Minggu, 12 Oktober 2025

“The Great Reclamation”: Ketika Presiden Jadi Bos HRD Republik

Bayangkan kalau kantor pemerintahan Amerika Serikat adalah sebuah perusahaan besar bernama “USA Inc.”. Selama 90 tahun terakhir, para karyawan di departemen seperti FTC, FDA, dan SEC bekerja dengan tenang di balik meja mereka, percaya bahwa mereka tidak bisa dipecat kecuali mereka melakukan sesuatu yang benar-benar parah — seperti mencampur resep vaksin dengan saus BBQ.

Namun kini, berkat keputusan baru Mahkamah Agung, suasana berubah. Presiden — siapa pun dia — resmi menjadi bos HRD tertinggi. Dan bukan bos HRD biasa: ia bisa memecat siapa saja, kapan saja, tanpa perlu alasan selain “saya tidak suka gaya rambutmu yang terlalu independen.”

Para pendukung Trump menyebut momen ini sebagai “The Great Reclamation”, atau kalau diterjemahkan bebas: “Akhirnya, presiden bisa main The Apprentice di dunia nyata!” Mereka melihatnya sebagai pemulihan kekuasaan konstitusional yang telah dirampas oleh “Deep State” — istilah keren untuk menggambarkan para birokrat yang, entah kenapa, lebih suka membaca laporan ilmiah ketimbang menonton Fox News.

Antara Deep State dan Deep Cleaning

Dari sudut pandang pendukungnya, keputusan ini seperti membersihkan rumah setelah 90 tahun dibiarkan berdebu. Mereka menyebutnya “deep cleaning”. Tapi bagi sebagian lain, ini lebih mirip “deep panic”: bayangkan kalau setiap kali ada pergantian presiden, seluruh pejabat lembaga independen ikut disapu bersih seperti isi kulkas di akhir masa jabatan.

FDA bisa kehilangan ilmuwan karena tak cocok dengan selera politik, CDC bisa diganti dengan “Komisi Penyuka Vitamin C”, dan SEC bisa berubah jadi “Satuan Ekonomi Cinta”—semua demi loyalitas pada visi sang presiden.

Di sisi lain, para birokrat yang selama ini dianggap “tidak tersentuh” tiba-tiba merasa seperti pemain Survivor: setiap rapat bisa jadi tribal council yang menentukan siapa yang “dipecat dari pulau kebijakan”.

Drama Konstitusi: Siapa Punya Remote Kekuasaan?

Di level yang lebih serius (meski tetap lucu), keputusan ini menghidupkan kembali pertanyaan lama: siapa sebenarnya yang memegang remote control negara?

  • Kalau terlalu banyak di tangan presiden, negara bisa berubah jadi satu episode panjang “Presiden Mencari Loyalis”.
  • Tapi kalau birokrat yang memegang kendali, publik merasa dikendalikan oleh para teknokrat tanpa wajah yang tak pernah ikut pemilu.

Mahkamah Agung tampaknya memilih memberi remote itu kembali ke presiden. Tapi tanpa tombol parental control, hasilnya bisa tak terduga: satu klik salah bisa membuat kebijakan nasional berubah dari “netral dan profesional” menjadi “viral dan emosional”.

Antara Kebebasan dan Kebebasan Berlebihan

“The Great Reclamation” pada akhirnya terasa seperti diet politik Amerika: niatnya menyehatkan demokrasi, tapi kalau kebablasan, malah bikin tekanan darah konstitusi naik.

Presiden memang seharusnya memimpin eksekutif. Tapi kalau setiap lembaga jadi cermin kehendak presiden, siapa yang akan berkata jujur saat kebijakan salah arah? Dalam sistem yang sehat, birokrasi bukanlah musuh rakyat — mereka hanya pegawai yang berusaha memastikan roket NASA tidak meledak karena salah input Excel.

Namun, jika semua harus tunduk pada politik, jangan heran kalau nanti muncul berita:

“CDC menyesuaikan laporan pandemi agar sesuai dengan mood presiden hari ini.”

Penutup: Rantai Dipotong, Tapi Siapa Pegang Kalungnya?

Akhirnya, “The Great Reclamation” adalah kisah klasik tentang kekuasaan, tanggung jawab, dan kecenderungan manusia untuk berebut remote.
Rantainya memang telah dipotong — tapi sekarang muncul pertanyaan baru:
Apakah itu pembebasan demokrasi, atau awal dari reality show politik tanpa akhir berjudul “Keeping Up with the Bureaucrats”?
abah-arul. blogspot.com., Oktober 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.