Bayangkan kalau kantor pemerintahan Amerika Serikat adalah sebuah perusahaan besar bernama “USA Inc.”. Selama 90 tahun terakhir, para karyawan di departemen seperti FTC, FDA, dan SEC bekerja dengan tenang di balik meja mereka, percaya bahwa mereka tidak bisa dipecat kecuali mereka melakukan sesuatu yang benar-benar parah — seperti mencampur resep vaksin dengan saus BBQ.
Namun kini, berkat keputusan baru Mahkamah Agung, suasana
berubah. Presiden — siapa pun dia — resmi menjadi bos HRD tertinggi.
Dan bukan bos HRD biasa: ia bisa memecat siapa saja, kapan saja, tanpa perlu
alasan selain “saya tidak suka gaya rambutmu yang terlalu independen.”
Para pendukung Trump menyebut momen ini sebagai “The
Great Reclamation”, atau kalau diterjemahkan bebas: “Akhirnya,
presiden bisa main The Apprentice di dunia nyata!” Mereka melihatnya
sebagai pemulihan kekuasaan konstitusional yang telah dirampas oleh “Deep
State” — istilah keren untuk menggambarkan para birokrat yang, entah kenapa,
lebih suka membaca laporan ilmiah ketimbang menonton Fox News.
Antara Deep State dan Deep Cleaning
Dari sudut pandang pendukungnya, keputusan ini seperti
membersihkan rumah setelah 90 tahun dibiarkan berdebu. Mereka menyebutnya “deep
cleaning”. Tapi bagi sebagian lain, ini lebih mirip “deep panic”:
bayangkan kalau setiap kali ada pergantian presiden, seluruh pejabat lembaga
independen ikut disapu bersih seperti isi kulkas di akhir masa jabatan.
FDA bisa kehilangan ilmuwan karena tak cocok dengan selera
politik, CDC bisa diganti dengan “Komisi Penyuka Vitamin C”, dan SEC bisa
berubah jadi “Satuan Ekonomi Cinta”—semua demi loyalitas pada visi sang
presiden.
Di sisi lain, para birokrat yang selama ini dianggap “tidak
tersentuh” tiba-tiba merasa seperti pemain Survivor: setiap rapat
bisa jadi tribal council yang menentukan siapa yang “dipecat
dari pulau kebijakan”.
Drama Konstitusi: Siapa Punya Remote Kekuasaan?
Di level yang lebih serius (meski tetap lucu), keputusan ini
menghidupkan kembali pertanyaan lama: siapa sebenarnya yang memegang remote
control negara?
- Kalau
terlalu banyak di tangan presiden, negara bisa berubah jadi satu episode
panjang “Presiden Mencari Loyalis”.
- Tapi
kalau birokrat yang memegang kendali, publik merasa dikendalikan oleh para
teknokrat tanpa wajah yang tak pernah ikut pemilu.
Mahkamah Agung tampaknya memilih memberi remote itu kembali
ke presiden. Tapi tanpa tombol parental control, hasilnya bisa tak
terduga: satu klik salah bisa membuat kebijakan nasional berubah dari “netral
dan profesional” menjadi “viral dan emosional”.
Antara Kebebasan dan Kebebasan Berlebihan
“The Great Reclamation” pada akhirnya terasa seperti diet
politik Amerika: niatnya menyehatkan demokrasi, tapi kalau kebablasan, malah
bikin tekanan darah konstitusi naik.
Presiden memang seharusnya memimpin eksekutif. Tapi kalau
setiap lembaga jadi cermin kehendak presiden, siapa yang akan berkata jujur
saat kebijakan salah arah? Dalam sistem yang sehat, birokrasi bukanlah musuh
rakyat — mereka hanya pegawai yang berusaha memastikan roket NASA tidak meledak
karena salah input Excel.
Namun, jika semua harus tunduk pada politik, jangan heran
kalau nanti muncul berita:
“CDC menyesuaikan laporan pandemi agar sesuai dengan mood
presiden hari ini.”
Penutup: Rantai Dipotong, Tapi Siapa Pegang Kalungnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.