Jumat, 11 Juli 2025

Islam Minimalis: Jalan Tengah dalam Beragama


 oleh: Imam Burhanuddin

 

Di tengah derasnya gelombang fanatisme keagamaan dan munculnya polarisasi sosial atas nama agama, muncul satu kebutuhan spiritual yang makin dirasakan: berislam secara tenang, sederhana, dan esensial. Inilah yang disebut sebagai Islam Minimalis. Sebuah pendekatan keberagamaan yang tidak berlebihan dalam simbol, tidak membebani orang lain dengan standar pribadi, dan berfokus pada dua hal inti dalam Islam: ibadah kepada Allah dan akhlak baik kepada sesama.
 
1.         Ibadah: Urusan Pribadi antara Hamba dan Tuhannya
 
Dalam Islam, ibadah merupakan manifestasi dari penghambaan manusia kepada Tuhannya. Namun Islam tidak memaksa bentuk ibadah menjadi tontonan sosial. Ia bersifat vertikal (habl min Allah), bersumber dari keikhlasan.
 
Dalil naqli:
"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama-Nya secara lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ibadah bukan soal penampilan luar semata, tetapi tentang keterhubungan hati. Islam minimalis menyadari bahwa salat lima waktu, puasa, zakat, dan haji adalah kewajiban dasar, bukan karena sosial kontrol, tetapi sebagai bentuk pengabdian.
 
Dalil aqli:
Jika Tuhan itu Maha Mengetahui, maka yang paling penting dari ibadah adalah niat dan kesungguhan, bukan formalitas atau penilaian orang lain. Maka pendekatan minimalis menekankan kualitas, bukan kuantitas dan kemewahan tampilan.
 
2.       Muamalah: Akhlak Sosial sebagai Cermin Islam
 
Islam tidak hanya diturunkan untuk membentuk pribadi yang taat secara ritual, tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sosial (muamalah). Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal sebagai pribadi yang paling jujur, penyayang, dan adil, bahkan sebelum menjadi nabi.
 
Dalil naqli:
"Sesungguhnya Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
(HR. Ahmad)
 
Dalil sosial:
Di masyarakat majemuk, ukuran kebaikan seseorang tidak lagi hanya dilihat dari ibadahnya, tetapi juga dari kontribusinya terhadap sesama, empatinya terhadap yang tertindas, dan sikap adilnya dalam menyikapi perbedaan. Banyak konflik sosial justru muncul ketika orang menjadikan agama sebagai alat superioritas, bukan sebagai nilai kasih sayang.
 
Dalil aqli:
Manusia hidup dalam tatanan sosial. Jika seseorang taat secara ritual namun buruk dalam muamalah—bersikap kasar, menyakiti, tidak jujur—maka keberagamaannya belum utuh. Maka, keindahan Islam justru terlihat dari interaksi sosial yang baik, bukan dari simbol-simbol yang keras.
 
3.       Menolak Fanatisme Berlebihan
 
Fanatisme agama sering membuat seseorang merasa paling benar, dan orang lain salah. Dalam Islam minimalis, prinsip yang dijunjung adalah kerendahan hati dalam beragama—meyakini kebenaran tanpa merasa perlu memaksakannya pada orang lain.
 
Dalil naqli:
"Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."
(QS. Al-Baqarah: 256)
 
Dalil sosial:
Fanatisme memecah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan memunculkan kekerasan simbolik maupun fisik. Dalam masyarakat plural, Islam minimalis membantu menciptakan ruang damai, toleransi, dan dialog.
 
Dalil aqli:
Jika kebenaran memang dari Tuhan, maka ia tidak perlu dipaksakan dengan kekerasan. Kebenaran akan memancar dari sikap, bukan dari slogan.
 
4.       Beragama Tanpa Membebani
 
Islam minimalis menolak "dukaian agama", yaitu membebani segala hal dengan label halal-haram, bid'ah, atau kafir. Ia menekankan prinsip taysir (kemudahan) dan wasathiyah (keseimbangan).
 
Dalil naqli:
"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama, melainkan ia
akan dikalahkan olehnya."
(HR. Bukhari)
 
Islam bukanlah agama yang rumit. Minimalisme dalam Islam justru mengembalikan manusia pada fitrah: menyembah Allah dengan tulus dan menjadi makhluk sosial yang baik.
 
Penutup: Islam Esensial di Tengah Zaman yang Bising
 
Di era di mana simbol keagamaan mudah dieksploitasi, Islam minimalis hadir sebagai penyeimbang. Ia tidak mengajak untuk menjadi sekuler atau menghindari agama, melainkan mengajak untuk kembali pada esensi: beribadah kepada Allah dengan tulus dan berbuat baik kepada sesama makhluk dengan adil.
Islam minimalis bukan bentuk pelarian, tapi justru bentuk kedewasaan spiritual. Ia tidak keras, tidak riuh, tapi kuat dalam inti. Seperti air jernih di tengah keruhnya fanatisme.

Planzan,07/2025
(abah-arul.blogspot.com)