oleh : Imam Burhanuddin
Musim panen seharusnya menjadi waktu yang penuh sukacita bagi para petani. Setelah berbulan-bulan menggarap sawah, merawat tanaman padi dari benih hingga siap panen, hasil kerja keras itu akhirnya tiba. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masa panen justru menjadi awal dari persoalan baru, terutama di pedesaan.
Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah antrean panjang untuk menggunakan thresher (alat perontok padi). Di banyak desa, alat-alat ini masih terbatas jumlahnya. Ketika puluhan bahkan ratusan petani panen dalam waktu hampir bersamaan, maka tak terelakkan terjadinya rebutan dan antrean yang panjang. Akibatnya, hasil panen yang belum sempat digiling kerap ditimbun sementara di sawah selama 2–3 hari, bahkan lebih.
Penimbunan gabah ini bukan tanpa konsekuensi. Disimpan di tempat terbuka, gabah rentan terkena hujan, lembap, atau justru terlalu lama terkena panas matahari. Belum lagi potensi kerusakan akibat serangan hama atau gangguan hewan liar. Semua ini berdampak pada menurunnya kualitas gabah. Gabah yang seharusnya menghasilkan beras berkualitas tinggi menjadi menurun mutunya, berwarna kusam, mudah patah saat digiling, dan tentu saja mengurangi nilai jualnya.
Situasi ini menimbulkan keprihatinan. Ketika petani seharusnya mendapatkan keuntungan dari hasil panen, justru terjebak dalam mata rantai persoalan pasca-panen yang seharusnya bisa diatasi. Permasalahan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal infrastruktur pendukung, termasuk ketersediaan alat pasca-panen yang memadai.
Mengapa hal ini terus terjadi?
Pertama, ada ketimpangan antara jumlah petani aktif dengan fasilitas yang tersedia. Di banyak desa, hanya ada satu atau dua treaser dan penggilingan padi untuk melayani ratusan petani. Kedua, manajemen panen yang belum terorganisir secara kolektif. Alih-alih bekerja sama untuk mengatur jadwal panen dan giling secara bergilir, para petani kerap panen secara serentak karena mengikuti musim dan cuaca, tanpa koordinasi yang matang. Ketiga, minimnya intervensi dari pihak luar, baik pemerintah daerah maupun koperasi pertanian, untuk membantu penyediaan alat atau membangun sistem antrian yang adil dan efisien.
Solusi dan Harapan
Masalah ini sesungguhnya bukan tidak bisa diselesaikan. Beberapa langkah konkret bisa dilakukan:
1. Peningkatan jumlah alat pasca-panen – Pemerintah desa atau koperasi tani dapat mengajukan program bantuan untuk pengadaan thresher dan penggilingan padi portable.
2. Manajemen jadwal panen bersama – Dengan sistem kelompok tani yang aktif, jadwal panen bisa diatur bergilir agar tidak menumpuk dalam satu waktu.
3. Gudang penyimpanan gabah sementara – Desa bisa membangun gudang kering dengan ventilasi baik untuk menampung gabah agar tidak rusak saat menunggu proses giling.
4. Peningkatan peran BUMDes atau koperasi – Badan usaha desa bisa menyediakan layanan penggilingan keliling atau sewa alat dengan sistem antre digital yang terorganisir.
Petani tidak boleh terus-menerus dibiarkan mengatasi masalah ini sendiri. Dukungan sistemik sangat dibutuhkan, sebab mereka adalah fondasi utama ketahanan pangan bangsa. Perjuangan mereka tidak seharusnya diakhiri dengan kerugian hanya karena giliran giling yang tak kunjung tiba.
Planza, juli 2025
abah-arul.blogspot.com
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.