti: suami mendengkur seperti truk mogok, istri hobi scrolling TikTok sampai subuh, atau keduanya bersaing berebut selimut dengan agresi level ninja.

Di desa, fenomena ini biasa saja. Bapak tidur di depan TV, ditemani suara garing acara dakwah tengah malam, dan kipas angin yang bunyinya kayak pesawat mendarat. Ibu tidur di kamar, sambil peluk anak bungsu yang masih suka pipis sembarangan. Semua damai sentosa.

Tapi di kota besar, begitu pasangan ketahuan tidur di kamar terpisah, tetangga langsung heboh. Grup WhatsApp RT mendadak rame:

“Eh, si Mbak Rini tidur sendirian sekarang.”
“Wah, jangan-jangan udah pisah ranjang...”
“Fix, ini kayak sinetron jam 7 malam!”

Padahal si Mbak Rini cuma pengen tidur tanpa terganggu suara snoring ala heavy metal dari Pak Suami yang tidur sambil ngigau soal harga cabe naik.

Secara fiqih? Tenang. Ulama kita juga realistis. Dalam Bahrul Madzhab, dijelaskan suami tidak wajib menciumnya, bercengkerama, apalagi tidur seranjang. Karena, ya... cinta itu tak bisa dipaksa. Apalagi kalau yang dipaksa ikut tidur bareng itu ternyata sedang kegerahan, padahal AC rusak.

Meski begitu, jangan salah. Para ulama juga bilang tidur seranjang itu afdhal. Karena ada momen pillow talk yang penting—ngobrol santai sambil berusaha mengabaikan kenyataan bahwa salah satu dari kalian belum gosok gigi.

Nah, beda cerita dengan fenomena pisah ranjang.

Kalau sleep divorce itu pisah tidur tapi tetap cinta, maka pisah ranjang itu biasanya karena... cinta sudah mulai ‘masuk angin’. Ada konflik, ada drama. Mungkin karena istri kesel suami terlalu sering main game Mobile Legends, atau suami marah istri terlalu sering nonton drama Korea sambil teriak, “Kenapa Mas Oppa gak kayak kamu sih?!”

Dalam Islam, pisah ranjang dikenal sebagai bagian dari strategi ‘pendisiplinan’, yang disebut hajr—bagian dari proses penanganan nusyuz. Tapi jangan disalahartikan sebagai ajakan buka kontrakan sendiri-sendiri. Ini lebih ke fase: “Aku butuh ruang, sayang.” Meski kadang ruangnya berupa rumah tetangga.

Surat An-Nisa ayat 34 sudah kasih panduan: nasihati dulu, kalau gak mempan, pisah ranjang. Kalau masih ngeyel, baru “pukul” (tapi bukan WWE ya—ini versi yang lembut, sekadar simbolik, bukan pakai sandal swallow).

Jadi jelas, meski sleep divorce dan pisah ranjang sama-sama membuat ranjang sepi, tapi motivasinya beda. Sleep divorce itu karena suami dan istri ingin mimpi indah, sementara pisah ranjang karena mimpi buruk sudah kejadian di dunia nyata.

Kesimpulan? Kalau suami ngorok dan istri tidurnya sambil berdzikir keras-keras, boleh pisah kamar asal tetap cinta. Tapi kalau sudah saling lempar bantal dan “seenaknya aja kamu!” keluar dari mulut, maka perlu muhasabah, bukan sekadar ganti tempat tidur.

Oh ya, kalau pun pisah tempat tidur, pastikan tetap jaga komunikasi. Setidaknya saling kirim pesan WhatsApp sebelum tidur:

“Selamat tidur, Mas. Jangan lupa pakai selimut, dingin.”
“Iya, Dek. Selimutku di kamu, btw... bisa dikirim pakai GoSend?”

Catatan:
Bagi yang masih jomblo, tak perlu khawatir soal sleep divorce. Kalian masih bisa pisah tidur dengan... bantal guling.

Wallahu a’lam 

abah-arul.blogspot.com.,Planzan, Juli 2025

“Investasi Bersama Robot: Antara Kaya Raya dan Dikuasai Mesin Kopi”


Zaman sekarang, investasi nggak perlu lagi ngupil sambil mikir grafik candlestick. Kenapa? Karena ada Intellectia — platform AI yang katanya bisa gantiin tim trading manusia. Jadi, kalau dulu kamu harus punya analis fundamental, teknikal, dan satu orang khusus buat ngambil kopi, sekarang cukup satu: robot yang bisa ngopi sendiri.

Intellectia dipromosikan sebagai “masa depan investasi” — alias kamu bisa duduk santai, sambil makan kerupuk, dan robotmu yang sibuk ngecek indeks Nikkei, dolar AS, dan isi dompetmu.

Katanya sih AI ini:

  • Cepat: kayak mantan yang ninggalin pas kamu lagi sayang-sayangnya.
  • Akurat: kayak ibu-ibu kalau nebak kamu belum makan dari nada napasmu.
  • Bebas emosi: ya iyalah, robot kan nggak punya mantan!

Tapi... tunggu dulu, Sobat Cuan. Di balik janji manis ini, ternyata si AI juga bisa:

  • Overfitting: kayak teman yang ngotot pakai filter sampai mukanya kayak panci teflon.
  • Black box: alias kamu nggak tahu dia ngapain, tapi tiba-tiba duitmu tinggal kenangan.
  • Rugi: yup, kalau salah setel, AI-nya bisa nyangka kamu mau beli saham gorengan literal — terus beliin tahu isi 2 ton.

Promosi ini ngajak kita buat nyoba Intellectia lewat link Try.intellectia.ai — gratis katanya. Tapi inget, “gratis” dalam dunia investasi itu kayak mantan yang bilang “nggak apa-apa kok kamu sama dia” — selalu ada jebakan!

Jadi, boleh aja kamu pakai AI buat bantuin trading, tapi jangan jadi budaknya. AI itu alat bantu, bukan juru selamat. Karena ketika AI mulai bilang: “Saya rasa Anda perlu menjual rumah untuk beli Dogecoin,” itu saatnya kamu cabut kabelnya dan ajak AI-nya nonton sinetron biar dia belajar emosi.

Kesimpulan jenaka:

Intellectia itu pintar, tapi kamu juga harus lebih pintar. Jangan sampai kamu trading bareng robot, eh malah robotnya yang liburan ke Bali, kamu yang tinggal utangnya.

 abah-arul.blogspot.com. Planzan, Juli 2025

"Sound Horeg: Ketika Gendang Telinga Tak Lagi Hore"


Di sebuah desa antah-berantah di Jawa Timur, sebuah peristiwa mengguncang ketenangan warga: karnaval datang, sound horeg dibunyikan, dan gendang telinga warga pensiun dini. Satu-satunya makhluk hidup yang tetap tenang malam itu hanyalah kambing Pak RT, yang sejak lahir memang sudah budeg.

Sound horeg bukan sekadar speaker biasa. Ini bukan sound untuk karaoke keluarga. Ini adalah jurus pamungkas dalam pertunjukan budaya lokal — speaker segede lemari es dua pintu, dengan volume setara letusan kawah Gunung Semeru, dikendalikan oleh seorang juru teknik bernama Mas Brewok, yang percaya bahwa decibel adalah bentuk cinta.

“Kalau nggak sampai retak genteng rumah tetangga, itu belum horeg!” kata Mas Brewok sambil membetulkan kacamata hitamnya — yang tetap dipakai meski acaranya malam hari.

Panggung Sengketa: THT vs PSSI (Pecinta Sound System Indonesia)

Namun kegembiraan tak berlangsung lama. Sejumlah dokter THT pun turun gunung. Bukan untuk joget, tapi untuk mengingatkan bahwa gendang telinga bukan mainan. Menurut dr. Meyrna, sound horeg bisa menimbulkan tuli permanen, gangguan komunikasi, bahkan krisis rumah tangga karena istri harus teriak dulu sebelum suami sadar sedang dipanggil.

Tapi para pecinta sound horeg tidak tinggal diam. Mereka membawa argumen sakti: "Kami ini bukan cuma penyumbang suara, tapi juga penyumbang ekonomi lokal! Ada teknisi, penyewa, bahkan tukang soto keliling ikut panen!” Bahkan mereka punya “Kode Etik Horegers”, semacam Alkitab berbunyi: “Tidak boleh memekakkan telinga lebih dari 6 jam berturut-turut kecuali dalam acara nikahan mantan.”

Fatwa dan Fatamorgana

Melihat rakyat mulai bertengkar antara volume dan vibrasi, MUI Jatim pun memanggil seluruh pihak: dokter THT, pemilik sound, dan jemaah TikTok. Dalam forum itu, semua bicara. Mas Brewok membuka argumen dengan:

“Kami kadang memang berisik, tapi kami juga bangun masjid, Bu!”

Sontak dokter THT menjawab:

“Tapi kami yang merawat jemaahnya kalau telinganya pecah, Mas!”

Akhirnya lahirlah fatwa unik: Sound horeg halal bila volumenya manusiawi dan isi acaranya syar’i. Haram jika menyebabkan kerusakan rumah, jantung, atau iman.

Media Sosial: Antara Meme dan Mimisan

Di media sosial, debat ini makin liar. Ada netizen bikin meme: “Sound horeg: dari rakyat, oleh rakyat, memekakkan rakyat.” Ada pula yang menyarankan supaya dokter THT buka klinik keliling tiap ada hajatan sound horeg, biar cepat tanggap darurat.

Sementara itu, akun @HoregersSantuy menulis:

“Kami siap taat aturan, asalkan dokter juga siap nari bareng di depan subwoofer.”

Jalan Tengah (yang belum dibangun karena dananya dialihkan ke acara sound horeg)

Akhirnya, disepakati beberapa solusi:

  • Acara dibatasi sampai jam 10 malam, karena setelah itu bukan hanya suara yang terganggu, tapi juga rumah tangga.
  • Lokasi sound horeg dialihkan ke lapangan, bukan di gang sempit yang kalau motor lewat saja sudah bikin orang panik.
  • Masyarakat diedukasi, bukan hanya soal suara keras, tapi juga soal kapan harus mendengar dan kapan harus diam — terutama kalau sedang dikritik.

Penutup (pakai earplug)

Begitulah kisah epik rakyat dan volume. Antara yang ingin goyang dan yang ingin tenang. Antara gegap gempita dan gendang telinga. Semoga di masa depan, kita bisa punya sound horeg yang tetap horeg, tapi tidak bikin orang mengira sedang ada perang dunia ketiga.

Kalau tak bisa saling mendengar, minimal jangan saling memekakkan.

 

abah-arul.blogspot.com.

Planzan, Juli 2025

              

Selasa, 22 Juli 2025

“Nikah Kilat, Hamil Dahuluan: Sebuah Komedi Tragis Negeri +62”


Ada kabar viral dari dunia hiburan: sepasang artis baru saja menikah dua minggu, eh… tiba-tiba sudah hamil empat minggu. Hebat bukan? Kecepatan mereka mengalahkan pertumbuhan ekonomi negara! Bahkan mungkin ini yang disebut "cinta lintas dimensi waktu"—karena embrionya udah duluan masuk kalender sebelum akad.

Tentu, bagi warga +62 yang budiman, ini bukan sekadar berita gosip. Ini adalah bahan analisis sosial, hukum, budaya, dan tentu saja bahan gibah emak-emak se-RT. Bahkan tetangga sebelah yang belum bayar arisan pun ikut nimbrung, karena jelas: ini bukan sekadar persoalan rahim, tapi rahimahullah juga ikut dipanggil-panggil.

“Kalau Artis, Bebas. Kalau Warga Desa, Wasalam.”

Di desa, kejadian serupa bisa jadi petaka turun-temurun. Anak hasil “nikah buru-buru karena hamil duluan” akan jadi anak yang paling banyak disalami saat syukuran, dan paling banyak dijulidin setelahnya. Bahkan kalau dia ranking satu pun, pasti ada yang nyeletuk, "Ya pinter, turunan bapaknya yang nikah kilat itu loh."

Tapi kenapa sekarang pemuka agama kita—yang dulu galaknya melebihi kepala sekolah zaman Orde Baru—sekarang lebih sering memilih senyum-senyum diplomatis saat ditanya soal beginian?

Jawabannya mungkin bukan karena mereka setuju, tapi karena saking seringnya kejadian itu, mereka mulai bingung harus marah ke yang mana dulu. Seperti satpam yang kelelahan menertibkan parkiran motor di masjid saat Jumat. Capek, Bang!

Sumber Masalah: Negara Bikin Ribet, Masyarakat Bikin Ribut

Pertama, aturan negara soal pernikahan ribetnya minta ampun. Surat ini, surat itu, dispensasi ini, sidang itu. Mau nikah kayak mau KKN ke desa tertinggal. Padahal dalam Islam, syarat nikah itu simpel: ada wali, dua saksi, ijab kabul, dan… sudah, lanjut makan nasi kebuli.

Kedua, resepsi dianggap sakral sekaligus spektakuler. Kalau nggak nyewa tenda, EO, MC, badut, sirkus, dan kembang api bentuk hati, nanti dianggap belum sah secara sosial. Akibatnya, pasangan yang udah pengen banget halal, malah harus sabar... sampai akhirnya mereka menghalalkan duluan tanpa legalitas.

Dan akhirnya, lahirlah generasi baru: Anak-anak yang bisa bilang ke orang tuanya, “Terima kasih telah menikah di trimester pertamaku.”

Solusi? Mungkin Bukan di Sini

Kita bisa tertawa, tapi sejujurnya ini lucu-lucu miris. Agama punya hukum jelas, tapi masyarakat punya tekanan keras. Pemuka agama makin bingung, masyarakat makin kompromi, dan hukum negara… yah, kadang cuma jadi bahan debat di podcast.

Kalau dibiarkan, lama-lama kita akan butuh aplikasi baru bernama:

“NikahNow: Nikah Dulu, Nanti Baru Diurus Legalnya.”

Mungkin kita tidak bisa memperbaiki semua ini hari ini. Tapi setidaknya, kalau ada pasangan hamil duluan, jangan dulu dikutuk… tanya dulu:

“Kalian ini produk cinta... atau produk keterlambatan undangan catering?”

abah-arul.blogspot.com

Planzan, Juli 2025