Selasa, 11 Oktober 2011

MEMANGGANG MATAHARI DI ATAS LILIN Karya : Imam Burhanuddin

PULANG

mari nak, bermain di dalam saja
di rumah tuhan lebih leluasa
apalagi mendung mulai menyelimuti alam semesta
mungkin badai sebentar lagi
menyibakkan sayapnya

tinggalkan tanah lapang dan pelataran
tempat bermain yang menungkulkan
mandilah dulu biar hilang daki di tubuhmu
gantilah baju yang kena debu
dengan begitu akan lebih tenang dan khusu'

kumpulkan kelereng jadikan tasbih
hitung kembali mungkin kita sudah lupa jumlahnya
selama ini terlalu banyak disibukkan
dengan menghitung hitung angka
tanpa disadari telah menjadi tumpuan hidup kita

kumpulkan karet gelang jadikan sabuk
ikat erat erat di pinggang
untuk sedikit mengekang dahaga dan lapar
karena kini sulit membedakan halal dan haram
sekalipun dicari dengan mati matian

mari nak, mungkin tuhan lama menunggu di dalam
sampirkan dulu semua mainan
kita tak ingin Ia marah
karena terlambat datang

Pancasan, 19 Januari 1991

























BILA MUNGKIN

mari ramai ramai memperkosa
toh di dunia ini tidak ada yang diraih
tanpa memperkosa
penyair memperkosa kata kata
orang tua memperkosa anaknya
guru memperkosas muridnya
atasan memperkosa bawahannya
mengapa kita tak ramai ramai
memperkosa diri kita
memperkosa otak kita
memperkosa hati kita
memperkosa jiwa kita
memperkosa mata telinga
            mulut hidung
            kaki tangan kita
bila mungkin kita perkosa
tuhan kita

Pancasan, 13 April 1991







O, YA

kugelindingkan bola salju
dari atas bukit salju
semakin tebal
semakin ke bawah
semakin besar
lalu kuambil dan kusimpan dalam hati
menanti kemarau tahun ini

di saat kemarau
mentari memanggang hari
rerumputan mati

ku ambil bola salju
kubiarkan meleleh
ke sekujur tubuh
dari ujung rambut hingga kaki
sejuk kurasakan cintamu
o, ya cinta, kaukah itu?, sapaku

sambil tak henti kuraupi
seluruh tubuh
dengan air lelehan salju
tak hiraukan mentari
menjilati air yang melekat
dengan sinarnya
meski sedikit demi sedikit
kurasakan kehangatan sengatan cintamu
o, ya cinta, kaukah itu? Sapaku

Pancasan, 20 Mei 1991
























TUNGGU KUDATANG

lewat pintu mana kuharus masuk
lewat pintu belakang aku takut
lewat pintu depan keberanian
mendadak surut
haruskah daun jendela yang kuketuk

Pancasan, 21 Mei 1991



















CERMIN

kutak lagi berani berkaca
di depan cermin
takut melihat diri
sama sekali lain
sudah banyak cermin pecah
karena sering sehabis berkaca
cermin kubelah
tak mengiakan kata hatiku
akan keangkuhan
kini kutak lagi berani
berkaca di depan cermin
setelah kau bangunkan aku dari lamunan
setelah kau buyarkan semua impian
sekarang tinggal diri yang telanjang
penuh borok dan luka luka yang dalam

Pancasan, 4 Januari 1991









ORANG KALAH

tersenyumlah dunia
sebelum kau tawarkan aku
sepetak tanah
tempat kusandarkan
segala rona kehidupan

katakan pada langit
suruh bulan
bintang gemintang
menyiram sinar terang
padangkan semesta

biar semua tahu
akulah pahlawan muda
terluka untuk luka
dan mati berkafan darah
segarnya

Pancasan, 25 Maret 1991







SENYUMMU

tlong senyum itu kau simpan
jangan berikan setiap orang
biar kutak ragukan cintamu
yang kau janjikan untukku

Pancasan, 11 Februari 1991




















Surat I :

AKU NAKSIR KAMU

sebenarnya aku bingung harus ngomong apa
atawa bilang bagaimana
aku sendiri heran, bisa bisanya ada keberanian
datang entah dari mana
untuk  menulis surat buatmu
namun jangan harap kata kataku nanti
penuh bunga
menjadikanmu tak tega membuang atawa membakarnya setelah kau usai membaca
selain aku tak pandai merangkai kata
dengan semerbak wangi bunga
aku sendiri merasa kurang akan perbendaharaan kata yaang banyak berhububgan dengan kata, “Cinta”
maka tak perlu terpana bila dengan lugu
aku mengudak kata hatiku
dan bila tak sreg dengan kata kataku
kau boleh mengeluarkan semua yang ada di hatimu
karena aku sendiri sudah maklumkan itu
dan siap untuk tidak kecewa bila saja kau jawab
“aku sudah ada yang punya”
bingung..........?!
sedikit lagi menambah kebingunganmu
      ini yang selalu mengusik tidurku
      menemani lamunanku
      menghias sepi sepiku
      “aku naksir kamu”

Pancasan, 29 November  1990























PINTU DAN JENDELA YANG TERBUKA

bening kaca di beranda itu cukup untuk melihat apa yang di dalam dengan jelas
apalagi dengan pintu dan jendela terbuka
tiada lagi tabir menghalang pandang malah kalau mau masuk lalu menyentuhnya pun bisa kulakukan
kalau tak kalah cepat dengan angin yang membisikku pelan
“ia sudah jadi milik orang.” telah kuambil dan kubawa pergi
sambil menyenandungkan tembang tembang cinta
tak lupa pula kusuntingkan mawar yang baru mekar
biar tak sungkan sungkan bersamaku mengais harapan mewujudkan angan kebahagiaan
kalau sudah ada yang memiliki dan tak suka ada orang lain menyentuhnya
mengapa pintu dan jendela kau buka
siapapun yang melihat pasti akan tertarik memandang dan menyentuhnya
kalau enggan menyunting serta membawanya pergi
bunga dikibas angin pagi selagi embun masih setia menemani
dikibas ke sana ke mari mengusir embun yang menanti sapa mentari
kumbang datang mencoba menghampiri namun kumbang lain sudah ada yang di sana
walau kembang mekar belum sempurna
ia hanya bisa berlalu sebelum mengurungkan niatnya
ia melihat burung besar hinggap di dahan
kumbang yang lagi asik kaget lalu terbang
bunga yang mekar belum sempurna merana menyesali nasibnya
tak tahu kumbang yang dulu datang entah pergi ke mana
haruskah tetap menanti dan menanti sedang mentari sudah berajak jauh tinggi
dan ia sendiri sudah layu tak mungkin mekar kembali bersama mimpi

Pancasan, 4 Januari 1991













MATAHRI DAN SEKUNTUM MAWAR

awan melihat mentari pagi pagi sudah berdandan rapi
ragu mendekat mengajak bermain menghias hari
menghamparkan permadani langit berwarna warni
ia tak tega menganggu sahabatnya kali ini
dalam hati berkata, “apa gerangan yang menanti di bumi”
malam seusai berjaga seakan tahu yang membuat risau awan
“semalam aku melihat mawar berteman rembulan mandi mempersolek wajah bersama embun berulang kali” kata malam seraya menyibakkan jubah hitamnya
“mungkin karena itu mentari pagi pagi sudah berdandan rapi” malam dan awan bergegas pergi
tak mau mengganggu mentari yang sedang memadu janji
perlahan mentari melangkah pasti manapaki pagi sunyi
dengan sinar keemasan menyapa mawar yang masih malu malu mendongakkan kepala
“selamat pagi mawar
  aku akan setia datang
  biar kau selalu ceria menyambut pagi
  menghias hari dengan mimpi mimpi”
mawar yang mekar belum sempurna
menyambutnya seraya berkata
“ya, tanpa kau aku bukan apa apa”
sambil menggoyang tubuh
embun tersentak jatuh
“karena sinarmu, akulah sekuntum mawar yang dipuja sebagai pemandu asmara kumbang kumbang yang sedang bercinta”
embun hanya bisa iri
melihat mereka memadu hati
bercerita sesuatu yang abadi

Pancasan, 10 April 1991
















(logo cinta)

cinta itu seperti gulungan benang
bila ditarik akan memanjang
jangan caoba coba ditarik secara kasar
pelan kalau tak ingin putus di tengah jalan
simpanlah dalam almari yang terkunci
biar tak kusut dan kena debu
cinta juga seperti batu kalau sudah beku
namun jangan kau ragu
jika sudah jadi tekadmu
alam pernah mengajarimu
lewat tetesan air tak kenal waktu
itu kalau sabar menunggu
tapi cinta bukan benang
cinta bukan batu
bukan pula batu dan benang yang menyatu
cinta itu hati
…...................

1991







TERISNGKIR

kuraba mataku tak buta
kurogoh jauh ke dalam hati
memang ada setitik noda
tapi tak bisakah aku nelangkah
dengan setitik membusungkan dada
nenawarkan harkat yang tersisa

tangan masih bisa meraba
dingin embun pagi
hidung masih biasa mencium
harum bunga melati
lidah masih bisa merasakan
manisnya madu pahit empedu
telinga masih setia bercanda
dengan suara
bisikpun tak lupa ia goda

namun mengapaku buta
mulut terkatup bisu
telinga tuli dari segala fatwa
hati hilang rasa
luka bukan tempat kuberkaca

24 April 1991


BAIT TERAHIR CINTAKU

tak sepantasnya
meneteskan air mata
kau harus gembira
kini kau dan dia
permaisuri dan raja
“...........................”
(genggam erat tanganku
kau remas remas hatiku
butir butir di mataku
menyesali nasibku)
tak apa
asal kau bahagia
semua takkan kurasa

2 Februari 1989











SEPARO MIMPI YANG HILANG

bulan nampak separo badan
bersandar langit telanjang

15 Februari 1991






















ALAM LESTARI

selagi bisa bicara
      jangan katakan sesuati
            dengan bunga

Septembere 1990

BUNGA SEDAP MALAM
(buat Sisi di lokalisasi)

kuingin memetik
dan menaruhnya pada vas bunga
namun takut kering karenanya

23 April 1989












MEKAR BUNGA SEMBOJA

waktu kau kalungkan bunga
di leherku
terbayang olehku
tali penjerat yang membunuhmu

28 Mei 1989




















NAPSU

ia kelihatan begitu garang
dan menyeramkan
walau aku tak jarang berenang
dan tenggelam
terbuai angan
menyusuri jejak sabda alam

14 Juni 1988


















GOYAH

terkecoh para penjaja
si hati laknat tak berupa
manis kata sang buaya
mendekap kalbu
di setiap sudut mata

24 September 1985



















JENUH

sepi menari
sunyi akrab menemani
diampun enggan beranjak pergi

31 Oktober 1990





















LUPA

maaf ketawa
aku lupa
kau sedang luka

24 April 1991





















KALA TUHAN TAK BERKENAN

lari menepi
      menjauh lentera
      lalu tergelak
      terbahak dalam gelap
sinar lentera
      lama membasuh luka
      luluh karena jenuh
      hasrat tak patuh
Tuhanpun tak acuh

1 Juli 1988















DINGIN PAGI DI GUNUNG SLAMET

fajar tersenyum sopan di ufuk timur
berbisik pada pagi selamat datang
sayup sayup di kejauhan merajuk
mengajak bersenandung pagi kalam ilahi
dingin pagi masih mencoba menyapaku nakal
setelah mengusik mimpi mimpiku semalam
bungaku harus kulihat sekarang
buah mimpi yang sempat kucuri  tadi malam
aku ingin jadi kumbang datang paling awal
takut kumbang lain ikut mencuri pandang
indah disaksikan mega temaram
di kaki gunung slamet kami berikrar
menebar layar mengarungi hidup
bersama cinta yang kita gelar












RINDU

Kumanjakan diriku
Akut rinduku menggebu
Manisku belahan kalbu
Ijinkan aku mengadu
Seonggok rindu yang mendesakku

20 September 1985



















MISTERI

Mentari tenggelam
Alam petang
Larut menjelang
Awan tebal
Menutup sinar bulan

26 Maret 1985





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.