Senin, 05 Desember 2011

Banyu Bening : DENGAN BASA NGAPAK BANYUMAS MELEPAS BELENGGU KOLONIAL KERATON ------------------------- Oleh : Imam Burhanuddin


·   Teyeng ora basa ngapak ucul kang basa jawa? Kaya ucule basa Indonesia kang basa Melayu? Men ora gela wong detakoni karo basa ngapak senejan beda drajat?
Imam Burhanuddin, 13 Mei 2009, pukul :21:32:54
·  Kudune bisa, contone basa tegalan. Angele akeh-akehe wong banyumas kurang ngregani basane dewek sebab ngrasa asor karo wong wetan. Watek kiye sing ngel-ngeli pisan.
Ahmad Tohari, 14 mei 2009, pukul : 05:37:35.

Banyu  bening Ajibarang (05/12/11):  Bahasa Banyumas sebagaimana bahasa daerah lain yang dimiliki suatu tempat di mana komunitas dan luas daerahnya relative tidak begitu luas (Bralingmascakeb), sama seperti bahasa ibu yang lain di dunia ini, sedang terancam kepunahannya. Sebagaimana dilansir badan resmi dunia, dalam setiap tahun ada sekitar 2000 bahasa daerah lenyap dari muka bumi. Tidak mampu lagi menjadi bahasa komunitas sekalipun oleh warga pemilik bahasa itu sendiri.
Ketika orang Banyumas sendiri sudah tidak lagi menggunakan bahasa yang semestinya sebagai bahasa kebanggaan, nanti atau suatu saat hanya akan menjadi arsip sebuah museum.
Ironisnya untuk mempertahankan bahasa Banyumas yang cablaka, egaliter banyak orang Banyumas sendiri yang tidak merasa nduweni, tidak merasa kompeten dan celakanya lagi tidak sedikit dari orang Banyumas sendiri yang malu menggunakan bahasanya sendiri.
Dirunut dari sejarah orang Banyumas merasa enggan dan malu menggunakan bahasa sendiri ini, tidak lepas dari keberhasilan “bangsa Keraton “ yang telah menjajah tanah Banyumas dalam waktu yang lama. Kolonial Keraton yang telah mencengkeram kuku kebudayaannya dalam-dalam ditanah penginyongan, sehingga orang tidak merasa tersubordinasi bahkan bangga dan depe-depe ketika kedatangan priyayi Keraton. Dan mengiakan begitu saja ketika orang lain mendudukkan bahasa Banyumas sebagai bahasa kaum jelata atau rendahan yang termasuk dalam kasta terbawah.
Penanaman bahasa Banyumas sebagai bahasa kaum kasta terendah yang menjadikan orang Banyumas merasa asor dibandingkan dengan orang wetan (Jogja-Solo) sama seperti yang dikatakan oleh kang Ahmad Tohari dalam SMS di atas. Watek atau sikap inilah sebagaimana yang disesalkan oleh pengarang Novel Trilogi Dukuh Paruk, menjadikan tidak mudah untuk memperjuangkan eksistensi basa cablaka ini agar tetap bertahan.
Tidak sedikit yang telah dilakukan orang meskipun sifatnya masih personal berusaha nguri-uri basa Banyumas agar tetap bertahan. Kang Tohari dengan kamus Basa Banyumas dan menerjemahkan novel-novelnya ke dalam bahasa Banyumas, Pak Mardjoko selaku Bupati juga tak jarang dalam acara resmi maupun tidak resmi selalu bicara cablak juga staf kabupaten di bawahnya. Akan lebih bijak lagi kalau pemerintah daerah memberikan payung hukum untuk memperkuatnya.
Dalam berpartisipasi mengangkat bahasa Banyumas ini pula kami telah menyusun empat kumpulan Puisi Banyumasan; Thok Melong (2005)(thok-melong-antologi-puisi-banyumasan.html ), Blakasuta (2006) (https://abah-arul.blogspot.com/2011/10/blakasuta.html), Vivere Pericoloso (2007),(vivere-paricoloso-kumpulan-puisi.html) dan The Singer Not The Song (2008)(https://abah-arul.blogspot.com/2011/10/singer-not-song.html), lebih detilnya lihat di blog kami : abah-arul.blogspot.com. Kami sama sekali tidak menggunakan kata Geguritan dalam kumpulan puisi kami, karena kami ingin lepas dari ikatan-katan katatabahasaan Bahasa Jawa. Prinsip kami meskipun Banyumas bagian dari Jawa namun basa Banyumas tidak harus terikat dari kungkungan bahasa Jawa. 
Demikian halnya bahasa Indonesia kita tahu kata yang lebih mendekatkan arti puisi itu kata sajak dalam bahasa Melayu tapi mengapa harus menggunakan kata puisi yang diambil dari bahasa asing?
Dari sedikit contoh dalam nguri-uri bahasa Banyumas di atas sangat belum cukup untuk kembali mengurai benang yang sudah teramat kusut. Secara filosofis masyarakat Banyumas harus memahami betul kalau bahasa mereka bagian dari tradisi yang harus dipertahankan dan tidak perlu ragu dan malu untuk menggunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. 
Kesan rendahan karena memang disetting demikian rupa oleh kolonial Keraton untuk mempertahankan ektablisitas mereka sebagai kaum priyayi yang harus di hormati dan dimudahkan segala fasilitasnya.
Kelebihan dari bahasa Banyumas adalah cablakanya, egaliter tidak ada sekat yang menjadikan komunikan ngrasa ewuh-pekewuh. Pemahaman semacam ini yang harus terus menerus ditekankan tidak cukup secara informal namun secara formalpun harus dibiasakan.
Di sini lagi-lagi payung hukum dibutuhkan agar komunitas formal baik yang diinstansi resmi kantor sipil dan militer maupun institusi pendidikan dengan menjadikan bahasa Banyumas sebagai bahasa yang harus digunakan sehari-hari. Dan menjadi muatan lokal sekolah untuk menggantikan Bahasa Jawa yang selama ini jelas-jelas tidak identik dengan bahasa Banyumasan.
Ajibarang, sabtu, 3 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.