Minggu, 13 Juli 2025

Kreativitas datang selagi kita kerja


 oleh: Imam Burhanuddin

Sering kali, kita mengira bahwa kreativitas adalah hasil dari pendidikan formal atau teori yang dipelajari di bangku sekolah. Namun, kenyataannya, kreativitas justru lebih banyak muncul dari medan kerja — dari pengalaman nyata dalam menghadapi tantangan sehari-hari. Ide-ide cemerlang yang memudahkan pekerjaan sering kali lahir bukan dari ruang kelas yang steril, melainkan dari tempat-tempat sederhana: bengkel, dapur, lapangan, atau bahkan sudut sempit sebuah proyek bangunan.

Kreativitas sejati muncul ketika seseorang benar-benar terlibat dalam pekerjaannya. Ketika dihadapkan pada hambatan atau ketidakpraktisan dalam rutinitas, otak secara alami mencari solusi — entah dengan menemukan jalan pintas, memodifikasi alat, atau menciptakan metode baru agar pekerjaan lebih efisien. Sebagai contoh, seorang tukang bangunan mungkin tidak memiliki gelar arsitek atau teknik sipil, tetapi pengalamannya yang panjang memungkinkannya menemukan solusi praktis — kadang secara tidak disengaja — yang kemudian memudahkan pekerjaan banyak orang setelahnya.

Solusi-solusi semacam ini mungkin tidak tercatat dalam buku teks, namun justru di situlah letak kekuatannya. Mereka lahir dari insting, improvisasi, dan pengamatan tajam terhadap lingkungan kerja. Seorang tukang kayu bisa menemukan cara memotong bahan yang tidak lazim namun lebih efektif, atau seorang koki mengembangkan teknik memasak yang lebih efisien daripada metode standar. Kreativitas seperti ini tidak diajarkan di sekolah, melainkan dipelajari melalui kerja nyata, kegagalan, dan eksperimen yang terus-menerus.

Dalam dunia kerja, tantangan memaksa kita untuk berpikir di luar kebiasaan. Inilah yang membedakan pengetahuan teoritis dengan kebijaksanaan praktis. Sekolah memberikan pondasi, tetapi lapanganlah yang memberikan pemahaman mendalam. Oleh karena itu, penting untuk menghargai pengalaman kerja sebagai lahan subur bagi kreativitas. Banyak inovasi besar di dunia tidak lahir dari laboratorium mewah, melainkan dari bengkel kecil, dapur sempit, atau pikiran seorang pekerja biasa yang melihat masalah dan berani mencoba sesuatu yang baru.

Kreativitas sejati bukanlah milik mereka yang hanya belajar, melainkan milik mereka yang terus mencoba — bahkan ketika tidak ada rumus atau pedoman yang bisa diikuti. Ia tumbuh dari kesabaran, kegigihan, dan keberanian untuk melakukan hal berbeda. Dengan demikian, pekerjaan bukan sekadar sarana mencari nafkah, melainkan juga ruang bagi lahirnya terobosan-terobosan kreatif yang mengubah dunia.

 

Planzan,Juli, 2025
abah-arul.blogspot.com

"Menanti Giliran Giling: Masalah Klasik Petani Pedesaan di Musim Panen"


oleh : Imam Burhanuddin

Musim panen seharusnya menjadi waktu yang penuh sukacita bagi para petani. Setelah berbulan-bulan menggarap sawah, merawat tanaman padi dari benih hingga siap panen, hasil kerja keras itu akhirnya tiba. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masa panen justru menjadi awal dari persoalan baru, terutama di pedesaan.

Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah antrean panjang untuk menggunakan thresher (alat perontok padi). Di banyak desa, alat-alat ini masih terbatas jumlahnya. Ketika puluhan bahkan ratusan petani panen dalam waktu hampir bersamaan, maka tak terelakkan terjadinya rebutan dan antrean yang panjang. Akibatnya, hasil panen yang belum sempat digiling kerap ditimbun sementara di sawah selama 2–3 hari, bahkan lebih.

Penimbunan gabah ini bukan tanpa konsekuensi. Disimpan di tempat terbuka, gabah rentan terkena hujan, lembap, atau justru terlalu lama terkena panas matahari. Belum lagi potensi kerusakan akibat serangan hama atau gangguan hewan liar. Semua ini berdampak pada menurunnya kualitas gabah. Gabah yang seharusnya menghasilkan beras berkualitas tinggi menjadi menurun mutunya, berwarna kusam, mudah patah saat digiling, dan tentu saja mengurangi nilai jualnya.

Situasi ini menimbulkan keprihatinan. Ketika petani seharusnya mendapatkan keuntungan dari hasil panen, justru terjebak dalam mata rantai persoalan pasca-panen yang seharusnya bisa diatasi. Permasalahan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal infrastruktur pendukung, termasuk ketersediaan alat pasca-panen yang memadai.

Mengapa hal ini terus terjadi?

Pertama, ada ketimpangan antara jumlah petani aktif dengan fasilitas yang tersedia. Di banyak desa, hanya ada satu atau dua treaser dan penggilingan padi untuk melayani ratusan petani. Kedua, manajemen panen yang belum terorganisir secara kolektif. Alih-alih bekerja sama untuk mengatur jadwal panen dan giling secara bergilir, para petani kerap panen secara serentak karena mengikuti musim dan cuaca, tanpa koordinasi yang matang. Ketiga, minimnya intervensi dari pihak luar, baik pemerintah daerah maupun koperasi pertanian, untuk membantu penyediaan alat atau membangun sistem antrian yang adil dan efisien.

Solusi dan Harapan

Masalah ini sesungguhnya bukan tidak bisa diselesaikan. Beberapa langkah konkret bisa dilakukan:

1. Peningkatan jumlah alat pasca-panen – Pemerintah desa atau koperasi tani dapat mengajukan program bantuan untuk pengadaan thresher dan penggilingan padi portable.

2. Manajemen jadwal panen bersama – Dengan sistem kelompok tani yang aktif, jadwal panen bisa diatur bergilir agar tidak menumpuk dalam satu waktu.

3. Gudang penyimpanan gabah sementara – Desa bisa membangun gudang kering dengan ventilasi baik untuk menampung gabah agar tidak rusak saat menunggu proses giling.

4. Peningkatan peran BUMDes atau koperasi – Badan usaha desa bisa menyediakan layanan penggilingan keliling atau sewa alat dengan sistem antre digital yang terorganisir.

Petani tidak boleh terus-menerus dibiarkan mengatasi masalah ini sendiri. Dukungan sistemik sangat dibutuhkan, sebab mereka adalah fondasi utama ketahanan pangan bangsa. Perjuangan mereka tidak seharusnya diakhiri dengan kerugian hanya karena giliran giling yang tak kunjung tiba.

                                                                                                    Planza, juli 2025 

abah-arul.blogspot.com


---

Jumat, 11 Juli 2025

🌐 Tantangan Partai Politik di Tengah Masyarakat AI


Oleh: Imam Burhanudin

Ketika kecerdasan buatan (AI) mulai merambah hampir semua aspek kehidupan, politik pun tak luput dari dampaknya. Dunia yang dulu diwarnai kampanye fisik, diskusi publik, dan debat terbuka kini mulai bergeser ke ruang-ruang algoritmik. Di balik layar, AI bekerja: mengolah data pemilih, memprediksi suara, bahkan menyusun narasi kampanye. Pertanyaannya, di tengah derasnya perubahan ini, bagaimana nasib partai politik?

 

1. Informasi Bukan Lagi Sekadar Fakta

Kampanye politik dulu bergantung pada baliho, pamflet, atau debat TV. Sekarang? Semua bisa dikendalikan oleh kecanggihan algoritma. Teknologi deepfake, chatbot politik, dan microtargeting memungkinkan informasi—baik benar maupun salah—disebarkan dengan kecepatan kilat dan presisi mengerikan.

Yang berbahaya adalah saat batas antara fakta dan fiksi mulai kabur. Pemilih bisa dimanipulasi bukan lewat argumen yang rasional, tapi lewat emosi dan persepsi yang diciptakan mesin. Di sinilah kepercayaan publik terhadap politik bisa runtuh.

2. Ketimpangan Teknologi = Ketimpangan Politik

Tidak semua partai punya akses yang sama terhadap teknologi AI. Partai besar dengan dana melimpah bisa membayar konsultan data, membeli alat analitik canggih, dan membangun infrastruktur digital. Partai kecil? Terpaksa bermain di lapangan yang tidak seimbang. Ketimpangan ini akhirnya menciptakan demokrasi yang timpang—karena suara dan strategi ditentukan bukan oleh ide, tapi oleh seberapa kuat server dan seberapa dalam kantong.

3. Krisis Etika: Siapa yang Mengontrol Mesin?

AI adalah alat. Tapi siapa yang memegang kendali? Tanpa regulasi yang jelas, partai bisa dengan bebas mengolah data pribadi warga, memanipulasi persepsi, bahkan menciptakan opini publik buatan. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal moral dan tanggung jawab politik.

Tanpa transparansi, pemilu bukan lagi ajang adu visi, tapi ajang adu strategi tersembunyi. Demokrasi bisa berakhir hanya sebagai ilusi yang dikendalikan sistem pintar.

4. Manusia: Masihkah Dibutuhkan?

Ironisnya, di tengah teknologi yang katanya mendekatkan, keterlibatan manusia dalam politik justru makin berkurang. Kampanye bisa dijalankan AI, pesan bisa ditulis oleh mesin, dan keputusan bisa dipandu oleh data.

Namun politik sejatinya bukan hanya soal efisiensi, tapi soal nilai, empati, dan keberpihakan. Jika semua diserahkan ke AI, apakah kita masih bicara tentang politik manusiawi atau sekadar teknokrasi algoritmik?

5. AI Tak Kenal Ideologi

AI bekerja dengan logika data: yang paling banyak, yang paling populer, yang paling sering di-klik. Tapi politik adalah tentang keberanian melawan arus, tentang memperjuangkan yang tidak populer demi kebaikan bersama.

Jika partai terlalu mengikuti suara mesin, mereka bisa kehilangan arah. Bukan lagi pembawa harapan, melainkan sekadar pengekor tren.

---

🔄 Saatnya Menyusun Ulang Peran

Partai politik tak bisa menghindari AI, tapi juga tak boleh larut di dalamnya. Yang dibutuhkan adalah sikap kritis dan reflektif:

Transparansi digital: Wajib bagi partai untuk membuka cara kerja digital mereka.

Etika AI politik: Perlu kesepakatan bersama soal batasan moral penggunaan AI.

Literasi publik: Masyarakat perlu diedukasi agar tidak terjebak dalam ilusi digital.

Keseimbangan manusia dan mesin: Data penting, tapi nurani lebih penting.

---

Penutup

Di masa depan, mungkin kita akan melihat partai politik yang seluruh manajemennya berbasis AI. Tapi demokrasi sejati hanya bisa berjalan jika manusia tetap jadi pusatnya—bukan hanya sebagai pemilih, tapi sebagai penentu arah. AI memang pintar, tapi tidak punya empati. Dan politik, pada akhirnya, adalah soal hati.


🗺️Pemekaran Wilayah: Peluang, Tantangan, dan Dampaknya bagi Demokrasi Lokal


Oleh: Imam Burhanuddin
 

Pemekaran wilayah—baik itu pemekaran provinsi, kabupaten, maupun kota—adalah isu yang terus mengemuka dalam diskusi politik dan pemerintahan di Indonesia. Dari satu sisi, pemekaran dianggap sebagai jalan untuk mendekatkan pelayanan publik. Tapi di sisi lain, banyak juga yang menganggapnya sebagai alat politik dan pemborosan anggaran. Lalu sebenarnya, apa itu pemekaran wilayah? Siapa yang menentukan? Dan apa dampaknya bagi rakyat?

---

🔍 Apa Itu Pemekaran Wilayah?
Pemekaran wilayah adalah proses pembentukan daerah otonom baru dengan memisahkan sebagian wilayah dari daerah induknya. Tujuannya antara lain:
Meningkatkan efisiensi pelayanan publik
Mendorong pemerataan pembangunan
Mengakomodasi aspirasi lokal

 

Menjaga stabilitas dan integrasi nasional
Contoh pemekaran yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir adalah:
Pemekaran Provinsi Papua menjadi Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan (2022)
Rencana pemekaran Kabupaten Bogor Barat dan Kabupaten Sukabumi Utara di Jawa Barat


---

⚖️ Apa Dasar Hukumnya?

Pemekaran wilayah diatur dalam:

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Undang-Undang Khusus Pembentukan Daerah Baru (seperti UU No. 14 s/d 17 Tahun 2022 untuk Papua)


Setiap pemekaran harus melalui kajian dari:

Pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri)

Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)

Persetujuan DPR RI



---
👥 Bagaimana Nasib Anggota DPRD di Daerah Baru?

Salah satu hal penting adalah:

> Ketika sebuah daerah baru dibentuk, maka anggota DPRD-nya belum dipilih melalui Pemilu.



Apa yang terjadi?

✅ Pemerintah menunjuk anggota DPRD sementara, berdasarkan perwakilan dari daerah induk atau usulan Mendagri.

🗳️ Pemilihan anggota DPRD baru akan dilakukan pada Pemilu berikutnya. Setelah itu, mereka menjadi wakil rakyat resmi dengan legitimasi elektoral.


---



📈 Peluang dari Pemekaran


✅ Pelayanan publik bisa lebih dekat dan cepat

✅ Pemerintah daerah lebih fokus mengelola wilayah yang lebih kecil

✅ Aspirasi lokal lebih mudah terakomodasi

✅ Daya dorong pembangunan bisa lebih merata



---

🚧 Tantangan dan Risiko

❌ Beban APBN/APBD meningkat karena harus membiayai kantor, pegawai, hingga infrastruktur baru

❌ Tidak semua pemekaran berdampak pada kesejahteraan—beberapa justru menimbulkan konflik elite

❌ Politik lokal bisa menjadi alat transaksi kekuasaan dengan dalih “pembangunan”

❌ Banyak daerah hasil pemekaran belum mandiri secara fiskal



---

📊 Fakta: 80% Lebih Daerah Otonom Baru Belum Mandiri

Menurut data Kementerian Keuangan, sebagian besar daerah hasil pemekaran masih bergantung pada transfer dari pusat (DAU, DAK, dll). Ini menunjukkan bahwa pemekaran belum tentu solusi jika tidak dibarengi dengan:

Kualitas SDM birokrasi

Infrastruktur dasar

Tata kelola pemerintahan yang transparan



---

🧭 Bagaimana Seharusnya Pemekaran Dilakukan?

Harus berbasis kajian ilmiah dan kebutuhan riil masyarakat

Melibatkan partisipasi publik secara terbuka

Menjaga akuntabilitas politik dan fiskal

Fokus pada manfaat jangka panjang, bukan kepentingan jangka pendek



---

✍️ Penutup

Pemekaran wilayah bisa menjadi alat pemerataan dan demokratisasi, tapi juga bisa menjadi jebakan administratif dan politik jika tidak dirancang dengan bijak. Rakyat perlu tahu, memahami, dan ikut mengawal prosesnya.

> Karena pada akhirnya, pemekaran bukan soal memperbanyak kantor pemerintahan—tetapi soal bagaimana negara hadir lebih dekat dan adil bagi semua warga.


Islam Minimalis: Jalan Tengah dalam Beragama


 oleh: Imam Burhanuddin

 

Di tengah derasnya gelombang fanatisme keagamaan dan munculnya polarisasi sosial atas nama agama, muncul satu kebutuhan spiritual yang makin dirasakan: berislam secara tenang, sederhana, dan esensial. Inilah yang disebut sebagai Islam Minimalis. Sebuah pendekatan keberagamaan yang tidak berlebihan dalam simbol, tidak membebani orang lain dengan standar pribadi, dan berfokus pada dua hal inti dalam Islam: ibadah kepada Allah dan akhlak baik kepada sesama.
 
1.         Ibadah: Urusan Pribadi antara Hamba dan Tuhannya
 
Dalam Islam, ibadah merupakan manifestasi dari penghambaan manusia kepada Tuhannya. Namun Islam tidak memaksa bentuk ibadah menjadi tontonan sosial. Ia bersifat vertikal (habl min Allah), bersumber dari keikhlasan.
 
Dalil naqli:
"Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas dalam menjalankan agama-Nya secara lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ibadah bukan soal penampilan luar semata, tetapi tentang keterhubungan hati. Islam minimalis menyadari bahwa salat lima waktu, puasa, zakat, dan haji adalah kewajiban dasar, bukan karena sosial kontrol, tetapi sebagai bentuk pengabdian.
 
Dalil aqli:
Jika Tuhan itu Maha Mengetahui, maka yang paling penting dari ibadah adalah niat dan kesungguhan, bukan formalitas atau penilaian orang lain. Maka pendekatan minimalis menekankan kualitas, bukan kuantitas dan kemewahan tampilan.
 
2.       Muamalah: Akhlak Sosial sebagai Cermin Islam
 
Islam tidak hanya diturunkan untuk membentuk pribadi yang taat secara ritual, tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sosial (muamalah). Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal sebagai pribadi yang paling jujur, penyayang, dan adil, bahkan sebelum menjadi nabi.
 
Dalil naqli:
"Sesungguhnya Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."
(HR. Ahmad)
 
Dalil sosial:
Di masyarakat majemuk, ukuran kebaikan seseorang tidak lagi hanya dilihat dari ibadahnya, tetapi juga dari kontribusinya terhadap sesama, empatinya terhadap yang tertindas, dan sikap adilnya dalam menyikapi perbedaan. Banyak konflik sosial justru muncul ketika orang menjadikan agama sebagai alat superioritas, bukan sebagai nilai kasih sayang.
 
Dalil aqli:
Manusia hidup dalam tatanan sosial. Jika seseorang taat secara ritual namun buruk dalam muamalah—bersikap kasar, menyakiti, tidak jujur—maka keberagamaannya belum utuh. Maka, keindahan Islam justru terlihat dari interaksi sosial yang baik, bukan dari simbol-simbol yang keras.
 
3.       Menolak Fanatisme Berlebihan
 
Fanatisme agama sering membuat seseorang merasa paling benar, dan orang lain salah. Dalam Islam minimalis, prinsip yang dijunjung adalah kerendahan hati dalam beragama—meyakini kebenaran tanpa merasa perlu memaksakannya pada orang lain.
 
Dalil naqli:
"Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."
(QS. Al-Baqarah: 256)
 
Dalil sosial:
Fanatisme memecah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan memunculkan kekerasan simbolik maupun fisik. Dalam masyarakat plural, Islam minimalis membantu menciptakan ruang damai, toleransi, dan dialog.
 
Dalil aqli:
Jika kebenaran memang dari Tuhan, maka ia tidak perlu dipaksakan dengan kekerasan. Kebenaran akan memancar dari sikap, bukan dari slogan.
 
4.       Beragama Tanpa Membebani
 
Islam minimalis menolak "dukaian agama", yaitu membebani segala hal dengan label halal-haram, bid'ah, atau kafir. Ia menekankan prinsip taysir (kemudahan) dan wasathiyah (keseimbangan).
 
Dalil naqli:
"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama, melainkan ia
akan dikalahkan olehnya."
(HR. Bukhari)
 
Islam bukanlah agama yang rumit. Minimalisme dalam Islam justru mengembalikan manusia pada fitrah: menyembah Allah dengan tulus dan menjadi makhluk sosial yang baik.
 
Penutup: Islam Esensial di Tengah Zaman yang Bising
 
Di era di mana simbol keagamaan mudah dieksploitasi, Islam minimalis hadir sebagai penyeimbang. Ia tidak mengajak untuk menjadi sekuler atau menghindari agama, melainkan mengajak untuk kembali pada esensi: beribadah kepada Allah dengan tulus dan berbuat baik kepada sesama makhluk dengan adil.
Islam minimalis bukan bentuk pelarian, tapi justru bentuk kedewasaan spiritual. Ia tidak keras, tidak riuh, tapi kuat dalam inti. Seperti air jernih di tengah keruhnya fanatisme.

Planzan,07/2025
(abah-arul.blogspot.com)