Kehidupan
merupakan suatu hal yang mengisyaratkan suatu ketertarikan akan
khayalan fatamorgana dunia yang menggiurkan hati untuk meraih keinginan
menjadi seorang yang di anggap penting dalam strata sosial kehidupan
masyarakat, sehingga banyak individu yang berwatak brutal akan
merebutkan sebuah kursi kekuasaan pemimpin yang menggiurkan dan bersifat
menipu. Diperlukan adanya pendidikan untuk dapat merekrontuksi pola
pikir kepemimpinan yang dapat mengaplikasikan dan memasukan ke dalam
sebuah ide kreatif terhadap ketimpangan kepemimpinan.
Maka secara
praktis disetiap elemen keorganisasian perlu adanya rekontruksi untuk
dapat mengkordinasi lagi berbagai polemik sisitem regenerasi yang masih
carut–marut akan terciptanya keberadaan keorganisasian yang efektif
dalam menjalankan kebijakan keorganasian, karena regenerasi dalam
keorganisasian merupan suatu yang mutlak dalam membaharui estafet
kepemimpinan yang ditujukan pada para generasi muda yang potensial.
Secara
implisit situasi yang tersaji dalam sebuah reposisi kepimimpinan
merupakan hal yang fundamental dalam proses demokrasi suatu
keorganisasian, khususnya keorganisasian di kalangan nahdliyyin, maka
reposisi yang berkarakter merupakan jalan penyelesaian yang cukup
efektif untuk menambah integritas sebagai lembaga Islam terbesar di
Indonesia.
Menurut asumsi Bapak Dr. Fatah Syukur, selaku Dosen dari
IAIN Walisongo Semarang, tentang proses regenerasi Organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) yang berkarakter, “regenerasi merupakan hal yang alamiyah,
memang organisasi adalah kader, karena dari wadah NU itulah nantinya
kader NU akan di distribusikan ke berbagai tempat. Seperti yang kita
dengar perkataan dari kyai-kyai bahwa 'NU ada di mana-mana, tapi NU itu
tidak ke mana-mana'. Pernyataan itu menurut saya sangat bagus sekali
dan perlu direalisasikan. Tapi kenyataannya belum terlaksana dengan
baik, yang terjadi malah kader-kader NU ke mana-mana dan tidak ada di
mana-mana. Disaat kader NU ada di mana-mana, nanti kontribusinya bisa
kembali pada NU. Seharusnya NU bisa diberbagi bidang, seperti bidang
birokrasi, politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lain sebagainya. "NU
itu organisasi yang unik, karena NU masih dibatasi oleh keturunan darah
biru taukah tidak. Sehingga orang yang berdarah biru lebih diutamakan,
sementara bagi selain orang yang tidak mempunyai garis keturunan darah
biru biasanya terpinggirkan dan tidak menjadi jaminan.Maka dari itu,
kedepannya hal seperti itu harus di minimalisir, agar warga NU menjadi
jamaah dan organisasi NU menjadi jamiyyah yang professional,” terang
beliau ketika di wawancarai di kantornya”.
Lalu bagaimana agar
pengkaderan dalam keorganisasian lebih berkarakter? Menurut Bapak Abu
Hapsin, MA, Ph, "Sebuah oganisasi yang harus memiliki model pemahaman
keagamaan yang tawassud, tawazzun, tasammuh dalam jiwanya. Jadi dengan
begitu, generasi harus mempunyai karakter seperti itu. Pengurus
organisasi yang bertanggung jawab dalam membangun karakter
kader-kadernya".
Generasi yang bagus adalah generasi yang
mempertimbangkan tujuan organisasi. Jadi generasi yang ingin kita
bangun harus berpegang teguh pada tujuan semula, Sebuah organisasikan
bukan milik pribadi, akan tetapi organisasi milik masyarakat. Jadi
dengan adanya regenerasi sangat berguna untuk menunjang berjalannya
keorganisasian. Reposisi yang representatif dalam syariah islam adalah
seperti yang sudah di terapkan saat pergantian tampuk kepemimpinan
Rasulullah ke tangan khulafaur rosyidin, Abu Bakar yang notabene Sahabat
terdekat Rasulullah secara aklamasi dipilih Sahabat Muhajirin dan Ansar
untuk mengangkat Abu Bakar menjadi seorang pionir pemimpin Islam, hal
itu dikarenakan kepercayaan para Sahabat atas intregitas keimanan
Sahabat Abu Bakar, akan tetapi setelah sepeninggalnya mulai tersaji
perselisihan akan pengganti Abu Bakar, serta mulai adanya perseteruan
mengenai repoisisi kepemimpinan Islam disebabkan nota ketidak
kesepahaman yang mementingkan ego masing-masing, maka penyelarasan
sistematika pengkaderan dulu dan sekarang sangat diperlukan.
Akulturasi Pengkaderan
Bangsa
kita saat ini sedang mengalami banyak kelangkaan, sejak dari kelangkaan
rohaniawan, kelangkaan ulama, kelangkaan kepemimipinan berkarakter,
telah demikian luas menggejala. Hal itu tidak lain karena bangsa ini
lupa melaksanakan kederisasi, baik bersifat pendidikan formal, maupun
hanya sekedar memberikan pengalaman. Karena hampir semua bidang
kehidupan telah dihayati secara politik, maka kaderisasi dianggap
ancaman paling serius, bagi kemapaman kedudukan seorang pemimpin. Ada
anggapan bahwa munculnya kader-kader muda selalu dicurigai, kalau perlu
disingkirkan, agar tidak menjadi pesaing dimasa depan. Hal tersebut akan
mengakibatkan pengkerdilan generasi. Dulu di NU tokoh seperti KH
Abdullah Shiddiq, KH Wahid Hasyim, bahkan KH Syaifuddin Zuhri memegang
tumpuk kepemimpinan PBNU dalam usia 35 tahun, sekarang orang seusia itu
baru layak memimipin PMII atau Ansor.
Problematika semacam itu akan
berakibat terjadinya krisis kader, baik kader keulamaan, kader
kepemimpinan dan sebagainya. Gejala tersebut umumnya terjadi untuk saat
ini, di mana para pemimipin memepetahankan posisisnya dengan membonsai
para kadernya. Untuk itulah, NU sebagai organisasi masyarakat terbesar
di Indonesia, sangat diperlukan adanya regenerasi mulai dari strata
bawah hingga strata atas.
"Kader NU zaman dahulu, banyak
berlatarbelakang alumni pondok pesantren, sebab pondok pesantren pada
saat itu sangat berperan dalam menyumbang lahirnya kader-kader NU,"
ungkap bapak Abu Hapsin yang saat ini juga sebagaipengurus PWNU Jawa
Tengah. Pendapat beliau mengenai kaderisasasi pada era dulu memang
berbeda dengan kaderisasi saat ini. Beliau memberi gambaran bahwa tubuh
NU memiliki 2 macam leadership (kepemipinan), yaitu kepemimipinan
Syuriah dan kepemimipinan Tanfidziyyah. Disini NU tetap mengutamakan
para kiyai jebola pondok pesantren guna merumuskan dan menentukan
kebijakan suatu masalah, apakah layak ataukah tidak. Sementara
Tanfidziyyah hanya melaksankan kebijakan yang ditetapkan oleh Syuriah.
"Sistem seperti ini tidak ada di organisasi lain, maka akan kita
pertahankan dan dipadukan dengan perkembangan zaman," tegas beliau.
Berangkat
dari gambaran tadilah beliau beranggapan kalau kader-kader NU itu tidak
selamanya harus dari pondok pesantren. Akan tetapi, ditubuh
Tanfidziyyah juaga diperlukan adanya sosok-sosok kader-kader akademis.
Hal ini menunjukkan saat ini NU tidak menafikan keberadaan kader NU yang
tidak berlatar belakang santri. "Banyak kader-kader NU yang telah
merambah ke berbagai bidang, tak seperti dulu yang hanya sebagai guru
ngaji. Tetapi untuk saat ini banyak yang menjadi dokter, bahkan ada yang
telah terjun di dunia sains", ujar pria kelahiran semarang .
Segala
sesuatu memang tidak selamanya berjalan mulus. Seringkali batu
menghambat perjalanan yang belum sampai pada titik tujuan. Begitupun
regenerasi pengkaderan yang dialami oleh NU. Bapak Abu Hapsin, MA, Ph,
berpandangan, ada beberapa fenomena dimana kader-kader yang tak pernah
berkecimpung di organisasi langsung loncat menjadi pemimpin. Karena pada
umumnya, pemimpin itu merangkak dari bawah dahulu. Menurut beliau ,
pemimpin merupakan sebuah kepercayaan. Kalau seandainya ada orang yang
hanya memiliki kemampuan teoritis saja tidak menjdi jaminan, misalnya
pemimpin tadi tidak amanah, otomatis masyarakat tidak akan memilihnya
sebagai pemimpin. Persoalannya adalah kepercayaan, jadi perilaku
sesorang menjadi salah satu faktor di mata masyarakat. Tidak heran lagi
kalau ada peristiwa ketika para putra mahkota yang minim pengalaman
diangkat menjadi seorang pemimpin keorganisasian NU. "Namun, kekurangan
tersebut dapat minimalisir pada sisitem pengkaderan ditubuh
Tanfidziyyah, karena saat ini sudah berjalan dengan semestinya," tutur
beliau ketika menanggapi hambatan yang dialami oleh NU.
Disamping
regenerasi pengkaderan, perlu ditanamkan juga ideologi nahdliyyin pada
setiap individu kader. Karena ideologi juga berperan sejauh mana para
kader berjuang untuk organisasi. Namun, untuk saat ini diakui atau tidak
kalau keberadaan ideologi nahdliyyin sudah agak berjurang sayap-sayap
integritasnya dimata generasi muda. "Persoalannya, di era global ini
sangat banyak saluran-saluran untuk bisa menyalurkan ketidaksetujuan
sebuah aspirasi. Sehingga ketika ada sekelompok yang tidak setuju, maka
hal itu akan mudah terbaca oleh masyarakat luas. Semisal ketika ada
pihak-pihak yang ingin mengkritik pemimpin NU, maka akan begitu
mudahnya informasi tersebut mudah sampai ke telinga masyarakat, seperti
secepat orang mengakses di google. Jadi akses informasi menjadi salah
satu faktor penyebab ideologi nahdliyyin menjadi berkurang," papar
beliau.
Resolusi Pengkaderan
Kaderisasi memamg topik yang telah
sejak lama dibahas oleh NU. Namun kenyataanya memang sulit dan belum
tampak keefektifannya apa yang telah dilakukan oleh NU sendiri. Hal ini
senada dengan pernyataan yang pernah lontarkan ole mantan Ketua Umum
PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Muzadi, pada saat
menjelang muktamar NU ke-32, bahwa masalah terberat yang dihadapi adalah
regenerasi. Sebab, banyak orang yang mulai tidak mengikuti nilai luhur
NU. Tidak sampai disitu, beliau bapak Hasyim juga menilai pemilihan
kader yang tidak memahami dan menerapkan nilai luhur NU akan mengikis
NU. Karenanya, semua pimpinan dan kader NU harus memasuki muktamar
dengan introspeksi dan kewaspadaan. Selain itu, ada lima hal yang harus
difokuskan oleh NU, kelima hal itu adalah pendidikan, kesehatan, masalah
internasional, keumatan, dan konsolidasi organisasi. "Masalah
pendidikan yang akan dibicarakan ada dua model, pendidikan umum bertaraf
internasional dan pondok pesantren bertaraf internasional yang berbasis
Al Quran dan sains teknologi. Untuk masalah kesehatan pada labelisasi
proyek kesehatan NU," kata KH Hasyim Muzadi seperti yang pernah dilansir
kompas.com.
Sementara
itu IPNU-IPPNU adalah organisasi pelajar yang sejak kelahirannya
disiapkan sebagai wadah kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU). Karena itulah
agenda kaderisasi menjadi 'titik tempur' utama. IPNU-IPPNU masa depan
harus dapat melahirkan kader-kader yang tidak hanya tangguh secara
intelektual dan memiliki keunggulan akhlak serta terampil berorganisasi,
melainkan juga siap tempur di medan peradaban yang makin kompleks.
Tentu untuk merealisasikan itu, hal yang mesti dilakukan adalah
penguatan kelembagaan organisasi. Tak dipungkiri, masa transisi yang
kini tengah dijalani memberikan konsekuensi yang tidak sedikit dalam
ranah keorganisasian. Konseptualisasi IPNU-IPPNU setelah kembali ke
pelajar belum selesai. Lalu bagaimana untuk kaderisasi nahdliyyin
khususnya di tubuh IPNU-IPPNU demi kemajuan kalangan pelajar NU?
Menurut Bapak Abu Hapsin, MA, Ph, pertama yang harus dilakukan adalah
adanya langkah-langkah yang tepat. Kader-kader NU harus di data secara
lengkap, lalu dicari kemampuannya dibidang apa. Kemampuan itulah yang
harus bisa dimanfaatkan bagi organisasi NU. "Karena NU merupakan
organisasi yang besar, makanya NU itu harus bisa memfasilitasi
kader-kedernya supaya mereka merasa di orangkan dan dapat memberi
kemanfaatkan terhadap NU. Misalnya ada kader-kader yang memiliki
keahlian seperti sebagai insinyur pertanian , kalau NU tidak menyediakan
lahan buat mereka, lalu kalau bukan NU, siapa lagi? Jadi semestinya NU
harus mempunyai progam pemberdayaan Masyarakat. Inilah yang memang belum
dilakukan oleh NU," pungkas beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.