Minggu, 13 Juli 2025

Dilema Pendidikan Swasta di Indonesia:

 

Antara Pelengkap, Pesaing, dan Korban Sistem

Oleh: Imam Burhanuddin

Pendidikan swasta telah lama menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Di tengah keterbatasan negara dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang merata dan berkualitas bagi seluruh rakyat, sekolah swasta hadir sebagai solusi. Namun ironisnya, kontribusi besar ini justru tidak selalu disertai dengan pengakuan dan dukungan yang sepadan. Di balik kiprahnya, pendidikan swasta justru berada dalam dilema yang kompleks, baik secara struktural, sosial, maupun kultural.

Negeri Gratis, Swasta Bertarif

Salah satu dilema terbesar yang dihadapi sekolah swasta adalah persaingan tidak seimbang dengan sekolah negeri. Sekolah negeri digratiskan oleh pemerintah, sedangkan sekolah swasta bergantung pada iuran orang tua siswa sebagai sumber utama pembiayaan. Dalam situasi ekonomi yang menantang, mayoritas masyarakat lebih memilih sekolah negeri, bukan semata karena kualitas, tetapi karena pertimbangan biaya.

Hal ini menempatkan sekolah swasta pada posisi rentan. Untuk tetap bertahan, mereka harus berjuang keras menarik siswa sambil menjaga mutu pendidikan. Banyak sekolah swasta kecil harus memangkas fasilitas atau membatasi program hanya demi bertahan. Padahal, dalam banyak kasus, sekolah-sekolah inilah yang pertama kali hadir di daerah-daerah terpencil sebelum negara sempat membangun sekolah negeri.

Mencetak Guru, Tapi Kehilangan

Ironi lain dari pendidikan swasta adalah posisinya sebagai "kawah candradimuka" bagi para guru muda. Banyak guru memulai kariernya di sekolah swasta dengan gaji yang jauh dari layak, hanya demi mendapatkan pengalaman. Namun begitu mereka cukup matang, datanglah peluang seleksi P3K atau ASN dari pemerintah yang menjanjikan status dan penghasilan lebih baik. Maka tak sedikit guru yang hijrah, meninggalkan sekolah swasta yang telah membimbing dan membentuk mereka.

Fenomena ini memunculkan ketimpangan yang makin dalam. Sekolah swasta kehilangan sumber daya manusia terbaiknya secara terus-menerus, tanpa kompensasi atau penghargaan dari negara. Sementara itu, sekolah negeri justru mendapatkan guru-guru berpengalaman hasil tempaan sekolah swasta.

Dikambinghitamkan, Bukan Dihargai

Tak hanya secara struktural, secara sosial pun sekolah swasta kerap berada di bawah bayang-bayang sekolah negeri. Masyarakat sering kali memandang sekolah swasta dengan kecurigaan atau meremehkannya, terutama jika dianggap “bisnis pendidikan.” Ketika ada masalah, sekolah swasta sering dijadikan kambing hitam. Sementara sekolah negeri, meski memiliki berbagai tantangan yang sama, lebih mudah mendapat pembelaan publik dan kepercayaan dari masyarakat.

Padahal, tanpa kehadiran sekolah swasta, pemerintah akan kewalahan memenuhi kebutuhan pendidikan. Jumlah sekolah negeri belum memadai untuk menampung seluruh anak usia sekolah, terutama di wilayah padat penduduk dan daerah pelosok. Dalam hal ini, sekolah swasta sejatinya telah menjadi mitra pemerintah, bahkan penyelamat dalam banyak situasi darurat pendidikan.

Mencari Keseimbangan dan Pengakuan

Sudah saatnya negara melihat pendidikan swasta sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bukan hanya sebagai pelengkap atau pesaing. Dukungan anggaran, insentif bagi guru swasta, kemudahan regulasi, hingga program pengakuan mutu dan akreditasi yang adil harus menjadi bagian dari kebijakan pendidikan nasional.

Masyarakat pun perlu diajak melihat kembali peran sekolah swasta secara lebih objektif. Bahwa keberadaannya bukan untuk menyaingi sekolah negeri, tetapi untuk melengkapi dan memperkuat ekosistem pendidikan Indonesia. Tanpa pengakuan, tanpa dukungan, dan tanpa keadilan, maka kita akan terus menyaksikan sekolah swasta berguguran—dan pada akhirnya, anak-anak bangsa jugalah yang dirugikan.

Planzan, Juli 2025

Abah-arul.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.