Kamis, 06 Maret 2025

MENGAGUNGKAN ILMU DAN AHLI ILMU

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446 H/ Maret 2025 M

Mengagungkan Ilmu


اِعْلَمْ أَنَّ طَالِبَ العِلْمِ لَا يَنَالُ العِلْمَ وَلَا يَنْتَفِعُ بِهِ إِلَّا بِتَعْظِيمِ العِلْمِ وَأَهْلِهِ، وَتَعْظِيمِ الأُسْتَاذِ وَتَوْقِيرِهِ.

Terjemahan:
Ketahuilah bahwa seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan bisa mengambil manfaat darinya kecuali dengan mengagungkan ilmu, ahli ilmu, serta mengagungkan dan memuliakan gurunya.

Penjelasan:
Seorang pelajar tidak akan meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu, dan ilmunya pun tidak akan bermanfaat, kecuali jika ia mengagungkan ilmu itu sendiri, menghormati ahli ilmu, dan memuliakan gurunya. Mengagungkan ilmu dan guru adalah kunci keberkahan dan keberhasilan dalam menuntut ilmu.

Pentingnya Menjaga Kehormatan Ilmu


قِيلَ: مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ إِلَّا بِالحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ إِلَّا بِتَرْكِ الحُرْمَةِ. وَقِيلَ: الحُرْمَةُ خَيْرٌ مِنَ الطَّاعَةِ، أَلَا تَرَى أَنَّ الإِنْسَانَ لَا يُكْفَرُ بِالمَعْصِيَةِ، وَإِنَّمَا يُكْفَرُ بِاسْتِخْفَافِهَا، وَبِتَرْكِ الحُرْمَةِ. وَمِنْ تَعْظِيمِ العِلْمِ تَعْظِيمُ الأُسْتَاذِ.

Terjemahan:
Dikatakan: "Tidaklah seseorang mencapai kesuksesan kecuali dengan menjaga kehormatan (ilmu dan guru), dan tidaklah seseorang jatuh kecuali karena meninggalkan kehormatan." Dikatakan pula: "Menjaga kehormatan lebih baik daripada ketaatan. Tidakkah engkau melihat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena maksiat, tetapi menjadi kafir karena meremehkannya dan meninggalkan kehormatan." Dan termasuk mengagungkan ilmu adalah mengagungkan guru.

Penjelasan:
Keterangan ini menjelaskan betapa pentingnya seorang murid dalam menuntut ilmu untuk mengagungkan ilmu yang dipelajari dan menghormati gurunya. Keberhasilan seseorang dalam menuntut ilmu sangat bergantung pada sejauh mana ia menjaga kehormatan ilmu dan guru. Sebaliknya, kegagalan sering kali terjadi karena meremehkan hal-hal tersebut.

Ilmu yang dipelajari tanpa disertai dengan adab dan penghormatan kepada guru tidak akan membawa manfaat atau keberkahan. Bahkan, manusia tidak menjadi kafir karena maksiat yang dilakukannya, tetapi karena sikap meremehkan dan tidak mengagungkan Allah serta ajaran-Nya.

Kisah Sufyan Ats-Tsauri dan Pelajaran tentang Maksiat

Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, seorang ulama besar dan guru dari Imam Malik rahimahumallah, bahwa:


"Setiap maksiat yang timbul dari dorongan syahwat (nafsu) masih ada harapan untuk diampuni oleh Allah, selama pelakunya bertaubat dan memohon ampunan. Namun, maksiat yang timbul dari sikap takabur (sombong) sangat sulit diharapkan ampunannya."

  • Maksiat karena Syahwat: Maksiat yang dilakukan karena dorongan nafsu, seperti keinginan yang berlebihan terhadap sesuatu, masih mungkin diampuni oleh Allah jika pelakunya bertaubat dengan sungguh-sungguh.
  • Maksiat karena Takabur: Maksiat yang dilakukan karena kesombongan, seperti merasa diri lebih mulia atau lebih utama daripada orang lain, sangat sulit diampuni. Contohnya adalah kisah Iblis yang enggan sujud kepada Nabi Adam AS karena merasa dirinya lebih mulia, padahal itu adalah perintah Allah.


Kisah Nabi Adam AS dan Iblis memberikan pelajaran berharga:

  • Kesalahan Nabi Adam AS adalah karena dorongan syahwatnya untuk memakan buah terlarang, dan ia segera bertaubat setelah menyadari kesalahannya.
  • Sementara itu, kesalahan Iblis adalah karena kesombongannya, yang menganggap dirinya lebih mulia daripada Nabi Adam AS. Kesombongan inilah yang menyebabkan Iblis terusir dari rahmat Allah.

Pentingnya Ibadah dan Mengamalkan Ilmu

Allah SWT memerintahkan manusia untuk beribadah kepada-Nya, termasuk dalam menuntut ilmu. Setelah memperoleh ilmu, seorang muslim wajib mengamalkannya dan mengagungkan ilmu tersebut. Mengagungkan ilmu juga berarti mengagungkan guru yang mengajarkannya, karena guru adalah perantara dalam memperoleh ilmu.

Poin Penting:

1.     Menuntut Ilmu: Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat mulia.

2.     Mengamalkan Ilmu: Ilmu yang telah diperoleh harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

3.     Mengagungkan Ilmu dan Guru: Mengagungkan ilmu dan guru adalah kunci keberkahan ilmu.

4.     Menghindari Sombong: Kesombongan, termasuk meremehkan perintah Allah dan ajaran-Nya, dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran.


Kesimpulan

Mengagungkan ilmu, ahli ilmu, dan guru adalah kunci utama dalam menuntut ilmu. Tanpa adab dan penghormatan, ilmu yang dipelajari tidak akan membawa manfaat atau keberkahan. Selain itu, penting untuk menghindari sikap sombong dan takabur, karena hal tersebut dapat menghalangi seseorang dari ampunan Allah. Menuntut ilmu, mengamalkannya, dan menjaga adab dalam prosesnya adalah jalan menuju keberhasilan dunia dan akhirat.

MEMILIH ILMU, BERGURU, BERSAHABAT, DAN KETABAHAN DALAM BERILMU

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446 H/Maret 2025 M

A.   Syarat-syarat Ilmu yang Dipilih


وَيَنْبَغِي لِطَالِبِ العِلْمِ أَنْ يَخْتَارَ مِنْ كُلِّ عِلْمٍ أَحْسَنَهُ وَمَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي أَمْرِ دِينِهِ فِي الحَالِ، ثُمَّ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ فِي المَآلِ.

"Bagi seorang penuntut ilmu, hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan yang dibutuhkan untuk urusan agamanya saat ini, kemudian yang dibutuhkan untuk masa depan."


Bagi seorang pelajar, dalam memilih ilmu, hendaknya memprioritaskan ilmu yang terbaik dan yang paling dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada saat ini, serta yang akan dibutuhkan di masa yang akan datang. Ilmu yang dipilih harus relevan dengan kebutuhan spiritual dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.

وَيُقَدِّمُ عِلْمَ التَّوْحِيدِ وَالمَعْرِفَةَ، وَيُعَرِّفُ اللهَ تَعَالَى بِالدَّلِيلِ، فَإِنَّ إِيمَانَ المُقَلِّدِ ـ وَإِنْ كَانَ صَحِيحًا عِنْدَنَا ـ لَكِنْ يَكُونُ آثِمًا بِتَرْكِ الاسْتِدْلَالِ

"Hendaknya mendahulukan ilmu tauhid dan ma'rifat (mengenal Allah) dengan disertai dalil. Karena iman seorang yang hanya taklid (mengikut tanpa dalil), meskipun dianggap sah menurut kita, tetap berdosa karena meninggalkan istidlal (pencarian dalil)."

Seorang penuntut ilmu harus mendahulukan mempelajari ilmu tauhid dan ma'rifatullah (mengenal Allah) dengan disertai dalil-dalil yang kuat. Meskipun iman seseorang yang hanya taklid (mengikut tanpa mengetahui dalil) dianggap sah, namun ia tetap berdosa karena meninggalkan proses pencarian dan pemahaman dalil. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk memahami dasar-dasar keimanan dengan benar dan mendalam.


وَيَخْتَارُ العَتِيقَ دُونَ المُحْدَثَاتِ، قَالُوا: عَلَيْكُمْ بِالعَتِيقِ وَإِيَّاكُمْ وَالمُحْدَثَاتِ، وَإِيَّاكَ أَنْ تَشْتَغِلَ بِهَذَا الجِدَالِ الَّذِي ظَهَرَ بَعْدَ انْقِرَاضِ الأَكَابِرِ مِنَ العُلَمَاءِ، فَإِنَّهُ يُبْعِدُ عَنِ الفِقْهِ وَيُضِيعُ العُمْرَ وَيُورِثُ الوَحْشَةَ وَالعَدَاوَةَ، وَهُوَ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ وَارْتِفَاعِ العِلْمِ وَالفِقْهِ، كَذَا وَرَدَ فِي الحَدِيثِ.

"Hendaknya memilih ilmu yang klasik (murni) dan menghindari ilmu-ilmu yang baru muncul. Ulama berkata, 'Berpeganglah pada ilmu yang klasik dan jauhilah ilmu yang baru.' Janganlah engkau terjebak dalam perdebatan yang muncul setelah hilangnya ulama-ulama besar, karena hal itu akan menjauhkanmu dari pemahaman fiqh, menyia-nyiakan umur, menimbulkan permusuhan, dan termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat serta hilangnya ilmu dan fiqh, sebagaimana disebutkan dalam hadis."

Seorang penuntut ilmu hendaknya memilih ilmu yang klasik (asli dan murni) serta menghindari ilmu-ilmu yang baru muncul dan tidak memiliki dasar yang kuat. Para ulama mengingatkan, "Berpeganglah pada ilmu yang klasik dan jauhilah ilmu yang baru." Selain itu, seorang penuntut ilmu harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perdebatan-perdebatan yang muncul setelah generasi ulama besar berlalu. Perdebatan semacam ini hanya akan menjauhkan seseorang dari pemahaman fiqh yang benar, menyia-nyiakan waktu, menimbulkan permusuhan, dan bahkan termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat serta hilangnya ilmu dan fiqh, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi.

Pentingnya Memilih Ilmu yang Tepat

Memilih ilmu yang tepat adalah langkah awal yang sangat penting dalam perjalanan menuntut ilmu. Ilmu yang dipilih haruslah ilmu yang bermanfaat, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Ilmu tauhid dan ma'rifatullah harus menjadi prioritas utama, karena kedua ilmu ini merupakan pondasi keimanan seorang muslim. Selain itu, ilmu yang dipilih haruslah ilmu yang telah teruji keabsahan dan kemanfaatannya, bukan ilmu yang baru muncul dan belum jelas sumber serta kebenarannya.

Menghindari Perdebatan yang Tidak Bermanfaat

Perdebatan yang tidak memiliki dasar yang kuat dan hanya muncul setelah generasi ulama besar berlalu harus dihindari. Perdebatan semacam ini tidak hanya membuang waktu, tetapi juga dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan di antara umat Islam. Sebagai penuntut ilmu, kita harus fokus pada ilmu yang mendatangkan manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan terjebak dalam hal-hal yang justru menjauhkan kita dari tujuan utama menuntut ilmu.

Kesimpulan

Dalam menuntut ilmu, seorang muslim harus cerdas dalam memilih ilmu yang akan dipelajari. Prioritas utama adalah ilmu tauhid dan ma'rifatullah, yang disertai dengan dalil-dalil yang kuat. Selain itu, ilmu yang dipilih haruslah ilmu yang klasik dan telah teruji keabsahannya, bukan ilmu yang baru muncul dan belum jelas sumbernya. Hindari perdebatan yang tidak bermanfaat, karena hal itu hanya akan menyia-nyiakan waktu dan menimbulkan permusuhan. Dengan memilih ilmu yang tepat, kita akan lebih mudah mencapai tujuan utama menuntut ilmu, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

BERSANDARLAH PADA ALLAH, JANGAN PADA AMAL

 

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446 H/ Maret 2025 M

 

مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَّلَلِ

"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya adalah kurangnya ar-raja' (rasa harap kepada rahmat Allah) ketika menghadapi kegagalan atau kesalahan."

Syarah (Penjelasan):

Ar-raja' adalah istilah khusus dalam terminologi agama Islam yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Pasal pertama dari kitab Al-Hikam ini bukan ditujukan kepada seseorang yang sedang berbuat salah, gagal, atau melakukan dosa. Sebab, ar-raja' lebih menggambarkan sifat orang-orang yang senantiasa mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.

Kalimat "wujuudi zalal" berarti segala wujud yang akan hancur, yaitu alam fana. Ini menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh hawa nafsu serta syahwat. Semua itu adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, meskipun masih hidup di dunia dan terikat pada segala wujud yang fana, namun harapannya tetap semata kepada Allah Ta'ala.

Seorang mukmin yang kuat tauhidnya dan imannya, meskipun hidup di dunia dan terikat pada segala sesuatu yang fana, tetap menjadikan harapannya hanya kepada Allah Ta'ala. Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan pada amal-amal kita, baik itu amal yang besar maupun kecil.

Hal yang paling berharga dalam perjalanan spiritual (suluk) adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas ar-raja' (harapan) kita kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya."
Para sahabat bertanya, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab, "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku."

(H.R. Bukhari dan Muslim)

Orang yang melakukan amal ibadah pasti memiliki pengharapan kepada Allah, meminta kepada-Nya agar harapannya dikabulkan. Namun, jangan sampai seseorang bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah adalah Allah. Sehingga, jika terjadi kesalahan seperti terlanjur melakukan maksiat atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia tidak boleh merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Allah. Jika pengharapan kepada rahmat Allah berkurang, maka amalnya pun akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.

Sebenarnya, dalam beramal, semuanya dikehendaki dan dijalankan oleh Allah. Sedangkan diri kita hanyalah sebagai media berlakunya Qudrat (kekuasaan) Allah.

Kalimat "Laa ilaha illallah" (Tidak ada Tuhan selain Allah) mengandung makna bahwa tidak ada tempat bersandar, berlindung, atau berharap kecuali Allah. Tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak kecuali Allah.

Pada dasarnya, syariat menyuruh kita untuk berusaha dan beramal. Namun, hakikat syariat melarang kita untuk menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya kita tetap bersandar pada karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Jika kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang, atau manusia, maka janganlah kita menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri. Jangan sampai kita merasa sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayah, dan karunia-Nya.

Kesimpulan:

Sebaik-baiknya hidup adalah hidup yang sehat. Sebaik-baiknya sehat adalah yang digunakan untuk beramal. Sebaik-baiknya beramal adalah beribadah kepada Allah. Sebaik-baiknya beribadah adalah melaksanakan rukun Islam dan senantiasa berdzikir kepada Allah SWT. Dan sebaik-baiknya berdzikir adalah dilakukan di majelis dzikir.

Dengan demikian, marilah kita senantiasa bersandar hanya kepada Allah, bukan pada amal kita sendiri. Karena segala sesuatu terjadi atas kehendak dan kuasa-Nya. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk tetap berharap hanya kepada rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Keutamaan Puasa dan Ampunan dari Allah SWT

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446 H/ Maret 2025 M

Puasa, khususnya puasa di bulan Ramadhan, merupakan ibadah yang memiliki keutamaan luar biasa dalam Islam. Salah satu keutamaannya adalah pengampunan dosa-dosa yang telah lalu, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ.
(HR Al-Bukhari)

Artinya:
"Dari Nabi SAW, beliau bersabda: 'Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ridha Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.'"

Makna dan Kandungan Hadis

  1. Pengampunan Dosa
    Hadis ini menegaskan bahwa puasa Ramadhan yang dilakukan dengan penuh keimanan dan keikhlasan (ihtisab) akan menghapus dosa-dosa yang telah lalu. Ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam beribadah.
  2. Syarat Pengampunan Dosa
    Pengampunan dosa ini tidak otomatis diberikan, melainkan dengan dua syarat utama:
    • Iman: Melakukan puasa dengan keyakinan bahwa puasa adalah perintah Allah dan bagian dari ibadah yang wajib.
    • Ihtisab: Mengharap ridha Allah semata, bukan karena pujian atau pengakuan dari manusia.
  3. Kesempatan Emas di Bulan Ramadhan
    Puasa Ramadhan dan menghidupkan malam Lailatul Qadar adalah dua ibadah yang saling melengkapi. Keduanya menjadi sarana untuk meraih ampunan Allah SWT. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah dan amal kebaikan.

Keutamaan dan Manfaat Puasa Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab At-Tafsirul Munir menjelaskan bahwa puasa memiliki sembilan keutamaan dan manfaat bagi manusia, di antaranya:

  1. Penyucian Jiwa
    Puasa membersihkan jiwa dari kotoran dosa dan sifat-sifat buruk, sehingga hati menjadi lebih bersih dan tenang.
  2. Mendatangkan Keridhaan Allah
    Puasa yang dilakukan dengan ikhlas akan mendatangkan ridha Allah SWT, yang merupakan tujuan utama setiap ibadah.
  3. Mendidik Rasa Takut kepada Allah
    Puasa mengajarkan kita untuk selalu merasa diawasi oleh Allah, baik dalam keadaan sepi maupun ramai.
  4. Melatih Kesabaran dan Ketahanan
    Puasa melatih kita untuk bersabar dalam menghadapi godaan dan kesulitan, baik fisik maupun emosional.
  5. Meredakan Syahwat
    Puasa membantu mengendalikan syahwat dan mengembalikannya ke batas normal, sehingga jiwa menjadi lebih tenang dan terkendali.
  6. Menumbuhkan Rasa Empati dan Kasih Sayang
    Puasa mengajarkan kita untuk merasakan penderitaan orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung, sehingga mendorong kita untuk lebih dermawan.
  7. Mewujudkan Kesetaraan
    Puasa menciptakan kesetaraan antara orang kaya dan miskin, karena semua orang menjalankan kewajiban yang sama tanpa memandang status sosial.
  8. Membiasakan Kedisiplinan
    Puasa melatih kita untuk disiplin dalam mengatur waktu, terutama antara sahur dan berbuka.
  1. Menyehatkan Tubuh

  2. Puasa memberikan manfaat fisik, seperti membersihkan tubuh dari racun, menyegarkan organ-organ tubuh, dan meningkatkan daya ingat.

 

Penjelasan Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah

Prof. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa redaksi dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 tidak menyebutkan secara eksplisit siapa yang mewajibkan puasa. Hal ini mengisyaratkan bahwa puasa adalah sesuatu yang sangat penting dan bermanfaat bagi manusia. Bahkan, seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, manusia sendiri akan mewajibkan puasa atas dirinya karena manfaatnya yang besar.

Puasa (shiyam) pada dasarnya adalah menahan diri, bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari segala hal yang dapat mengurangi nilai ibadah tersebut. Ini menunjukkan bahwa puasa memiliki dimensi spiritual dan moral yang mendalam.

Pesan Moral dan Spiritual

  1. Memanfaatkan Bulan Ramadhan


Bulan Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah dan meningkatkan kualitas ibadah. Kita harus memanfaatkannya dengan memperbanyak puasa, shalat malam, sedekah, dan amal kebaikan lainnya.

  1. Menjaga Keikhlasan

  2. Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal ibadah. Puasa harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena pujian atau pengakuan dari manusia.
  1. Mengambil Hikmah dari Puasa

Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, empati, dan kedisiplinan. Nilai-nilai ini harus kita bawa dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang penuh keutamaan, mulai dari pengampunan dosa hingga manfaat spiritual dan fisik. Dengan memahami keutamaan ini, kita diharapkan dapat lebih bersemangat dalam menjalankan puasa dan memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik mungkin. Semoga kita termasuk orang-orang yang meraih ampunan Allah dan keberkahan di bulan suci ini.

Wallahu a'lam. 

Tiga Kado Istimewa di Bulan Ramadhan: Rahmat, Ampunan, dan Masuk Surga

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446 H/ Maret 2025 M

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan. Di antara keistimewaan yang ditawarkan oleh bulan suci ini adalah tiga kado istimewa dari Allah SWT, yaitu rahmat (kasih sayang Allah), ampunan (maghfirah), dan masuk surga. Ketiga hal ini menjadi tujuan utama setiap Muslim dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Mari kita bahas satu per satu.

 

Ramadhan sebagai Bulan Rahmat

Mendapatkan rahmat atau kasih sayang Allah adalah sesuatu yang sangat penting dan harus diupayakan oleh setiap Muslim. Rahmat Allah memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan seorang hamba, terutama di akhirat kelak. Bisa saja seseorang rajin beribadah, taat, dan melakukan banyak amal kebaikan, namun jika tidak mendapatkan rahmat Allah, semua amalnya bisa menjadi sia-sia. Na’udzubillah min dzalik.

Sebagai gambaran betapa besarnya rahmat Allah, ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Kisah ini menceritakan tentang seorang hamba yang beribadah selama 500 tahun, namun ia masuk surga bukan karena ibadahnya, melainkan karena rahmat Allah. Berikut ringkasan kisahnya:

Suatu hari, Malaikat Jibril bercerita kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Muhammad, demi Allah yang telah mengutusmu sebagai nabi, ada seorang hamba Allah yang ahli ibadah. Ia hidup dan beribadah selama 500 tahun di atas gunung.”

Singkat cerita, hamba tersebut memohon kepada Allah agar mencabut nyawanya dalam keadaan sujud dan jasadnya tetap utuh hingga hari kiamat. Doanya dikabulkan. Ketika tiba di akhirat, Allah berfirman kepadanya, “Wahai hamba-Ku, engkau Kumasukkan ke surga berkat rahmat-Ku.”

Hamba itu pun protes. Ia mengira bahwa ibadahnya selama 500 tahunlah yang membuatnya layak masuk surga. Namun, setelah dihitung, ternyata bobot rahmat Allah jauh lebih besar daripada amal ibadahnya. Allah kemudian memerintahkan malaikat untuk memasukkannya ke neraka. Namun, sebelum hal itu terjadi, hamba tersebut akhirnya mengakui bahwa rahmat Allah-lah yang lebih besar dan membuatnya layak masuk surga. Akhirnya, ia pun tidak jadi dimasukkan ke neraka. (Abul Laits as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, h. 63).

Kisah ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hasan dan dicatat oleh Abul Laits as-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin:

 

بُدَلَاءُ أُمَّتِي لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِكَثْرَةِ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ، وَلَكِنْ يَرْحَمُهُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِسَلَامَةِ الصُّدُورِ، وَسَخَاوَةِ النَّفْسِ، وَالرَّحْمَةِ لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ

  

Artinya: “Para wali abdal dari umatku tidak masuk surga karena banyaknya shalat dan puasa, melainkan karena Allah merahmati mereka sebab hati yang bersih, jiwa yang dermawan, dan menyayangi setiap Muslim.” (Abul Laits as-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, 2016: h. 63).

 

Dari kisah dan hadits di atas, kita dapat mengambil pelajaran bahwa rahmat Allah adalah kunci utama untuk meraih surga. Namun, bukan berarti kita menomorduakan ibadah. Justru, dengan ibadah yang ikhlas dan hati yang bersih, kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah agar layak mendapatkan rahmat-Nya.

 

Ramadhan sebagai Bulan Ampunan

Ramadhan juga dikenal sebagai bulan penuh ampunan. Setiap Muslim tentu ingin mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Oleh karena itu, salah satu doa yang dianjurkan untuk dibaca selama bulan Ramadhan adalah:

 

اَللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فاَعْفُ عَنَّا 

Artinya: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Mulia, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku.”

Doa ini sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, yang merupakan waktu potensial terjadinya malam Lailatul Qadar. Namun, karena malam Lailatul Qadar bisa terjadi kapan saja selama Ramadhan, doa ini juga baik dibaca sepanjang bulan suci ini. (Abu Ishaq as-Syairazi, at-Tanbih fi Fiqhisy Syafi’i, juz I, h. 67).

Dengan memperbanyak memohon ampunan, kita berharap dosa-dosa kita diampuni oleh Allah SWT. Ramadhan adalah kesempatan emas untuk membersihkan diri dari segala kesalahan dan memulai lembaran baru sebagai hamba yang lebih baik.

 

Ramadhan sebagai Bulan Meraih Surga

Selain rahmat dan ampunan, Ramadhan juga merupakan bulan di mana Allah membuka pintu-pintu surga dan menutup rapat-rapat pintu neraka. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadits:

 

إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ

 

Artinya: “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim).

Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan bahwa “dibukanya pintu surga” adalah simbol imbauan bagi umat Muslim untuk memperbanyak amal ibadah, sementara “dibelenggunya setan” adalah simbol untuk mencegah diri dari perbuatan maksiat. (Maqashidush Shaum, 1922: 12).

Artinya, Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih surga dengan memperbanyak ibadah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Dengan demikian, kita bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa.

 

Penutup

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat, ampunan, dan kesempatan untuk meraih surga. Marilah kita manfaatkan bulan suci ini dengan sebaik-baiknya. Perbanyaklah ibadah, jaga hati dan pikiran agar tetap bersih, serta hindari segala perbuatan yang dapat mengurangi pahala puasa kita. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, dan kita semua bisa meraih rahmat, ampunan, serta surga Allah SWT. Wallahu a’lam.

Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Puasa dan Penciptaan Akal serta Nafsu

 

 

MT Albina Pancasan, Kultum Romadlon 1446/ Maret 2025

Puasa disyariatkan oleh Allah SWT sebagai salah satu ibadah utama dalam Islam. Salah satu hikmah di balik pensyariatan puasa adalah terkait dengan penciptaan akal dan nafsu, dua entitas yang memiliki sifat dan karakteristik berbeda. Melalui puasa, manusia diajarkan untuk mengendalikan nafsunya dengan menggunakan akal, sehingga dapat mencapai derajat ketakwaan yang tinggi.

 

1. Akal: Entitas yang Mulia

Akal adalah anugerah Allah yang sangat mulia. Akal diberikan kepada manusia sebagai alat untuk memahami, berpikir, dan membedakan antara yang baik dan buruk. Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Allah SWT menciptakan akal dan memerintahkannya untuk datang. Akal pun segera mematuhi perintah tersebut. Kemudian, Allah bertanya kepada akal:

مَنْ أَنْتَ وَمَنْ أَنَا؟

Artinya: “Siapa kamu dan siapakah Aku?”

Akal menjawab:

أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ الضَّعِيفُ

Artinya: “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu yang lemah.”

Mendengar jawaban ini, Allah berfirman:

مَا خَلَقْتُ خَلْقًا أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْكَ

Artinya: “Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia daripada kamu.”

Kisah ini menggambarkan betapa mulianya akal di sisi Allah. Akal adalah alat yang memungkinkan manusia untuk mengenal Tuhannya, memahami syariat-Nya, dan menjalankan perintah-Nya dengan penuh kesadaran.

 

2. Nafsu: Entitas yang Harus Dikendalikan

Berbeda dengan akal, nafsu memiliki kecenderungan untuk melawan dan sulit dikendalikan. Dalam riwayat yang sama, diceritakan bahwa Allah SWT menciptakan nafsu dan memerintahkannya untuk datang. Namun, nafsu tidak merespons. Ketika Allah bertanya:

مَنْ أَنْتَ وَمَنْ أَنَا؟

Artinya: “Siapa kamu dan siapakah Aku?”

Nafsu menjawab:

أَنْتَ أَنْتَ وَأَنَا أَنَا

Artinya: “Kamu adalah Kamu, dan aku adalah aku.”

Karena jawaban ini, Allah melemparkan nafsu ke Neraka Jahanam selama 100 tahun. Setelah itu, Allah mengulangi pertanyaan yang sama, tetapi nafsu tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Allah kemudian menyiksa nafsu dengan rasa lapar selama 100 tahun. Baru setelah itu, nafsu akhirnya mengakui:

أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ

Artinya: “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu.”

Kisah ini menunjukkan bahwa nafsu memiliki kecenderungan untuk membangkang dan sulit dikendalikan. Namun, dengan latihan dan pengendalian diri, seperti melalui ibadah puasa, nafsu dapat ditundukkan dan diarahkan kepada ketaatan.

 

Hikmah Puasa dalam Mengendalikan Nafsu

Puasa adalah ibadah yang secara khusus melatih manusia untuk mengendalikan nafsunya. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari, manusia belajar untuk mengendalikan keinginan jasmaninya dan lebih mengutamakan ketaatan kepada Allah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).

Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan utama puasa adalah untuk mencapai ketakwaan, yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dari godaan nafsu dan senantiasa taat kepada Allah.

Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadits:

 

الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ

 

Artinya: “Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, janganlah ia berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencacinya atau memeranginya, hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari perbuatan dan perkataan yang tidak baik. Dengan demikian, puasa melatih manusia untuk mengendalikan nafsu dan meningkatkan kualitas akhlaknya.

 

Penutup

Puasa adalah ibadah yang memiliki hikmah sangat dalam, terutama dalam kaitannya dengan penciptaan akal dan nafsu. Akal adalah anugerah mulia yang memungkinkan manusia untuk mengenal Tuhannya, sementara nafsu adalah entitas yang harus dikendalikan agar tidak menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Melalui puasa, manusia diajarkan untuk menggunakan akalnya dalam mengendalikan nafsunya, sehingga dapat mencapai derajat ketakwaan yang tinggi.

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari ibadah puasa dan senantiasa berusaha untuk mengendalikan nafsu dengan akal yang telah Allah karuniakan. Aamiin.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Kamis, 13 Februari 2025

"Memerangi Musuh Allah"


MT Al Bina Pancasan

 

Banyu Bening, Ajibarang (03/08/2012) – Pada malam ketiga belas Ramadan 1433 H (1 Agustus 2012), Ustadz Imam Subhi menyampaikan kultum (kuliah tujuh menit) setelah sholat Tarawih dengan tema "Memerangi Musuh Allah".

Puasa adalah salah satu cara untuk memerangi musuh Allah, yaitu setan. Setan selalu berusaha menggoda manusia melalui syahwat, dan syahwat ini semakin kuat ketika kita banyak makan dan minum. Oleh karena itu, puasa menjadi sarana untuk melemahkan syahwat dengan mengurangi asupan makanan dan minuman.

 

Puasa dan Penciptaan Akal serta Nafsu

Puasa disyariatkan oleh Allah SWT karena Allah menciptakan akal dan nafsu sebagai dua entitas yang berbeda.

  1. Akal:
    Ketika Allah memerintahkan akal untuk datang, akal pun datang. Ketika diperintahkan untuk pergi, akal pun pergi. Saat Allah bertanya, “Siapa kamu dan siapakah Aku?” Akal menjawab, “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu yang lemah.”
    Mendengar jawaban ini, Allah berfirman, “Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia daripada kamu.”
  2. Nafsu:
    Allah juga menciptakan nafsu. Namun, ketika diperintahkan untuk datang, nafsu tidak merespons. Saat Allah bertanya, “Siapa kamu dan siapakah Aku?” Nafsu menjawab, “Kamu adalah Kamu, dan aku adalah aku.”
    Karena jawaban ini, Allah melemparkan nafsu ke Neraka Jahanam selama 100 tahun. Setelah itu, Allah mengulangi pertanyaan yang sama, tetapi nafsu tetap menjawab dengan jawaban yang sama.
    Allah kemudian menyiksa nafsu dengan rasa lapar selama 100 tahun. Baru setelah itu, nafsu akhirnya mengakui, “Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu.”

 

Hikmah Puasa

Berdasarkan kisah ini, Allah mewajibkan puasa kepada manusia untuk mengendalikan nafsu. Puasa melatih kita untuk menahan diri dari syahwat, termasuk makan dan minum yang berlebihan, sehingga kita dapat lebih dekat kepada Allah dan terhindar dari godaan setan.

 

Analisis Artikel

  1. Konteks dan Tujuan:
    Artikel ini membahas pentingnya puasa sebagai sarana untuk memerangi musuh Allah, yaitu setan, dan mengendalikan nafsu. Tujuannya adalah mengingatkan umat Islam tentang hikmah di balik ibadah puasa.
  2. Nilai-Nilai yang Disampaikan:
    • Puasa sebagai Perlawanan terhadap Setan: Puasa melemahkan syahwat, yang menjadi alat utama setan untuk menggoda manusia.
    • Peran Akal dan Nafsu: Akal tunduk kepada Allah, sedangkan nafsu cenderung memberontak. Puasa membantu manusia mengendalikan nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah.
    • Ketaatan kepada Allah: Kisah akal dan nafsu mengajarkan pentingnya ketaatan dan pengakuan terhadap kekuasaan Allah.
  3. Relevansi dengan Kehidupan Modern:
    Di era modern, godaan syahwat semakin kuat, baik melalui makanan, minuman, maupun hal-hal duniawi lainnya. Puasa menjadi sarana untuk melatih disiplin diri dan mengendalikan keinginan yang berlebihan.
  4. Saran untuk Perbaikan:
    • Penjelasan tentang bagaimana puasa dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi tantangan modern, dapat ditambahkan.
    • Contoh praktis tentang cara mengendalikan nafsu melalui puasa dapat memberikan inspirasi lebih kepada pembaca.

 

Kesimpulan

Puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sarana untuk memerangi musuh Allah, yaitu setan, dan mengendalikan nafsu. Dengan berpuasa, kita melatih diri untuk lebih taat kepada Allah dan menjauhi godaan syahwat. Semoga puasa kita diterima oleh Allah SWT dan membawa keberkahan dalam hidup.